Artikel

Loji Pulau Cingkuk & Perdagangan Rempah di Pesisir Minangkabau Zaman Kompeni

admin| 24 Februari 2022

"Le monde est un exil," begitu tertulis pada batu nisan di makam Susanna Geertruij Haije di Pulau Cingkuk. Perempuan itu merupakan istri dari Thomas van Kempen, opperhoofd (kepala pedagang) distrik Cingkuk dan sekitarnya ketika loji VOC di tempat ini dihancurkan Inggris berkeping-keping pada 1781. Kata dalam makam Susanna kira-kira berarti, "Dunia ialah tempat pengasingan", yang mewakili perasaannya ketika ia mesti mengikuti suaminya meninggalkan kampung halaman yang tentram di Belanda sana menuju 'medan tugas' di sebuah pulau asing jauh di negeri tropis, nun di Pesisir Barat Sumatra. 

Sabine van Kempen, keturunannya yang ke sekian dari garis ranji, menziarahi makam nenek-buyutnya itu pada 1912. The Locomotif mencuplik kenang-kenangan yang ditinggalkan Belanda totok tersebut beberapa puluh tahun kemudian dalam sebuah edisi khusus pada 1936. Ketika Sabine mengunjungi pulau itu, di sana begitu sunyi, tulisnya, "Ik kan mij op dit moment heel goed voorstellen, hoe de eeuwen op dit eilandje geluidloos voorbij gaan" (Saat ini saya bisa membayangkan dengan baik bagaimana berabad-abad berlalu dengan tenang di pulau ini). Surat kabar terbitan Semarang itu pada edisi tersebut mengeluarkan dua foto bagian-bagian dinding dan gerbang loji yang telah diamuk waktu: bentengnya dijalari akar pohon dan dikelilingi semak-semak ransam yang meninggi; dan sebuah foto lagi memperlihatkan dermaga yang tinggal hanya tumpukan-tumpukan batu-tembok tak beraturan hancur-rusak dipulun zaman.

Dalam ingatan orang-orang sekarang, yang tersisa di pulau itu ialah jejak-jejak Portugis. Si Patokah, kata lidah setempat, telah membangun benteng di situ, entah kapan. Para pewarta memberitakan hal yang kurang-lebih sama tentang "bekas dinding benteng Portugis" yang telah berusia ratusan tahun. Para pengunjung pulau wisata itu telah diberitahu hal-hal yang kurang-lebih sama dan dengan senang hati berfoto dengan latar benteng yang telah keliru diidentifikasi. Pemerintah daerah baru-baru ini telah menggodok rencana ambisius bernilai milyaran rupiah untuk menjadikan pulau itu menjadi terkenal sebagai tujuan wisata dengan mendirikan kampung Portugis di situ (mirip kampung Eropa yang tengah mewabah). Tetapi tidak ada yang dapat membuktikan kapan Peranggi singgah dan pernah bercokol, adalah hal musykil membangun benteng yang kini hanya beberapa bagiannya saja yang masih tersisa.

Ketiadaan suatu telaah berbasis data telah membuatnya disalah mengerti. Maksud tulisan ini utamanya menjelaskan kesalahpahaman itu di samping maksud-maksud lain, semisal memberi tempat yang lebih baik bagi pulau ini atau kawasan ini dalam mata rantai jalur rempah Nusantara semasa perdagangan pantai demikian marak. Kawasan yang kini mungkin setengah terpencil; pulau yang kini mungkin tak lebih dari pulau wisata yang hanya

sekali-kali ramai; kiranya berabad silam pernah jadi tempat yang berarti dalam sejarah kita (dan juga sejarah orang Eropa di pantai kita): sebagai pintu keluar bagi lada (dan juga emas) Minangkabau (dan sebagai tempat 'bercokol' yang utama dan mula-mula bagi VOC) di Pesisir Minangkabau bagian Selatan itu dalam kurun satu abad lebih.

Loji Cingkuk sebagai 'Kompensasi' dari Traktat Painan

Di Pesisir Minangkabau bagian Selatan abad ke-17, raja-raja kecil penghasil lada telah saling bersaing: Tarusan, Bayang, Batangkapas, Salida, Painan, Pelangai, Kambang, Bungopasang, Lakitan, Airhaji, demikian dicatat W. J. A. De Leeuw dalam Het Painansgh Contract. Kawasan itu dikenal sebagai Aliansi Sepuluh Bandar atau Bandar X dalam catatan

Kompeni, yang berada di bawah otoritas terkuat di antara mereka, seorang raja dari Indrapura di wilayah paling Selatan kawasan itu. "Sultan Lejla van Indrapoera," begitu menurut sumber yang sama mengenai nama raja itu, yang istananya tersadai pada sebuah muara sungai yang relatif aman dari amuk badai Samudra Hindia yang acap menggila. 

Indrapura telah berkuasa atas kawasan di Pesisir Minangkabau bagian Selatan itu sekira sejak 1616. Tapi kemerdekaan mereka kemudian tergadaikan ke dalam penguasaan Panglima yang dikirim dari Bandar Aceh. Armada-armada Aceh mungkin telah menyentuh sampai sejauh kawasan itu. Pamor Aceh begitu kuat dan sangat sulit dikalahkan. Kabar tentang armada darat mereka yang diisi barisan tentara-tentara dengan kendaraan tempur gajah yang diberi tunik mungkin telah tersebar ke situ dan membuat kecut. Belum lagi, armada laut Aceh telah terlibat perang laut beberapa kali dengan Portugis. Ketika utusan Aceh datang ke istana-istana raja-raja kecil di Selatan itu, tidak ada alasan untuk tidak menyatakan takluk. Sejak saat itu, jalur lada mesti berakhir di Bandar Aceh. Pintu rempah ditutup bagi siapapun kecuali pintu yang telah disediakan Sultan Aceh lewat perwakilan-perwakilannya yang berkuasa di tiap-tiap bandar.

Ketika VOC yang berkantor dagang di Aceh hendak melebarkan jangkar dagangnya lebih ke selatan, di Pesisir Minangkabau tempat di mana lada dan emas diproduksi di hutan-hutan bukit barisannya yang lebat itu, ketidakpuasan atas monopoli Aceh telah sebegitu menguat. Surat dari Raja Indrapura untuk Gubernur VOC di Batavia pada 4 April 1663, disinyalir sebagai awal mula pemberian lampu hijau untuk campur tangan asing. Isinya, J.A. van der Chijs dalam Daghregister gehouden int Casteel Batavia, menyebut: "permintaan suaka atau perlindungan kepada VOC atas hegemoni Aceh yang dianggap terlalu menjerat leher". Realisasinya, sebuah perjanjian ditekan pada 6 Juli 1663.

Raja-raja kecil itu telah diangkut ke atas kapal oleh VOC dan dilayarkan ke Batavia menandatangani traktat yang kemudian terkenal dalam sejarah kawasan itu. Hal ini menjadi momentum paling penting bagi penguasaan Kompeni atasnya. Di hadapan Gubernur Jenderal di Batavia, mereka yang terdiri dari Kende Maradja, Radja Konto, Dato Setti, dan Radja Indra Moeda, juga Radja Panjang "die het vorige jaar een schrijven der grooten van Salida naar Batavia had overgebracht," (yang tahun sebelumnya membawa surat agung dari Salida ke Batavia) demikian dicatat W. J. A. De Leeuw. Mereka memberi cap jempolnya bagi sebuah kesepakatan penting. "Painan Contract" itu memberi kewajiban kepada VOC untuk membantu raja-raja kecil di kawasan itu mengusir Aceh dari seluruh bandar yang mereka kuasai. Sebagai imbalannya, Mr. J. E. Heeres dalam Corpus Diplomaticum menyebutkan, VOC mendapat hak monopoli perdagangan lada di semua bandar mereka; bebas dari segala bea atau pajak; dan akan disediakan pangkalan yang aman bagi armada Kompeni di situ.

Sebuah loji kecil bagi Kompeni telah dibangun di Salido, pintu gerbang paling penting di antara semua bandar. Tapi kondisi Pantai Minangkabau bagian Selatan itu pasca-Traktat Painan tampak jauh dari stabil; perang masih sering terjadi di antara raja-raja kecil yang saling bersaing; yang paling sengit terutama antara Bayang dan Batangkapas–dua distrik penghasil lada yang utama. Menurut surat yang dikirim Jan van Groenewegen (wakil VOC di Pantai Barat Sumatra) ke Batavia tanggal 14 Desember 1663 disebut kalau tanggal 16 September 1663 loji VOC di Salido harus dipindahkan karena tidak aman, dan oleh karena itu, atas usulan penghulu Painan dan Padang untuk "dipindahkan loji VOC ke Pulau Cingkuk," demikian tercatat dalam Daghregister.

Raja-raja pribumi itu memberi VOC tempat berpijak yang lebih aman di Cingkuk. Pulau ini terletak 12 mil dari muka Teluk Painan (kini kota utama di Pesisir Minangkabau bagian Selatan). Ketika itu ia berada di bawah kekuasaan penghulu Painan yang percaya bahwa mereka dan Kompeni dapat bekerjasama untuk menghadapi musuh bersama mereka (Aceh), kata van Groenewegen. "Ini adalah tempat yang nyaman, ketika kami mencapai tujuan kami, untuk melakukan perdagangan di sana dan membuat gudang sebagai asuransi untuk perdagangan," lanjut laporan van Groenewegen ke ke Batavia dalam surat yang sama.

Pendirian Awal Loji & Geliat Perdagangan Rempah Abad XVII

Sepanjang sejarah, ia disebut dengan berbagai nama: lidah pribumi menyebutnya Cingkuak, sejenis monyet dengan bulu lebih pirang dari kera yang umum dikenal di Hindia, dan dengan suara yang lebih nyaring lagi keras. Orang-orang Eropa menuliskannya Poulo Chinco, kadang Poelo Cingkou, Poeloe Chinco, atau di sumber lain tertulis Chinco saja; sementara Tjinko baru ditulis sebagai pelafalan zaman Nederlands Indie. Ketika armada kapal VOC mencapainya pada 1663 untuk membangun loji di situ, pulau ini ditemukan kosong-melompong. Mungkin saja perahu-perahu nelayan pribumi telah menyinggahinya sewaktu-waktu untuk mendapatkan air minum. Tetapi tak ada jejak apa pun tentang permukiman pribumi paling awal di situ. 

Jan van Groenewegen melaporkan pada 1663 itu kalau loji di Cingkuk sudah hampir selesai dibangun dan meminta VOC memberikan izin melanjutkan perdagangan emas dan lada dari pulau itu. Dua tahun kemudian, pada 1665, Batavia menyetujui pembangunan benteng dan gudang lada di sana. Pulau itu hanya sebuah pulau kecil di Sumatera, luasnya tidak lebih dari setengah mil, "Poulo Chinco is een klein Eilandje op Sumatra, niet grooter dan een halve mijl in den omvang," (Poulo Chinco adalah pulau kecil di Sumatera, kelilingnya tidak lebih dari setengah mil) kata A. Pher. de la Croix dalam laporan Algemeene weereld-beschryving bertahun 1705. Namun, di situ Kompeni telah menginvestasikan cukup banyak hal untuk loji dan gudang pentingnya, "en wert daer om het bouwen van een logie ende packhuys al daer ter plaetse geapprobeerd," (dan sudah disetujui di sana untuk membangun loji) demikian tulis de la Croix lagi. 

Sementara dalam surat van Groenewegen ke Batavia dikatakan kalau selama kurun ini penduduk tempat-tempat penghasil lada di sekitar Cingkuk wajib membawa sendiri lada mereka ke sana. Mereka membawanya dengan perahu-perahu kecil mereka untuk kemudian ditambatkan di dermaga di Timur pulau itu. Dermaga itu dibangun permanen dari susunan batu andesit. Dari sana, muatan akan dibongkar budak-budak Kompeni dan diangkut ke gudang besar penampungan, dibungkus, untuk kemudian diangkut lagi ke dermaga dan disusun dalam dek-dek. Dari loji Cingkuk itulah kapal-kapal dagang VOC penuh muatan lada di lambungnya untuk berlayar ke Batavia.

Tabel Nilai Perdagangan Lada VOC di Loji Cingkuk Akhir Abad XVII

Tanggal Komoditi Jumlah
27-08-1665 peper 1045 1/2 picol
31-10-1665 pepper 469 1/2 bharen
24-03-1666 peper 84060 picol
03-11-1666 peper 674 bharen en 126 catty
27-02-1667 peper 384 3/4 bharen
09-10-1668 peper 579 bhaer 282 cattys
04-11-1668 witte peper 1 1/2 bhaer
swarte peper 1003 bhaeren
03-19-1669 peper 401 bharen peper
11-01-1671 swarte peper 183 baren
12-31-1671 swarte peper 98294 of 238 bhaeren
22-06-1672 swarte peper 43120 caty of 196 baren
3-11-1672 peper 1014 bharen 78 catty. 413 bhaer
10-12-1674 swarte peper 176 bhaaren; 412 1/2 ieder
10-06-1675 peper 489 bhaaren en 110 cattys
23-10-1675 swarte peper 282 bhaaren; 412 ½ ider
16-03-1676 swarte peper 288 bhaeren 165 cattys

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Tabel ini diolah dari laporan-laporan dalam Dagh-register gehouden int Casteel Batavia 1665 -1676 susunan Mr. J.A. Van Der Chijs dan Oprechte Haerlemsche Courant bertanggal 15-10-1686)

Tidak hanya lada, beberapa seri Daghregister juga mencatat ekspor berbagai komoditas lain: emas, gading gajah, kopi, dan kamper. Emas utamanya datang dari Sungai Pagu ("De Compagnie ontving er stofgoud uit Soengei Pagoe"). Tetapi ketika 17 Juni 1669 penambang Eropa pertama datang untuk memulai eksploitasi Salido (produksi pertamanya sejumlah 221 tahil tercatat tahun 1675), maka emas yang dihasilkan lubang tambang di distrik itulah yang utamanya digudangkan di loji Cingkuk. Sementara lada dipasok dari kawasan penghasil lada di Pesisir Minangkabau bagian Selatan itu, terutama Salido, Bayang dan Tarusan. Seperti dilaporkan dalam Sumatraantjes, berkala terbitan 1878: "... peper uit Bajan en Troesan." Bayang, misalnya, menghasilkan 500 sampai 600 bahar tiap tahun sebelum Perang Bayang meletus. Sementara Salido, kata koran Oprechte Haerlemsche 15 Oktober 1686, “telah tiba dari Sillida [kapal dengan muatan di antaranya] 198.659 kati lada hitam dan 19.800 kati lada putih.” Lewat loji Cingkuk jugalah, barang-barang dari luar memasuki pasar-pasar dan bandar-bandar sepanjang pesisir Minangkabau bahkan hingga ke dataran tinggi. Berbal-bal kain segala jenis terutama, tetapi juga tercatat besi dan senjata, termasuk koin-koin perak.

Jika diperhatikankan, tabel lada yang berhasil dikumpulkan di situ menaik terus sepanjang abad ke-17. Mungkin karena itulah VOC di Batavia merasa perlu untuk memperkuat loji Cingkuk di abad berikutnya.

Pengembangan Loji & Puncak Perdagangan Rempah Abad XVIII

Pada 1709, Batavia mengeluarkan master-plan baru untuk pulau itu. Plan van Poele Chinco memperlihatkan peta rencana VOC. Bagian selatan pulau yang tinggi akan dibangun benteng bertembok, sementara bagian yang lebih landai dan lapang di sebelah utara mencakup berbagai bangunan-bangunan permanen untuk mendukung aktivitas loji. Lalu dermaga akan dibuat di sebelah pulau yang berhadapan dengan selat untuk menghindari kapal-kapal dari hempasan gelombang Samudera Hindia.

Pada tahun itu juga, VOC mulai membangun benteng yang lebih kokoh di situ, tidak lagi dari berdinding kayu (pagger) tetapi dengan tembok beton dilengkapinya dengan meriam-meriam, gudang-gudang senjata, dan gudang-gudang lada; serta fasilitas-fasilitas perkantoran, kamp-kamp prajurit dan penjara bagi tahanan; di luar benteng tersusun permukiman Eropa yang mampu menampung 50 keluarga; gereja, tempat pemandian dan fasilitas publik lain semisal rumah sakit dan taman-taman yang terhubung oleh jalan-jalan utama ke pelabuhan tempat di mana kapal-kapal layar Kompeni melepas jangkar dan perahu-perahu kecil pribumi ditambatkan.

E. Netscher dalam Padang in het laatst der XVIIIe eeuw menceritakan keadaan loji di Cingkuk pada kurun tersebut dari salinan beberapa peta Arsip Negara di Den Haag yang didapatkannya. Selengkapnya Netscher menulis: "Arsip Negara di Den Haag berisi peta pulau dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18 (dikirim ke Belanda pada tahun 1709), salinannya rela diberikan kepada saya. Menurut peta-peta itu, benteng itu berbentuk tapal kuda memanjang, yang kedua ujungnya dihubungkan oleh tembok lurus. Satu lengan tapal kuda memiliki empat lubang; tiga lainnya; dan dinding penghubung. Bukan tidak mungkin benteng kecil yang terletak di puncak bukit ini kemudian diperluas. Kebetulan, pulau itu saat itu penuh dengan bangunan di sana-sini dan beberapa benteng kecil."

(Poulo Chinco)

Seorang geolog Jerman Adolf Eschels-Kroon dalam catatan yang kemudian dibukukan bertajuk Beschreibung der Insel Sumatra pada 1781, melaporkan pulau Cingkuk sebagai "salah satu yang terbaik dan teraman", di mana kapal-kapal aman terikat pada sauh di dermaganya yang tertutup dari hempasan samudra, sementara daratannya "memiliki bas (meriam) yang bagus dan makanan yang berlimpah." Di sana, kata laporan yang sama, tinggal 1 opperhoofd sebagai pemimpin; 1 pemegang buku, sebagai wakilnya; 1 wizard, atau driver sdj; 1 sersan; 2 kopral, dan 30 sipil orang Eropa; 1 sersan; 1 kopral, dan 15 tentara Asia biasa; 1 boltzmann; 1 quartermaster, dan 4 pelaut. Jumlah mereka, kata laporan yang sama "auf der insel Chinco darunter gehörigen 59 mann" (di pulau Chinco termasuk 59 pria).

Wakil VOC di Batavia bahkan pernah mengusulkan untuk menjadikan Cingkuk sebagai kantor pusat mereka di Sumatra dan membukanya untuk perdagangan bebas. E. Netscher menulis kalau VOC berencana hendak menjadikan Tjinko sebagai kantor pusat (Poeloe Tjinko tot een hoofdkantoor te maken) atau membuka pelayaran dan perdagangan di Sumatera untuk VOC sendiri dan orang asing, dengan dikenakan pembayaran bea masuk dan keluar tertentu. Pertimbangan ini didasari atas keamanan pulau ini yang "tertutup di satu sisi di mana Anda akan tiba," dan dikawal oleh baterai dengan 16 pucuk meriam berukuran masing-masing 8, 6 dan 3 pon.

Sementara tentang aktivitas perdagangan lada, Netscher mencatat kalau perdagangan umumnya dapat ditemukan pada waktu yang sama seperti di Padang, tetapi tidak dalam jumlah yang sama besar (dengan Padang), "akan tetapi pengiriman lada di sini sama banyaknya (dengan Padang) karena banyak produk ini diproduksi di distrik-distrik ini." Desa-desa pantai seperti Bayang, Salido, Painan, Batangkapas, Surantih, dan Kambang yang terletak di bawah daerah ini "di mana-mana di tanah berbukit-bukit bahkan dan di tanah yang datar tidak ada apa-apa selain perkebunan lada yang melimpah," demikian Netscher.

Setelah itu, loji Cingkuk segera saja menjadi pusat dagang VOC untuk memperoleh lada dan permukiman utama Belanda di Pesisir Minangkabau setelah Padang. Hingga berakhirnya abad ke-18, loji itu telah menjadi simpul ekspor-impor yang melibatkan banyak produk rempah lain sekalipun merica/lada tetap sebagai produk utama kawasan, tetapi juga emas, kamper, gading gajah, budak, koin perak, kain, hingga senjata api. Dari loji itu pula politik-dagang VOC dijalankan untuk mengamankan pasokan lada: mengirim serdadu dan senjata dengan yacht-yacht untuk membantu satu pihak dalam memerangi musuh lokalnya; mengikat perjanjian dan kontrak dagang dengan raja-raja pribumi; dan mengadakan rapat-rapat menyusun strategi penaklukan dengan para penghulu lokal. Di pulau tropis yang jauh itulah, yang tidak jarang mengancam dengan iklim panas dan penyakit, sekelompok orang asing dari tanah rendah nun di Eropa Barat sana memainkan politik-dagang mereka dengan segala kontradiksinya.

Keruntuhan Loji & Akhir Perdagangan Rempah

Lebih dari seabad VOC tanpa gangguan, tak mampu dijangkau musuh-musuh pribumi mereka. Yang menghancurkan dominasi mereka di kawasan itu kelak justru pesaing Barat-nya yang paling sengit: armada laut Kerajaan Inggris. Pada 1781, Thomas van Kempen, kepala loji Cingkuk, telah mereka tipu lewat cara yang cerdik: para penyerang memasang kapal-kapal mereka dengan bendera Prancis dan Belanda, dan ketika pimpinan loji itu menemui mereka di dermaga seolah-olah menemui sahabat yang singgah karena kebetulan lewat, para penyerang itu menawannya, menawan seluruh keluarganya, dan melucuti seluruh senjata pengawalnya.

Armada laut Inggris itu lalu menurunkan serdadu dan meriam dari atas kapal-kapal dan mulai membombardir benteng. Membakari apa yang bisa dilahap api tanpa perlawanan yang berarti karena, tulis Soerabaijasch Handelsblad, "serdadu-serdadu VOC di situ telah terlalu banyak minum tuak dan tidak punya semangat berperang lagi."

Para penyerang kemudian meninggalkan Cingkuk dalam keadaan porak-poranda. Netscher menulis kalau loji VOC di Cingkuk memang tidak pernah diduduki Inggris, yang bahkan tidak mengibarkan bendera mereka di situ. Namun, mereka telah menghancurkan sebagian besar bangunan dan benteng di sana. "Wel hadden zij de gebouwen en versterkingen op Poeloe Tjinko grootendeels vernield," (Namun, mereka telah menghancurkan sebagian besar bangunan dan benteng di Poeloe Tjinko) demikian Netscher. Yang justru menambah derita VOC atas Cingkung berasal dari orang-orang Melayu. 

Setelah dihancurkan dan ditinggalkan Inggris, VOC masih bercokol di sana. Penduduknya terdiri dari: 1 ahli bedah, 1 kopral, 2 tentara Eropa, 6 tentara Bugis dan 4 budak. Dipersenjatai dengan empat Sponder, 1.1 dan 1.5. Tetapi meriam itu dan garnisun di sana tidak tampak berguna ketika tempat itu dijarah oleh orang Melayu, dan apa yang disisakan Inggris dari serbuannya sebelumnya di sana dihancurkan para penyerang Melayu itu.

Tetapi, tampaknya runtuhnya pamor rempah di pasar dunia dan semakin sulitnya mengeksploitasi deposit emas yang tersedia di Salido telah lebih dulu menjadi sebab kelesuan Cingkuk sebagai jangkar perdagangan VOC di kawasan. "Tidakkah kita sudah harus memindahkan loji utama kita di Pulau Cingkuk ke Padang?" tulis seorang pejabat Kompeni di Batavia merasa sangsi atas kemunduran ini. E. Netscher menyebut kalau karena perdagangan lada telah menurun, "sebagian besar bangunan diyakini telah dihancurkan atau dibiarkan rusak." Sementara geolog Jerman Adolf Eschels-Kroon menyebut kalau eksploitasi emas telah dihentikan pada 1736 karena "tidak hanya karena mineral berkurang dari waktu ke waktu, tetapi juga karena biaya dan udara yang tidak sehat di tambang, baik penambang Eropa maupun budak-budak yang mereka bawa telah meninggalkan tempat itu."

***

Setelah berbagai belasah yang menimpanya, loji Cingkuk nyaris tidak pernah mendapatkan perannya yang sama lagi, bahkan ia lantas tenggelam dalam kubangan sejarah. Ada catatan-catatan tentang penggudangan kopi di situ pada 1830-1850; van P. P. du Puij disebut pernah menjabat inspecteur der koffij-kultuur tuur te Poelo Chinco para kurun tersebut, tetapi setelahnya pulau itu mungkin benar-benar telah ditinggalkan. Dan ia berabad-abad berlalu dalam kesunyiannya, kembali ke masa sebelum Belanda datang. Palmer V. D. Broek, yang berkunjung ke sana pada 1888, membuat ilustrasi berjudul "Ruine Fort Poeloe Tjinkoe Kust van Painan" (Benteng Reruntuhan Poeloe Tjinkoe ​​Pantai Painan) yang menggambarkan reruntuhan benteng yang masih tersisa, ditumbuhi pohon besar dan diselimuti semak belukar, persis seperti laporan The Locomotif berpuluh tahun kemudian.

(Kust van Painan)

Kini, bertolak dari Teluk Painan yang tenang, perahu-perahu wisata acap berlayar ke Cingkuk membawa turis. Kadang di antara mereka terdapat rombongan pelajar dan mahasiswa yang tengah melakukan studi lapangan: mengukur garis-garis dari sisa-sisa benteng, membuat ilustrasi sederhana untuk laporan mereka, dan yang paling lumrah tentu saja berfoto-foto dengan latar bagian benteng yang telah hancur itu, bisa juga setelahnya menghabiskan waktu bermain-main di pasir putih pantai pulau itu yang memang jernih-bersih. Di sanalah loji-benteng tumpuan berpijak VOC berdiri sekitar 3 abad lampau, dari sanalah Kompeni Dagang Hindia Timur itu menjalankan monopoli rempah di Pesisir Minangkabau bagian Selatan lebih seabad lamanya. Mungkin pemerintah daerah harus berpikir ke arah itu untuk merevitalisasi loji Cingkuk ketimbang menghabiskan miliaran uang negara untuk proyek 'rabun sejarah' bernama wisata kampung Portugis di sana.

Bukittinggi - Bandung, 2021.



_______

Naskah ini merupakan karya 10 pemenang terbaik dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini.

_______

Deddy Arsya merupakan penulis dan penyair. Buku puisinya yang mutakhir berjudul Khotbah si Bisu (2019). Buku itu terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan Majalah Tempo.

Muhammad Iqbal merupakan penulis dan peneliti.

Editor: Doni Ahmadi

Bagikan:

Artikel Populer

Gong Nekara Selayar, Jejak Jalur Rempah di Masa Lampau

11 Oktober 2020

Menelusuri Sejarah Pati, Titik Strategis di Pantai Utara Jawa

17 Januari 2021

Jejak Jalur Rempah dalam Sepotong Rendang Daging

10 Maret 2023

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Jejak Jalur Rempah dalam Sepotong Rendang Daging

Muhammad Zukri Arsyad

10 Maret 2023

...

Budaya Rempah Merajut Nusantara: Dari Masa Lalu untuk Masa Depan

admin

15 Desember 2020

...

Dari Banda Naira, Arka Kinari Bertolak ke Kabupaten Kepulauan Selayar

admin

30 September 2020