Pulau Ternate merupakan salah satu sentra produsen rempah yang berhasil memikat para penjelajah Barat untuk bertandang. Termasuk ke dalam bagian wilayah Maluku, kekhasan Pulau Ternate ditandai dengan adanya gunung berapi dengan ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut, seperti kembarannya, yaitu Pulau Tidore yang juga memiliki gunung yang sama.
Perjalanan Ternate sebagai penghasil rempah, yakni cengkeh, dimulai pada abad ke-13 dan ke-14 di bawah pimpinan Kolano Sida Arif Malano (1317-1331), sebelum masuknya pengaruh Islam. Di masa inilah, Ternate mulai membuka diri sebagai bandar utama perdagangan di wilayah Maluku. Para pedagang dari mancanegara dan kawasan lain di Nusantara kemudian mulai berdatangan ke tanah Ternate, seperti pedagang-pedagang Cina, Arab, dan Gujarat, hingga Jawa, Maluku, dan Makassar.
Para pedagang tersebut mulai menetap dan membuka pos-pos niaga. Situasi yang menguntungkan bagi Ternate ini kemudian direspons cepat oleh Kolano Sida Arif Malamo dengan mendirikan pasar untuk mempertemukan para pedagang asing dan Nusantara. Bahkan, dalam perkembangannya, Ternate sempat menjadi kota dagang dengan fasilitas menarik.
Mulai dari rempah-rempah, sagu, ikan, buah-buahan, dan daging, dijajakan para pedagang lokal di Pasar Ternate. Juga, diperdagangkan hasil pandai besi, seperti parang, dan alat-alat pertanian hingga beragam kebutuhan hidup lainnya. Sementara, para pedagang asing menjual tekstil, perhiasan emas, perak, dan batu mulia. Terdapat pula barang dagangan beras dan alat-alat keperluan rumah tangga, seperti kaca, piring, dan mangkuk porselen.
Setelah pengaruh Islam masuk, pada abad ke-15, di bawah kepemimpinan Sultan Bayunnulah, sultan Ternate kedua, eksistensi Ternate sebagai pulau penghasil rempah juga ditandai dengan kedatangan bangsa Portugis, dengan tujuan utamanya, yaitu untuk mencari rempah cengkeh. Tidak hanya bangsa asing yang datang, para pedagang Banda juga kerap berkunjung ke Ternate untuk mengumpulkan cengkeh dan menukarkannya dengan kain Gujarat yang diperoleh dari para pedagang Jawa.
Untuk mendapatkan cengkeh di Ternate, para pedagang dari Banda acapkali bersaing dengan orang-orang Portugis, meski persaingan sering kali dimenangkan oleh pedagang Banda. Portugis kemudian berhenti mencari cengkeh dari Ternate dan mengalihkan pembeliannya ke Tidore yang awalnya berada di bawah pengaruh Spanyol.
Melalui rempah cengkeh, Ternate menjadi jalur perdagangan rempah terpenting di Nusantara bagian timur kala itu. Hingga kini, jejak-jejak perdagangan di masa lampau masih bisa ditemui melalui situs-situs pertahanan, seperti Benteng Oranje, Masjid Sultan Ternate, dan Benteng Kalamata. Beberapa bangunan tua peninggalan sejarah tersebut pun masih dirawat dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
_________
Sumber:
Razif & M. Fauzi. 2017. Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Adat Abad X-XVI: Kepulauan Banda, Jambi dan Pantai Utara Jawa. Direktorat Sejarah.
_________
Naskah: Tiya S.
Sumber gambar: Fdprasetyo, 2019