Artikel

Yang Ditinggalkan Portugis: Jejak Bangsa Dunia di Nusantara

admin| 22 Februari 2022

Setelah menaklukkan Malaka pertengahan tahun 1511, seorang pelaut Portugis dengan julukan The Caesar of the East, Afonso de Albuquerque (1453-1515) sadar bahwa Malaka bukanlah penghasil rempah. Malaka hanya berperan sebagai pelabuhan tempat perdagangan rempah. Pulau-pulau penghasil rempah terdapat di timur Nusantara. 

Albuquerque yang berperan dalam pembentukan kolonisasi Portugis di Asia tidak ingin membuang-buang waktu di Malaka, dan berkeras untuk segera menemukan pulau-pulau penghasil rempah. Ia memerintahkan serdadu kepercayaannya, António de Abreu (1480-1514), untuk memimpin ekspedisi menemukan pulau penghasil rempah.  

Demikianlah, pada November tahun 1511 itu juga ekspedisi tersebut berlayar untuk menemukan pulau-pulau rempah. Abreu ditemani bersama dengan dua wakilnya, Francisco Serrão dan Simão Afonso Bisagudo. Dalam misi tersebut juga turut Francisco Rodrigues, seorang kartografer yang mencatat ekspedisi tersebut. 

Abreu menjadi nakoda di kapal Santa Catarina, Serrão di kapal Sabaia, dan Bisagudo di sebuah kapal karavel. Jumlah awak yang ikut dalam ekspedisi tersebut 120 orang Portugis dan 60 budak. Mereka dipandu oleh pelaut-pelaut Melayu yang telah berpengalaman di jalur pelayaran Nusantara. Armada besar Portugis ini berlayar menelusuri pulau Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan kemudian sampai di Maluku dan Banda. 

Abreu dan Serrão berlayar dengan kapal berjenis kerakah atau carraca (bahasa Portugis) yang bertiang tiga hingga empat–dengan tonase yang berbobot di atas seribu ton. Kedua pelaut Portugis ini diketahui telah berlayar dengan kapal kerakah tercanggih untuk berniaga dan bertempur untuk menguasai jalur rempah di Lautan Hindia dan wilayah-wilayah sepanjang lautan itu. Di sisi keduanya, ada Bisagudo yang menggunakan kapal karavel–yang dapat bergerak lincah dan bermanuver saat menghadapi gelombang dan tangguh saat terjadinya pertempuran laut. 

Awal tahun 1512, dari atas kapal Santa Catarina, Abreu melihat ujung timur Pulau Flores. Ia terpesona pada keindahan tanjung pulau tersebut yang dilihatnya seperti bunga.  Ia langsung berseru: “Cabo das Flores” (Tanjung Bunga). Sebutan Cabo das Flores ini pun segera menjadi familiar di kalangan pelaut-pelaut Portugis. Adalah pelaut dan pedagang bernama S.M. Cabot memberi nama pulau tersebut jadi “Flores”. Sejak itu, nama Flores mulai muncul dalam dokumen-dokumen perdagangan Portugis. 

Ketika Portugis tersingkir dari Nusantara, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Brouwer (1632-1636) meresmikan nama Flores untuk pulau yang secara spontan oleh Abreu–lalu dilanjutkan oleh Cabot–pada tahun 1636. Sejak itu, nama Pulau Flores muncul dalam peta yang dikeluarkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Persatuan Dagang  Hindia Timur yang didirikan pada 20 Maret 1602. Padahal, masyarakat asli Pulau Flores menamakan pulaunya Nusa Nipa–yang artinya Pulau Ular.

Portugis–bersama Spanyol–sebagai bangsa yang cukup adidaya di Asia pada abad ke-16, tidak hanya memberi nama untuk Pulau Flores tetapi juga beberapa pulau lain. Portugis memberi nama Borneo untuk Pulau Kalimantan dan Celebes untuk Sulawesi. Kedua nama tersebut memang sudah diganti saat ini, namun di dunia internasional nama Borneo dan Celebes masih tetapi dipakai untuk merujuk ke dua pulau tersebut. Pulau lain yang diberi nama oleh Portugis adalah Pulau Rote, Sawu, dan Enggano.

Tentang Borneo, adalah seorang pedagang Portugis bernama Lorenzo da Gomez yang mengunjungi pulau ini tahun 1518. Ia berlabuh di sebuah pelabuhan Kerajaan Brunei, salah satu pelabuhan dagang penting untuk produk kehutanan. Saat itu, da Gomez salah melafalkan kata Brunei menjadi Borneo. Justru pelafalan da Gomez-lah tersebut diikuti oleh orang-orang Portugis dan kemudian bangsa Eropa lain. Akibatnya, nama Borneo menjadi populer di kalangan orang Eropa, sementara nama Brunei makin surut. Pada tahun 1601 ketika sebuah peta diterbitkan, di sana nama Brunei telah disebut sebagai Borneo dan akhirnya seluruh pulau dinamakan Borneo. Untuk nama asli Borneo, terdapat banyak versi terkait muasalnya. Namun yang kemudian kita kenal adalah Kalimantan.

Celebes, sebuah nama yang merujuk pada pulau Sulawesi, lagi-lagi merupakan nama yang diberikan oleh Portugis. Antonio Pinto da Franca yang menulis kartografer Nicholas Desliens memberi nama “Ponta dos Celebres” (Tanjung Orang-orang Termasyhur) pada bagian paling utara pulau Sulawesi dalam peta yang dibuatnya. Nama tersebut, menurut da Franca, adalah ironi karena yang dimaksudnya adalah ‘tanjung yang berbahaya di ujung utara Minahasa’, tanjung yang banyak membuat banyak kapal, termasuk kapal-kapal Portugis, kandas. Entah bagaimana kisahnya, di kemudian hari Celebes menjadi nama untuk seluruh pulau Sulawesi. Antonio Galvao dalam laporan-laporannya telah menyebut “rakyat Celebes” untuk penduduk pulau tersebut.

Pulau Sawu dan Pulau Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur juga mendapat pemberian nama dari Portugis. James J. Fox menulis nama Pulau Rote telah tercantum dalam dokumen-dokumen Portugis pada abad ke-16 dan ke-17. Ada juga yang menulis nama “Rotes” untuk pulau itu dan membuat nama Rote lebih dikenal di dunia internasional. Ketika Indonesia merdeka pun nama Rote tetap dipertahankan. Fox menulis, menarik sikap penduduk Pulau Rote bahwa pulau mereka telah diberi nama oleh Portugis, terlebih nenek moyang mereka menamakan pulau itu “Noessa Dahena” (Nusa Dahena) yang berarti “Pulau Manusia”. 

Saat pertama kali berlabuh di pulau Sabu, Portugis menyebut Pulau tersebut dengan “Savo”, lalu kemudian sedikit diubah oleh Belanda menjadi “Savu”.  Dari nama “Savu” kemudian lahir nama “Sawu” atau “Sabu”. Nama ini pun diterima oleh penduduk setempat, meskipun penduduk Sabu menamakan pulau mereka “Rai Hawu”.

Pulau Enggano juga merupakan nama yang diberikan Portugis. Ketika pelaut Portugis yang bernama Talesso melewati Samudera Hindia terdampar di sebuah pulau–yang sekarang bernama Enggano–karena keliru dalam navigasi. Dan ‘kekeliruan’ dalam bahasa Portugis adalah “engano” yang diucapkan sebagai “enggano”.  Rupanya kisah kekeliruan itu menjadi bahan cerita di kalangan orang Portugis saat itu. Entah bagaimana kata yang berarti “keliru” dijadikan nama pulau tersebut. 

Da Franca menulis, banyak peta kepulauan bernama “Peregrinacao” digambar oleh Portugis (volume pertama edisi 1952). Nama Pulau Enggano juga telah muncul dalam peta Portugis tersebut. Maka, resmilah nama pulau tersebut menjadi Pulau Enggano. Hal ini lagi-lagi meninggalkan warisan nenek moyang penduduk asli pulau tersebut  yang menyebutnya dengan nama “E Loppeh” yang dalam bahasa penduduk setempat berarti “tanah”, “daratan” atau “bumi”. Pulau Enggano adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudra Hindia, merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, dan merupakan satu kecamatan.

Dalam pelayaran Portugis menyusuri pantai barat Sumatera, salah satu pelabuhan yang sering dikunjungi Portugis adalah Natal. Menurut da Franca, pelabuhan yang pernah memainkan peran penting pada masa lalu itu masih memakai nama yang disematkan Portugis tersebut hingga saat ini.

***

Portugis telah pergi, dengan warisan nama-nama untuk beberapa pulau kita. Secara sederhana kita bisa mengatakan nama-nama tersebut adalah bagian dari jejak dan warisan dari Jalur Rempah masa lalu. 

Nomen est omen sebuah pepatah terkenal yang berarti nama adalah pertanda. Maksudnya, dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik. Meskipun sebuah nama sebenarnya lebih dalam dan lebih luas dari itu. Pada semua nama ada makna, ada harapan baik, ada filosofi hidup yang dalam yang terkandung di dalamnya. 

Kesadaran akan nomen est omen sebagai identitas memang telah hidup bersama bangsa ini bersama masyarakatnya sejak lama. Adanya Festival Flores The Singing Island di mana Flores disebut sebagai “Pulau Bunga” karena alamnya yang indah sebagaimana dikagumi oleh Abreu dari atas Kapal Santa Catarina. Memang benar adanya. 

Adanya makna, adanya harapan baik, dan adanya filosofi dalam sebuah nama telah mendorong untuk menggunakan penamaan tersebut sebagai identitas. Mulai dari Kopi Flores–yang mendapat label internasional sebagai speciality coffee–berdirinya Universitas Flores. Lalu “Borneo” yang cukup laris manis untuk nama restoran, hotel, merek kopi, media–baik cetak maupun online–dunia pendidikan, dan sepak bola. Ada pula Celebes yang mana pada 1918-1919 digunakan dalam organisasi pemuda “Jong Celebes” (Pemuda Celebes). Organisasi yang para pemudanya mengikuti Kongres Pemuda I dan II. Dan ambil bagian dari sejarah kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Hubungan antara Portugis dan orang-orang Nusantara memang bisa dikatakan hanya sebentar jika dibandingkan dengan Belanda. Belum lagi kedatangan VOC yang dengan segala ambisinya untuk mengikis semua pengaruh Portugis. Dan upaya ini tidak serta merta berhasil. Sisa pengaruh Portugis masih hidup di tengah kita sampai sekarang, mulai dari kuliner, arsitektur, fesyen, nama keluarga, sampai bahasa. Banyak kosa kata bahasa Portugis telah diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan beberapa bahasa daerah. Musik keroncong yang dibawa pelaut-pelaut Portugis bahkan telah jadi musik khas kita, juga beberapa nama pulau yang masih tidak berubah sejak peta buatan orang Portugis dibuat. 

Literasi Jalur Rempah telah menyadarkan kita akan hal itu. Bahwa negeri kita pernah besar dan hidup dari berbagai warisan bangsa-bangsa dunia yang pernah datang, singgah, dan berinteraksi di Jalur Rempah.

 

__________

Naskah ini merupakan karya 10 pemenang terbaik dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini. Judul asli naskah ini merupakan “Portugis Pergi Meninggalkan Nama”. 

__________

Willy Hangguman merupakan seorang penulis yang berfokus pada seni budaya.

Editor: Doni Ahmadi

Sumber gambar: Abraham Ortelius

Bagikan:

Artikel Populer

Sejarah Rempah dan Kaitannya dengan Potensi Pemanfaatan Komoditas Minyak Atsiri dalam Bidang Kesehatan

3 Februari 2022

Benteng Somba Opu Makassar: Enterpot di Nusantara Bagian Timur

25 November 2020

Perbedaan Jalur dan Jaringan dalam Perdagangan Rempah

6 Desember 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Perbedaan Jalur dan Jaringan dalam Perdagangan Rempah

admin

6 Desember 2020

...

Pesona dan Kisah Rempah-rempah di Negeri Laskar Pelangi

admin

22 Desember 2020

...

Banten: EntrepĂ´t Perdagangan Rempah, Interaksi, & Peninggalan Sejarah

admin

10 Januari 2021