Budaya Rempah Nusantara telah berlangsung lebih dari 4000 tahun yang lalu, di mana interaksi antarbangsa dan budaya antarsuku di Nusantara terjadi karena perdagangan rempah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan berupaya kembali mengangkat kembali narasi Jalur Rempah. Suatu kerja yang ditujukan untuk mempertemukan kembali hubungan dan sejarah antarbudaya di masa lalu dengan budaya masa kini jauh sebelum Indonesia terbentuk.
Dalam program Coffee Break TV One, Selasa (15/12), Hilmar Farid, selaku Direktur Jenderal Kebudayaan menyampaikan gagasan utama dari upaya pengangkatan kembali Jalur Rempah.
“Jalur Rempah ini adalah jalur perdagangan melalui laut yang sangat tua, usianya sudah lebih dari empat ribu tahun dan itu terbentang dari Polinesia di sebelah timur, hingga pantai timur Afrika. Selama ribuan tahun inilah orang Nusantara ini menjelajahi samudra, ke pantai timur India, lalu ke Afrika, Madagaskar. Tandanya itu menjadi menarik karena bisa kita lihat dari bahasa, ada kemiripan dengan di Nusantara. Jadi bukan hanya perdagangan rempah, tapi ada pertukaran budaya yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang itu,” tutur Hilmar.
Hilmar menambahkan bahwa program ini pun sudah dimulai Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak tiga tahun lalu, di mana telah banyak dilakukan penelitian dan riset yang cukup intens mengenai titik-titik Jalur Rempah, melakukan identifikasi pelabuhan-pelabuhan, kota-kota yang terbentuk, hingga mendapat banyak temuan yang berharga.
“Jadi, Jalur Rempah misinya adalah itu, menghidupkan kembali pertukaran dan pergaulan budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun lalu,” tukas Pria kelahiran Bonn, Jerman ini.
Dalam acara ini, turut hadir Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, Nur Hassan Wirajuda. Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Indonesia ini juga menambahkan alasan mengapa program Jalur Rempah ini begitu penting.
“Untuk menonjolkan peran besar yang dimainkan oleh kerajaan-kerajaan Nusantara, dalam perdagangan internasional, sekaligus menunjukan lokasi kita yang sangat strategis, dalam sejarah masa lalu kita, perdagangan menjadi sangat penting, dan berperan dalam lintas budaya. Kita menampilkan bahwa dunia ragam peradaban itu berjalan damai di Indonesia,” ungkap Nur Hasan.
Hassan Wirajuda juga menambahkan bahwa program ini berupaya untuk melihat kembali betapa kayanya Indonesia. “Kita juga ingin menyadarkan kembali kebesaran negara kita, dari keunggulan budaya, alam kita yang cantik dan banyak hal, manusianya, kebhinekaannya, juga nilai.”
Di akhir sesi, Hilmar menambahkan bahwa targetnya selain membangun kesadaran adalah juga demi membangun masa depan dengan berorientasi kepada maritim.
“Jadi, target saya lebih ke manusianya bahwa kita semua menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang penting. Dan kita juga bisa melihat banyak hal yang berguna untuk masa depan, (karena) ini bukan soal sejarah, tetapi juga soal masa depan bahwa seandainya kita lebih berorientasi ke lautan dan kepulauan, saya yakin bahwa Indonesia akan menjadi satu kekuatan yang besar,” tutup Hilmar.
Naskah: Doni Ahmadi
Editor: Tiya S.