Artikel

Jejak Perdagangan Jalur Rempah di Kepulauan Maluku dan Awal Kedatangan Bangsa Barat

Firmanda Dwi Septiawan| 20 Desember 2022

Selama ini, diskusi tentang Jalur Rempah cenderung melekat pada gagasan bahwa tumbuh kembang jejaring niaga ini bertautan dengan kontak dan interaksi dengan para musafir dari Asia Barat, penjelajah Tiongkok, dan terutama pendatang Eropa. Pandangan ini sepertinya telah sedemikian melekat sehingga gagasan tentang Jalur Rempah dan gelombang kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara ibarat dua sisi yang menyatu pada keping mata uang.[1]

Kepulauan Maluku termasuk dalam jaringan perdagangan di Nusantara sejak masa lampau. Para pedagang mancanegara telah berhubungan dengan penduduk Maluku dalam perdagangan berbagai jenis komoditas terutama rempah-rempah (cengkeh dan pala).[2] Penduduk menanam cengkeh dan pala karena mendatangkan hasil dan keuntungan yang melimpah. Dengan adanya perdagangan rempah-rempah tersebut, penduduk Maluku dapat membeli atau menukarkan dengan bahan pakaian, sutera, dan porselen atau keramik.[3]

Rempah-rempah Maluku seperti cengkeh dan pala merupakan petunjuk penting untuk mengetahui bilamana Maluku mengadakan hubungan dengan dunia luar.[4] Menurut para ahli, tumbuh-tumbuhan tanah asal dari rempah-rempah itu adalah Maluku, lebih tepat lagi pala berasal dari Maluku Tengah, dan cengkeh dari Maluku Utara. Orang Tionghoa rupanya sudah mengetahui bahwa cengkeh hanya dapat diambil dari Maluku.[5] 

Kitab Romawi dari Phlinius Major bahkan memuat berita mengenai garyo phyllon, nama sebuah tanaman yang tumbuh dalam sebuah hutan sakti di India. Keterangan-keterangan Philinius mengenai jenis tanaman tersebut, Rouffer menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah pohon cengkeh. Jika hal ini benar, maka berita tersebut merupakan berita tertua yang membuktikan bahwa pada waktu itu cengkeh telah dikenal di Eropa.[6] Dari berita lain bahwa St. Silvester, uskup Roma dari tahun 314–335, menerima hadiah antara lain 150 pound cengkeh dan dalam tahun 547 Cosmos lndicopkustis mencatat bahwa di antara barang-barang dagangan terdapat pula rempah-rempah yang katanya didatangkan dan Tiongkok dan Sailan.[7]


Peta Jalur Rempah di Nusantara (Sumber: Bartele Gallery)

Jalur Rempah di Nusantara

Dalam kaitan dengan Jalur Rempah, karakteristik lingkungan Nusantara telah menciptakan ruang yang ideal bagi tumbuh kembang beragam produk yang memiliki nilai tinggi secara ekonomis. Termasuk berbagai komoditas yang dikategorikan sebagai rempah-rempah. Ciri kepulauan dengan profil lingkungan yang bervariasi, juga menjadi faktor utama yang membuat komoditas eksotis asal wilayah ini menjadi begitu beragam.[8]

Sejak awal, beberapa tempat di Nusantara telah dikenal sebagai kawasan sumber berbagai komoditas langka yang dicari di pasar dunia. Sumatera menjadi rumah bagi produk kapur barus dan lada. Jawa dan Sumatra adalah tempat di mana lada dihasilkan. Kepulauan Nusa Tenggara menjadi pulau-pulau dengan produk unggulan kayu harum cendana. Bergerak lebih ke timur, maka di Aru akan ditemukan komoditas langka berupa mutiara dan bulu burung cenderawasih.[9]

Di antara semua komoditas eksotis asal Nusantara yang diperdagangkan ke pasar dunia sepanjang abad ke-16 sampai 18, objek niaga yang memiliki nilai paling tinggi agaknya diwakili oleh cengkeh dan pala. Cengkeh adalah tanaman endemik yang tumbuh di pulau-pulau kecil di belahan utara Kepulauan Maluku,[10] khususnya di Ternate, Tidore, dan pulau-pulau sekitar. Pala adalah tanaman asli lain yang tumbuh di Kepulauan Banda, Maluku.[11] Menarik bahwa kedua komoditas ini pada awalnya berkembang dan menjadi komoditas unggulan di habitat aslinya, yaitu pulau-pulau yang memiliki karakteristik vulkanis. Melalui kedua komoditas inilah Kepulauan Maluku menjadi tujuan jaringan niaga rempah dunia yang mengubah sejarah setelah kedatangan orang-orang Eropa.[12]

Jalur Perdagangan dan Pelayaran ke Maluku

Faktor utama daya tarik Maluku bagi para pedagang antarbangsa adalah rempah-rempah sehingga oleh orang-orang barat, Maluku dijuluki “The Spice Islands” (Kepulauan Rempah-Rempah).[13] Raja Muslim pertama, yaitu Zaenal Abidin (1486-1500) yang berkunjung kepada Prabu Satmata di Giri, terkenal dengan julukan “Raja Bulawa” yang berarti “Raja Cengkih”. Kedudukan Ternate, Tidore, Bacan, Makian, Ambon, dan lainnya sebagai daerah rempah-rempah yang amat penting untuk mencari keuntungan dalam perdagangan bahkan pertarungan politik di antara bangsa-bangsa barat, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda. Kepulauan Ternate dan Tidore sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat telah terlebih dahulu didatangi orang Cina, Arab, Timur Tengah, Asia Tenggara, seperti Melayu untuk melakukan perdagangan.[14]

Maluku sekitar abad ke-15 sudah dicantumkan dalam berita pelayaran “Shun Feng Hsiang Sung” yang merupakan pedoman untuk pelayaran, diperkirakan oleh J. Needham berasal dari tahun 1430 M. Melalui jalur perdagangan bagian timur, disebutkan berturut-turut dari Chuan-Chou ke Kepulauan Pescadores lalu menyusuri Taiwan, Luzon dan Lubang ke Nindoro. Sebelah selatan dari Nindoro ada jalan lintas yang menuju Mindanau dan Maluku dari jalur pelayaran timur, dilanjutkan ke Busuanga. Dari sini, ada jalan pintas ke Sutu dan Donggala.[15] Dengan hubungan pelayaran dan perdagangan antara orang-orang Muslim, baik dari Arab maupun dari daerah Timur Tengah, seperti Iran dan lainnya serta Gujarat, Samudra Pasai, Malaka dengan pesisir utara Jawa pada zaman Majapahit, maka kemungkinan besar orang-orang Muslim di antaranya sudah ada yang berhubungan langsung dengan daerah Maluku.[16]

Peta Pulau Maluku (Sumber: Bartele Gallery)

Kedatangan Pedagang Barat dan Mulainya Monopoli Perdagangan

Kepulauan Maluku terletak di tengah-tengah jalur perdagangan dunia dan jaringan pelayaran yang melintasinya. Letak geografis Maluku yang didukung oleh iklim tropis telah memungkinkan datangnya para pedagang dari Eropa dan Tiongkok. Dalam Hikayat Tanah Hitu, dikemukakan bahwa pusat perdagangan di Hitu muncul berangsur-angsur antara tahun 1460-1490. Sebelum itu, telah ada bandar-bandar niaga di berbagai tempat. Hal itu tersirat dalam kisah-kisah dari Hikayat Tanah Hitu mengenai asal-usul empat penguasa Perdana Hitu, yaitu di wilayah Selanbinaur yang meliputi Kepulauan Seram Laut dan Gorong.[17]

Hitu muncul sebagai bandar utama di Maluku Tengah sekitar awal abad ke-16 bersamaan dengan meluasnya penanaman cengkeh di wilayah tersebut terutama di perairan Huamual di Seram Barat. Perluasan wilayah penanaman cengkeh ini ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Ternate di wilayah Maluku Tengah. Hitu mulai kehilangan posisinya sebagai bandar utama di Maluku Tengah setelah VOC menduduki benteng Portugis di Kota Laha yang kemudian dinamakan Ambon.[18]

Bandar-bandar niaga sistem konvensional tersebut bertahan hingga pertengahan abad ke-17. Bahkan, Portugis yang berada di wilayah itu selama hampir seratus tahun tidak berhasil mengubahnya. Kisah munculnya VOC, baik di Hitu maupun di Maluku Utara, mengakibatkan persaingan dagang Belanda dan Portugis. Hitu maupun Ternate meminta bantuan VOC untuk melawan Portugis. Namun, imbalannya adalah monopoli rempah-rempah. Ternate selanjutnya menerima dengan damai sebagai tameng terhadap Spanyol di Filipina, tetapi kemudian Hitu mengadakan perlawanan yang cukup lama hingga pertengahan abad ke-17, dengan akibat hancurnya perairan Hitu dalam dunia niaga. Berawal menguasai Hitu, VOC menghancurkan bandar-bandar niaga di seluruh Kepulauan Maluku.[19]

 

_________

Sumber Referensi

Ballard, C. 1988. Dudumahan: a rock art site on Kai Kecil, Southeast Moluccas.

Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association, 8, 139-161.

Harreld, D. J. 2011. Robert Parthesius. Dutch Ships in Tropical Waters: The Development

of the Dutch East India Company (VOC) Shipping Network in Asia 1595–1660. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Kaartinen, T. 2013. Puisi “Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku Setelah Perang Pala”.

Lapian, A.B, 1965. Beberapa Catatan Mengenal Jalan Dagang Maritim ke Maluku Utara sebelum Abad XVI. Jakarta: Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid 3, No. 1 (Maret) 1965.

Leirissa, R.Z. 1973. Kebijaksanaan VOC untuk  mendapatkan Monopoli Perdagangan Cengkih di Maluku Tengah antara Tahun 1615 dan 1652, dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku (1). Jakarta: Lembaga Penelitian Daerah Maluku.

Leirissa, R.Z, 1997. Bandar-Bandar Niaga di  Perairan Maluku, Makalah Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra. Jakarta.

Leirissa, R.Z, 1983. Sejarah Sosial di Daerah Maluku. Jakarta: Depdikbud.

Leirissa, R.Z, 1997. Bandar-Bandar Niaga di Perairan Maluku, Makalah Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra. Jakarta.

Milton, Giles. (2015). Pulau Run: Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan. Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan

Manusama Z.J. 1973. Sekelumit Sejarah Tanah Hitu dan Nusalaut serta Struktur Pemerintahannya sampai Pertengahan Abad ke Tujuh belas, dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku (1). Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah Maluku.

Pattikayhatu J.A. 1984. Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983/1984. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rosojati, Hartanto. (2019). Etnis Tionghoa dan Arab di Banda, Maluku: Studi tentang Integrasi Berdasarkan Kepentingan Ekonomi-Politik Melalui Pendekatan Ekologi Politik. Jurnal Socia, 16(2), 149–160.

Straks, K., & Latinis, K. (1992). Laporan Penelitian: The Archaeology of Sago Economies in the Central Maluku. Cakalele: Maluku Research Journal 3, 69-86

Sartono, Kartodirdjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium Sampai ke Imperium Jilid I. Jakarta: PT. Gramedia

Widodo, E. S. 2017. Ideologi Utama dalam Ekonomi Politik Global antara Merkantilisme dan Liberalisme. Majalah Manajemen dan Bisnis Ganesha.

_________

[1]Sartono, Kartodirdjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium Sampai ke Imperium Jilid I. Jakarta: PT. Gramedia

[2] Lapian A.B, 1965. Beberapa Catatan Mengenal Jalan Dagang Maritim ke Maluku Utara sebelum Abad XVI. Jakarta: Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid 3, No. 1 (Maret) 1965

[3] Ibid, hlm 86

[4] Leirissa R.Z, 1983. Sejarah Sosial di Daerah Maluku. Jakarta: Depdikbud.

[5] Leirissa R.Z, 1997. Bandar-Bandar Niaga di Perairan Maluku, Makalah Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra. Jakarta.

[6] Widodo, E. S. 2017. Ideologi Utama dalam Ekonomi Politik Global antara Merkantilisme dan Liberalisme. Majalah Manajemen dan Bisnis Ganesha.

[7] Harreld, D. J. (2011). Robert Parthesius. Dutch Ships in Tropical Waters: The Development of the Dutch East India Company (VOC) Shipping Network in Asia 1595–1660. Amsterdam: Amsterdam University Press.

[8] Milton, Giles. (2015). Pulau Run: Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan. Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan

[9] Ibid.

[10] Kaartinen, T. (2013). Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku Setelah Perang Pala

[11] Ibid.

[12] Manusama Z.J. 1973. Sekelumit Sejarah Tanah Hitu dan Nusalaut serta Struktur pemerintahannya sampai Pertengahan abad ke tujuh belas, Dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku (1). Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah Maluku.

[13] Leirissa R.Z, 1997. Bandar-Bandar Niaga di Perairan Maluku, Makalah Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra. Jakarta

[14] Rosojati, Hartanto. (2019). Etnis Tionghoa dan Arab di Banda, Maluku: studi Tentang Integrasi Berdasarkan Kepentingan Ekonomi-Politik Melalui Pendekatan Ekologi Politik. Jurnal Socia, 16(2), 149–160.

[15] Ibid.

[16] Leirissa R.Z, 1983. Sejarah Sosial di Daerah Maluku. Jakarta: Depdikbud.

[17] Leirissa R.Z, Changing Maritime Trade Patterns in the Seram Sea dalam G.J. Schutte (ed), State and Trade in the Indonesian Archipelago. Leiden: KITLV Press.

[18] Ibid.

[19] Pattikayhatu J.A., 1984. Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983/1984. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

_________

Ditulis oleh Firmanda Dwi Septiawan (firmandads@gmail.com)

Editor: Wardani Pradnya Dewi & Tiya S. 

Sumber gambar: Penulis

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Rempah dan Teh Nusantara: Sekilas Sejarah dan Manfaatnya

21 Maret 2021

Lada: Rempah-Rempah yang Memperetat Hubungan Kerajaan Banten dengan Inggris

25 April 2023

Aksara Lontara & Hukum Amanna Gappa: Jejak Jalur Rempah Makassar

15 Oktober 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Aksara Lontara & Hukum Amanna Gappa: Jejak Jalur Rempah Makassar

admin

15 Oktober 2020

...

Laskar Rempah Mengenal Cengkeh sebagai Tanaman Budidaya dan Budaya

admin

16 Juni 2022

...

Muhibah Budaya Jalur Rempah Resmi Berlayar pada Hari Lahir Pancasila

admin

1 Juni 2022