Artikel

Sastra untuk Rempah dan Nusantara

admin| 17 Januari 2022

“Akulah kunyit yang bangkit dari samudra susu ketika para dewa dan asura mengaduk-aduknya untuk mencari harta alam semesta. Akulah kunyit yang datang setelah minuman para dewa dan sebelum racun, sehingga aku berada di tengah keduanya.”
(Penguasa Rempah-Rempah. Chitra Banerjee Divakaruni)

Dikisahkan seorang perempuan bernama Tilottama sanggup mendengar suara rempah-rempah, sebagaimana nyanyian sejumput bubuk kunyit di atas. Dialah sang Penguasa Rempah–rempah yang datang dari sebuah pulau kecil nun jauh di tengah laut. Dengan kemampuannya itu, Tillotama menyebarkan rahasia-rahasia kuno nenek moyangnya dalam meramu rempah-rempah ke tengah masyarakat modern India dan Amerika.

Tilottama adalah tokoh fiktif ciptaan Chitra Banerjee Divakaruni, seorang penulis asal India, dalam novel berjudul Penguasa Rempah-Rempah (Gramedia, 2003). Dalam novel ini, jelas terbaca upaya Divakaruni untuk melekatkan rempah-rempah dengan negeri asalnya, India. Bahwa “rempah-rempah dengan kekuatan sejati berasal dari kampung halamanku, negeri puisi penuh perasaan, tempat bulu-bulu berwarna biru laut (Divakaruni, 2003: 13)”. Bahwa setiap rempah yang dikenal masyarakat sesungguhnya mempunyai kekuatan gaib, “bahkan bumbu sehari-hari Amerika yang kau masukkan begitu saja ke dalam panci masakmu (Divakaruni, 2003: 13)”, tapi yang mengetahui semua rahasia tersebut hanyalah dia yang berasal dari Pulau Rempah.

Dengan kata lain, lewat novelnya ini, Divakaruni berusaha, tidak hanya untuk mengukuhkan hubungan dan kuasa India atas rempah-rempah, tapi juga menyuarakan cerita seputar rempah-rempah dari belahan bumi yang selama ini terbungkam dan disisihkan. Yaitu, belahan bumi tempat di mana rempah-rempah berasal, dalam hal ini adalah India. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Rempah: Sejarah dan Ceritanya

Rempah-rempah datang kepada manusia lewat pemberian alam. Adapun kepada dunia, ia datang melalui tangan-tangan para pedagang dan petualang, juga penulis, entah novelis, penyair, arkeolog, akademisi, filsuf, ahli botani, ekonomi atau politik, khususnya bangsa Eropa. Kedatangan ini awalnya berwujud cerita, baik lisan maupun tulisan. Itulah mengapa bisa dikatakan bahwa sejarah rempah-rempah yang berumur ribuan tahun itu sesungguhnya berawal dari sesuatu yang sangat sederhana: sebuah cerita.

Tentu saja, untuk membuat kitab sejarah rempah setebal yang kita kenal sekarang, dibutuhkan tidak hanya satu cerita, melainkan sangat banyak. Ironisnya, cerita-cerita itu bukan datang dari pihak pertama, yakni pemilik asli rempah-rempah dan penghuni Pulau Rempah, melainkan dari pihak ketiga yang benar-benar asing, baik di hadapan rempah-rempah itu sendiri maupun tanah kelahiran tanaman tersebut. 

Cerita pertama tentang rempah, khususnya cengkeh, yang dapat dipercaya dan didengar oleh dunia berasal dari sebuah referensi kuno peninggalan dinasti Han di Tiongkok (206 SM-220 M). Sebagaimana dituturkan Jack Turner dalam Sejarah Rempah (2011), dikisahkan tentang “rempah kuku” yang sering digunakan untuk menyegarkan napas para tamu istana yang hendak bertemu kaisar. Rempah tersebut adalah cengkeh.

Cerita tentang cengkeh juga menyebar dari gurun pasir Suriah pada tahun sekitar 1721 SM. Dikisahkan tentang penemuan segenggam cengkeh dalam kepingan keramik hangus di sebuah reruntuhan rumah bekas kebakaran milik Puzurum (Turner, 2011: xix). Cerita ini dibuat dan disebarkan oleh satu kelompok arkeolog yang sungguh sangat kebetulan tertarik untuk mengunjungi desa Puzurum yang tandus di Suriah, dan mengais-ngais tanah berjelaga di sebuah rumah hingga bersualah mereka dengan rempah istimewa tersebut.

Di antara jeda waktu kelahiran dua cerita di atas, telah lahir pula banyak cerita tentang rempah-rempah dari mulut dan tangan orang-orang gagah, pandai dan pemberani yang, dengan penuh semangat, berani bersaksi, berspekulasi, dan berimajinasi tentang rempah-rempah. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak pernah melihat sebutir rempah sekalipun, tapi begitu dramatis mengisahkan pertemuan pertama mereka dengan jenis tanaman ini. Sebagaimana Christopher Columbus yang mengagungkan kayumanis temuannya, yang ternyata hanyalah kulit pohon kayu biasa. 

Para pencerita lain, bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana wujud tanah asal rempah-rempah, kecuali meminjam dari alkitab tentang imaji surga yang indah dan memikat. Proses peminjaman yang kebablasan karena, selain imajinasi, mereka juga meminjam nama Tuhan untuk melakukan pencarian, penjarahan, dan penjajahan atas tanah asal rempah-rempah: pulau-pulau tropis yang berada di belahan dunia lain yang kelak mereka sebut Timur. Orang-orang semacam itulah yang kemudian membuat panggung besar untuk rempah-rempah, menaikkannya ke atas dan memperkenalkannya kepada dunia.

Menurut Edward Said (1994), orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempat yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Sebagai bagian dari dunia Timur, rempah-rempah menyimpan imajinasi orientalisme dalam sejarahnya. Citra yang dilekatkan padanya pun tiada beda dengan citra dunia Timur di mata dunia Barat. Yaitu, sesuatu yang eksotis dan fantastis sekaligus mistis. Hingga hari ini, citra rempah yang eksotis dan mistis masih bertahan.  

Sementara itu di bidang perdagangan, kendati datang agak terlambat, orang-orang Barat Eropa mampu menunjukkan kuasanya atas rempah-rempah melebihi apa yang pernah dilakukan para pedagang Tiongkok dan Arab berabad-abad sebelumnya. Berbekal peta buatan sendiri, mereka mengklaim sebagai pembuka jalan menuju sumber rempah-rempah di Timur. Bermodal galleon dan meriam, mereka mendominasi rempah dan jalur perdagangannya, berikut tanah dan semua penghuninya. Hingga akhirnya, dengan segala otoritas yang ada dan berkat dukungan penuh kaum cerdik pandai, mereka menyusun kitab sejarah masa lalu yang mendudukkan rempah-rempah, khususnya cengkeh, pala, dan lada, pada posisi tertinggi dan terpenting yang pernah diberikan manusia kepada tanaman. Yaitu, posisi sebagai pengubah wajah dunia, tapi dengan satu catatan penting. Catatan bahwa yang berjasa atas semua itu dan yang harum namanya selamanya, selain rempah-rempah, adalah bangsa Barat.

Suara Penghuni Kepulauan Rempah

Para orientalis cenderung hendak menyaring apapun yang berasal dari Timur untuk dunia Barat, termasuk rempah-rempah. Strategi yang telah berlangsung selama berabad-abad ini jelas membuat seisi dunia, termasuk kita, abai pada ketimpangan yang ada dalam sejarah rempah.

Jelas tercatat dalam lembar demi lembar sejarah rempah bahwa semua cerita yang tersaji di sana, tentang rempah-rempah dan perdagangannya, berasal dari mulut dan tangan orang-orang Eropa. Pun, semua penilaian, citra dan dosa rempah-rempah dibuat menggunakan sudut pandang bangsa Eropa. Bahkan dalam buku sejarah rempah terbitan zaman modern terkini pun, cacat itu terpampang jelas dan seolah sengaja dipertahankan dengan alasan seorang orientalis, “... selain karena keterbatasan linguistik saya namun juga karena keinginan saya untuk membawa nuansa yang eksotis  (Turner, 2011: xxviii).”

Di atas panggung dunia, rempah-rempah didapuk untuk memperkenalkan diri sebagai komoditi dunia Timur, tapi anehnya tidak dengan suara manusia dari Timur melainkan dari Barat. Rempah tidak pernah didampingi oleh petani yang menanamnya atau masyarakat yang berbagi hidup dengannya secara langsung, apalagi rakyat kecil yang menderita karenanya. Inilah cara Barat agar rempah-rempah senantiasa bersifat eksotis.

Cerita-cerita rempah yang didengar dunia juga selalu terkesan penuh kenangan indah, petualangan besar dan kemegahan masa lalu, bersifat epik sekaligus misterius. Dalam cerita bertema demikian, memang hanya dua tokoh yang diizinkan untuk tampil: pahlawan dan monster. Dua tokoh yang mewakili oposisi biner yang jelas: putih dan hitam. Dalam hal rempah-rempah, orang-orang Eropa jelaslah para pahlawan yang dimaksud, sementara para pemilik asli rempah-rempah adalah monster—ini termasuk kita yang tinggal di Kepulauan Rempah, Nusantara.

Sebagai titik kecil di peta dunia modern, meminjam sepotong narasi Turner, penilaian seorang penjelajah Eropa atas apa yang disaksikannya di Maluku Utara pada awal abad ke-16 terkesan sangat wajar, alih-alih sebuah penghinaan: “... [penduduknya] seperti binatang buas... begitu bodohnya sehingga jika mereka ingin berbuat jahat sekalipun, mereka tidak mengerti cara melakukannya (Turner, 2011: 31).”

Seorang sejarawan asal Portugis, Joao de Barros (1496-1570), berpendapat serupa tentang pulau tersebut: “menyedihkan dan sangat tidak elegan... udaranya penuh dengan asap... pantainya jelek.... [pulau-pulaunya] adalah sumber kejahatan dan tidak ada hal bagus yang bisa ditemukan selain pohon cengkeh (Turner, 2011: 31).”

Mengabaikan kedunguan mereka soal rempah dan moral yang buruk, pembombardiran cerita-cerita semacam ini membuat peran pihak-pihak yang berkaitan erat dan secara langsung dengan rempah-rempah tersisihkan. Tidak ada suara asli para penghuni Kepulauan Rempah dalam sejarah rempah. Dalam jalur perdagangan rempah pun, bangsa-bangsa penghasil rempah mesti bersusah payah untuk menuliskan namanya pada posisi terhormat kendati wilayahnya telah menjadi bagian dari jalur tersebut selama ratusan tahun, sebagaimana yang dialami negeri kita, Nusantara.

Sastra dan Upaya Rekonstruksi Sejarah Rempah

Sejarah rempah, sebagaimana yang dikenal dunia, jelas berkiblat ke Barat. Namun, sejarah tidak bersifat statis. Filsuf dan sejarawan Italia, Giambattista Vico, menyadari bahwa sejarah selalu mengalami perkembangan. Arusnya bisa diubah. Lewat observasinya, Vico juga meyakini bahwa manusia sendirilah yang membuat sejarah mereka, bahwa apa yang mereka bisa ketahui adalah apa yang telah mereka buat (Said, 1994: 6). Ini berarti, segala kekaburan yang tercatat dalam lembar sejarah rempah terbuka untuk dikritik dan dibangun ulang, khususnya pada bagian yang sangat penting, tapi tersingkirkan. Bagian di mana para penghuni Kepulauan Rempah bersaksi. Salah satu cara untuk melakukan rekonstruksi ini adalah lewat karya sastra.

Sastra ibarat corong bagi humaniora. Teks-teks fiksinya mampu memberikan perspektif baru tentang kehidupan sekaligus menjadi cermin bagi realitas sosial masyarakat sekitarnya. Selain itu, karya sastra juga merupakan sumber yang sangat kaya bagi pengalaman kemanusiaan. Ia tidak hanya sekedar teks yang menawarkan cerita, tapi juga menginformasikan sesuatu, membagi cara pandang, pengamatan, pemahaman, dan pemikiran manusia. Ia adalah sesuatu yang dapat mengisi kekosongan, juga menggerakkan dan mempengaruhi sebagaimana yang telah berhasil dibuktikan oleh banyak karya sastra Eropa klasik.

Kendati terletak di belahan dunia timur, sastra Indonesia tidak kalah dengan sastra negara-negara barat. Sastra kita memiliki banyak penulis mumpuni, juga karya-karya yang sanggup bersaing, baik di atas panggung nasional maupun internasional. Sebagai negara yang kaya, sastra kita juga beraneka warna dan suara sesuai latar belakang asal penulisnya. Dari sekian keragaman itu terdapat sejumlah karya sastra yang bercerita tentang rempah-rempah. Tiga di antaranya adalah Mirah dari Banda (2010) karya Hanna Rambe, Kura-kura Berjanggut (2018) karya Azhari Aiyub, Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga (2021) karya Erni Aladjai.

Kura-kura Berjanggut adalah novel yang akan membawa pembacanya berpetualang ke masa-masa ketika rempah-rempah berjaya. Diceritakan bahwa seorang penjelajah bernama Ujud hendak membalaskan dendamnya kepada Sultan Nuruddin dari Bandar Lamuri yang telah menghabisi keluarganya. Ujud pun berusaha merebut kepercayaan Sultan sehingga berhasil diangkat menjadi mata-mata yang bertugas mengintai pergerakan kapal-kapal pedagang rempah dan bajak laut. Sebuah posisi penting yang membuatnya kian mudah menuntaskan dendam kepada sang pemimpin.

Oleh penulisnya, Kura-kura Berjanggut diajukan untuk mengisi lembar kosong dalam sejarah rempah tentang apa yang terjadi pada Kerajaan Lamuri abad ke-16 dan Aceh abad ke-19. Berlatar belakang tanah Aceh, yang pernah terkenal sebagai pusat perdagangan dan penghasil merica terbaik dunia, novel ini menawarkan perspektifnya sendiri dalam memandang rempah-rempah. Bahwa disebabkan oleh merica, anak seorang budak bisa menjadi raja, sebuah pembasmian besar-besaran terjadi, seorang sultan baru terlahir, dan banyak warga kampung mesti kehilangan nyawa. Bahwa di balik aroma eksotis rempah, tersimpan pula aroma amis darah, bacinnya pengkhianatan, dan dendam yang sangit.

Sementara itu, novel Mirah dari Banda bercerita tentang drama kehidupan seorang perempuan bernama Wendy Higgins yang berhulu di kebun pala Kepulauan Banda, Maluku. Tempat di mana dia bertemu seorang tukang masak tua bernama Mirah yang bermasa lalu kelam. Pada masa kolonial, Mirah adalah seorang budak kebun pala milik Belanda, yang kemudian dijadikan pengantin untuk mengabdi secara khusus kepada majikan asingnya, sang tuan penjajah. Pada masa kemerdekaan, dia adalah seorang nenek yang hidup sebatang kara sejak anaknya direbut tentara Jepang dan cucunya direnggut oleh perang.

Dengan jelas, Mirah dari Banda menggambarkan penderitaan yang dialami oleh para penghuni Kepulauan Rempah dan tidak pernah tercatat dalam sejarah rempah. Penderitaan yang disebabkan oleh rempah, yang meninggalkan luka dan trauma mendalam yang sulit hilang, bahkan terwariskan dari generasi ke generasi. Novel ini mengangkat pertanyaan tentang apa yang terjadi di Kepulauan Rempah setelah para petualang asing menemukan tempat itu; apa yang terkubur di bawah sepatu penjajah Eropa ketika kapal-kapal mereka berdiri tegak di puncak kejayaan perdagangan rempah; siapa yang berkorban demi kejayaan dunia Barat? Jawaban dari semua itu berada di ujung lidah penghuni Kepulauan Rempah. Bahwa bangsa Eropalah yang membuat rempah-rempah menjadi berkat sekaligus laknat bagi orang-orang yang menanamnya: mereka dilucuti dan dibumihanguskan sebagaimana rakyat Kepulauan Banda oleh Belanda, sebelum kemudian dijejalkan ke dalam lembar sejarah rempah buatan Eropa sebagai manusia bermoral rendah yang tidak beradab.

Adapun novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga menyajikan tentang apa yang terjadi di bagian timur Kepulauan Rempah sekitar lima puluhan tahun setelah Nusantara resmi terlahir sebagai bangsa merdeka dengan nama Indonesia. Di sebuah pulau penghasil rempah di timur Indonesia, seorang ibu dan anaknya mesti berjuang menghadapi kerasnya kehidupan sebagai petani cengkeh. Drama kehidupan warga desa kecil yang hidup sederhana ini dikacaukan tidak hanya karena masalah pribadi dan keluarga, tapi juga rempah-rempah.

Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga mengidentifikasikan rempah sebagai dua sisi mata uang yang berbeda bagi orang-orang yang menanamnya. Satu sisi sebagai sumber penghasilan, sisi lainnya sebagai sumber masalah. Novel ini memberikan suara kepada para petani cengkeh yang, meskipun turun temurun telah hidup bersama cengkeh, tetap dilucuti haknya atas nama negara. Apa yang terjadi di pulau ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami leluhur mereka pada masa kolonial. Sebuah lembaga monopoli pengumpul dan pemasar cengkeh didirikan pemerintah untuk mengawasi dan membatasi perdagangan cengkeh. Suara petani cengkeh berusaha dibungkam dengan rupa-rupa cara. Dalam novel ini, rempah-rempah tampil bergandengan tangan dengan kekerasan dan ketidakadilan.

Dari paparan di atas jelas tertampak betapa pentingnya pesan yang dibawa oleh karya-karya sastra semacam itu. Ketiganya mampu menciptakan kesadaran tentang peran rempah-rempah dalam kehidupan rakyat Indonesia, pada umumnya, dan para petani rempah, pada khususnya, dengan lebih jernih dan realistis. Ketiganya juga berhasil membawa ke hadapan para pembaca keironisan sempurna dari apa yang tersembunyi di balik babak-babak besar sejarah rempah dunia. Sayangnya, karya sastra Indonesia semacam itu hanya berjumlah sedikit. Sejak dulu hingga sekarang, kecenderungan tersebut tidak banyak berubah. Dari yang sedikit itu pun, entah novel, puisi, maupun cerpen, sebagian besar karya biasanya hanya diterbitkan untuk pembaca lokal atau dicetak terbatas. Mengapa ini bisa terjadi?

Sebagai komoditi dagang, rempah memang pernah berjaya di pasar—beberapa rempah tertentu bahkan masih tetap dianggap demikian. Sebaliknya, sebagai tema cerita, rempah dipandang kurang menarik oleh pasar buku modern, apalagi jika dihubungkan dengan lokalitas. Di tengah pasar yang demikian, pamor buku yang menghubungkan dirinya dengan rempah dikalahkan oleh buku fiksi populer yang ringan dan berlatar urban. Kondisi ini jelas berpengaruh pada jumlah karya sastra Indonesia bertema rempah yang dicetak dan minat penulis kita untuk memilihnya sebagai bahan cerita.

Hanya karya sastra beruntunglah yang dapat tampil bersinar dan memikat pembaca sebagaimana dua di antara tiga novel di atas. Kura-kura Berjanggut dan Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga mendapat keberuntungan dari label pemenang penghargaan yang tercetak pada sampul buku mereka. Adapun penulis-penulis lain, terutama yang berasal dari luar Jawa atau yang baru mencari posisi dalam dunia sastra, mesti berjuang sangat keras demi bisa menawarkan karya macam demikian kepada penerbit dan publik. Pada titik inilah karya-karya sastra Indonesia membutuhkan dukungan dari pemerintah, begitu pula sebaliknya.

Sejak pemerintah kembali menggiatkan program Jalur Rempah demi memperkokoh posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia selama dua tahun terakhir, dukungan dari segenap rakyat tentu sangat dibutuhkan. Pun, upaya rekonstruksi dan revitalisasi Jalur Rempah yang kolektif di segala bidang kehidupan, termasuk literasi atau kesusastraan.

Jika dulu manusia Timur tidak mampu bersuara sehingga mudah dilucuti otoritasnya, maka inilah saatnya untuk membalik hal tersebut. Karena sejak dulu hingga kini, budaya-budaya dan bangsa-bangsa di Timur memiliki sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang dikatakan Barat. Lewat karya sastra, kita bisa menciptakan narasi yang kuat tentang peran dan posisi kita dalam sejarah rempah dan perdagangannya. Caranya adalah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para penulis Indonesia untuk menggaungkan suara orang-orang yang berjasa dan menderita di balik kejayaan rempah dunia: para petani rempah dan penghuni Kepulauan Rempah di Nusantara.

Layaknya Tillotama, tokoh fiktif ciptaan Divakaruni, kita mestinya menyadari bahwa sebagai penghuni Kepulauan Rempah, kita mewarisi kemilau rempah di bawah kulit kita sejak lahir. Maka biarkan kemilau itu menuntun kita untuk menggunakan segala daya dan kemampuan yang kita miliki demi mengklaim apa yang seharusnya menjadi milik kita sejak lama: rempah-rempah dan cerita-cerita tentangnya. Sebab cerita rempah adalah cerita kita; sejarah rempah adalah sejarah kita.

Jalur Rempah akan selalu menjadi bagian dari diri kita, Nusantara.

***

 

DAFTAR PUSTAKA

Aiyub, Azhari. (2018). Kura-kura Berjanggut. Jakarta: Banana

Aladjai, Erni. (2021). Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga. Jakarta: KPG

Divakaruni, Chitra Banerjee. (2003). Penguasa Rempah-Rempah. Jakarta: Gramedia

Rambe, Hanna. (2010). Mirah dari Banda. Jakarta: Pustaka Obor

Said, Edward W. (1994). Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.

Turner, Jack. (2011). Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme. Depok: Komunitas Bambu.

_______

Naskah ini merupakan karya pemenang ketiga dalam lomba penulisan Jalur Rempah 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan  publikasi di laman ini.

_______

Anindita S. Thayf seorang novelis dan esais, Lahir di Makassar, 5 April 1978.

Editor: Doni Ahmadi

Sumber gambar: TTStock/Twenty20

Bagikan:

Artikel Populer

Yang Ditinggalkan Portugis: Jejak Bangsa Dunia di Nusantara

22 Februari 2022

Gali Kejayaan Peradaban Melayu, Kemendikbudristek Gelar Seminar Internasional Dunia Melayu dalam Jaringan Perdagangan Rempah Dunia

15 September 2022

Cagar Budaya di Pati: Sejarah Akulturasi dan Jejak Perdagangan Rempah

18 April 2021

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Cagar Budaya di Pati: Sejarah Akulturasi dan Jejak Perdagangan Rempah

admin

18 April 2021

...

“Negeri di Bawah Angin”: Nusantara dan Pengaruh Angin dalam Jalur Perdagangan Rempah

Jeane Prisilia Pombaela

1 November 2022

...

Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita

admin

31 Januari 2022