Artikel

Bukti Linguistik Muasal Pala dan Cengkih

Gufran A. Ibrahim| 29 September 2021

Bahasa Eskimo dialek Inuit—di Kutub Utara—memiliki lebih dari 50 kata untuk menjelaskan kata yang dalam bahasa-bahasa lain di dunia lebih dikenal dengan kata berikut, “es” atau “salju.” Kita ambil empat contoh saja: kriplyana ‘salju yang terlihat di pagi hari’, intla ‘salju yang melayang di dalam ruangan’, bluwid ‘salju yang terguncang dari benda-benda yang ditiup angin’, dan tlun ‘salju yang berkilau karena cahaya bulan.’ Ada kata yang menjelaskan salju yang sedang turun, ada pula kata khusus untuk salju yang sedang dalam proses mencair; dan masih banyak lagi.

Dalam konteks lain, bahasa Inggris hanya memiliki satu kata, yaitu rice untuk menyatakan benih, padi, gabah, beras, nasi, dan bubur. Sementara itu, bahasa Tagalog dan sejumlah bahasa lokal lain di Filipina memiliki puluhan kata yang menjelaskan apa yang dalam bahasa Inggris diebut rice. Contoh lain, bahasa Inggris hanya memiliki satu kata untuk buah kelapa, yaitu coconut, sedangkan dalam sejumlah bahasa lokal di Nusantara, buah kelapa dideskripsikan dengan beberapa kata.  Misalnya, satu bahasa lokal di Maluku Utara, bahasa Taba (Mekeang Timur) menyebut niwi toho untuk ‘buah kelapa yang baru keluar dari mayang,’ niwi gao untuk ‘kelapa muda’, niwi mamala untuk ‘buah kelapa yang mulai masuk usia sempurna daging dan tempurungnya’, niwi bata untuk ‘kelapa yang mulai mengalami pengeringan separuh kulit sabutnya’, dan niwi mango untuk ‘kelapa yang benar-benar telah matang.’

Contoh-contoh kosakata yang dipakai oleh satu bahasa di dunia yang terkait dengan alam dan benar-benar khas bahasa tersebut menunjukkan betapa kata dalam setiap bahasa di dunia mencerminkan cakupan dan ciri peradaban pemilik bahasa tersebut. Satu kata dalam bahasa A dapat diungkapkan dengan sejumlah kata dalam bahasa B, begitu pun sebaliknya. 

Kata adalah anasir dasar bahasa, dan bahasa adalah gentong kebudayaan. Setiap bahasa di dunia memiliki cara sendiri-sendiri untuk mengungkapkan kebudayaan dan peradaban penutur jati (native speaker) bahasa tersebut. Inilah salah satu isi hipotesis Sapir-Whorf tentang relativitas bahasa, hipotesis yang diramu bersama oleh dua linguis guru dan murid pada dekade akhir abad ke-19 dan dekade awal abad ke-20, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. 

Setiap bahasa punya cara sendiri dalam mengungkapkan kebudayaan penuturnya; dan kebudayaan penuturnya itu dapat dirangkum dalam dua ranah, yaitu kreasi budaya serta perilaku sosial dan ranah alam atau lingkungan yang mengitari penutur jati bahasa tersebut. Interaksi antara keduanya kemudian melahirkan kata dan kosakata pada setiap bahasa mengemban dua tugas utama yaitu mendeskripsi alam dan mengungkapkan alam pikir penutur jatinya.

Nama Lokal Pala dan Cengkih 

Salah satu cara untuk mengatakan atau mengklaim bahwa satu tumbuhan sebagai kekayaan flora suatu kawasan, salah satu caranya adalah menemukan nama asli atau nama yang benar-benar lokal tempat tumbuhan itu hidup. Bila bukan endemik pada satu wilayah tertentu, dimana tanaman atau khazanah flora tersebut didatangkan dari wilayah lain, nama tumbuhan tersebut hampir dipastikan dipinjam dari bahasa asal tanaman tersebut. Misalnya di Indonesia, atau khususnya Maluku Utara, tidak tumbuh buah yang terkenal di Selandia Baru, kiwi, sebaliknya di Selandia Baru pun tidak memiliki tanaman tome-tome atau gayam,  capilong, ngusu, atau mujui. Kalau saja kiwi dapat tumbuh di perbukitan Gamalama Ternate, kita pasti akan menyebut kiwi dan bukan sawo. Demikian pula, bila di pantai-pantai Selandia Baru dapat tumbuh ngusu ‘ketapang’ dan capilong ‘nyamplung’, juga tidak mungkin dinamai kiwi pantai.

Dengan analogi yang sederhana ini, kita mencoba menemukan nalar jargon “titik nol jalur rempah” dari sisi bahasa. Salah satu kemungkinan arti “titik nol” adalah “titik awal.” “Titik” ini tentu saja bukan suatu tanda atau tempat yang diam. Ia adalah tempat yang memberi tanda mengenai sesuatu (tindakan dan peristiwa alam) bermula, tentang dimulainya sesuatu. Titik nol menunjukkan “titik asal”, “asal muasal.” 

Dengan bersandar pada pengertian ini, kita dapat mendefinisikan ”titik nol rempah-rempah” sebagai “awal dari perjalanan atau perantauan rempah-rempah” ke seantero buana dalam kesibukan dagang dunia abad ke-16. Oleh karena awal sebagai asal, dan asal itu melekat padanya keaslian, maka jika ingin mendiskusikan keasalan rempah-rempah, kita dapat mengambil satu cara, yaitu mencari jejak bahasa dengan memeriksa nama rempah tersebut dalam bahasa-bahasa lokal. Mari kita perhatikan daftar nama-nama lokal untuk pala dan cengkihemas hitam abad ke-16—dua rempah penting dalam perdagangan dunia abad ke-16.

  TTE TDR MT MB WED TOB PAT GAL
Pala gasora gasora pala asem gasora gasora sem gasora
Cengkih

gaumedi

bualawa

gomode odai ada cengke buanga cengke balawa


Catatan: TTE (bahasa Ternate), TDR (bahasa Tidore), MT (Makeang Timur), MB (Makeang Barat), WED (bahasa Weda/Sawai), TOB (bahasa Tobaru), PAT (bahasa Patani), dan GAL (bahasa Galela).

Ada beberapa informasi penting tentang nama pala dan cengkih dalam sejumlah bahasa lokal. Pertama, hampir semua bahasa lokal di Maluku Utara memiliki nama asli untuk pala dan cengkih. Kedua, gosora adalah nama pala untuk sebagian besar bahasa dalam daftar di atas. Ketiga, ada beberapa varian nama untuk pala, seperti (a)sem dalam bahasa Makeang Barat dan bahasa Patani;  odai~ada untuk bahasa Makeang Timur (Taba) dan Makeang Barat (Omamoi). Keempat, bahasa MT tidak mengenal nama asli untuk pala dan bahasa Weda serta bahasa Patani tidak mengenal nama asli untuk cengkih. Kelima, dan ini unik/menarik; bahasa Tobaru punya nama tersendiri untuk cengkih, yaitu buanga.Catatan: TTE (bahasa Ternate), TDR (bahasa Tidore), MT (Makeang Timur), MB (Makeang Barat), WED (bahasa Weda/Sawai), TOB (bahasa Tobaru), PAT (bahasa Patani), dan GAL (bahasa Galela).

Beberapa penjelasan dapat diberikan untuk lima hal di atas. Pertama, terkait relasi keserumpunan bahasa di Maluku (Utara). Dalam satu percakapan ringan beberapa tahun lalu dengan kolega saya, Profesor James T. Collin, seorang linguis Amerika yang meneliti dan menulis tentang bahasa-bahasa nusantara terutama Melayu dan bahasa-bahasa lokal Indonesia bagian timur, mengatakan bahwa Maluku (dalam artian kultural dan historis, yang kini secara administratif termasuk Maluku Utara) adalah tempat “berjumpanya” dua rumpun besar bahasa di dunia, yaitu Austronesia dan non-Austronesia (secara khusus filum Papua). Perjumpaan dua rumpun bahasa itu sudah berabad-abad. Oleh karena itu, tentu saja telah terjadi saling pengaruh dan saling pinjam kosa kata antardua rumpun bahasa ini.  

Kedua, ada dua fakta yang kita temukan dalam tabel tentang kosa kata pala dan cengkih untuk delapan (8) bahasa lokal di Maluku Utara di atas. Fakta pertama, meskipun berasal dari rumpun bahasa yang berbeda, bahasa Makeang Timur (rumpun Austronesia) dan Makeang Barat (non-Austronesia) memiliki sebutan yang sama untuk cengkih, yaitu odai~ada. Fakta kedua, juga meskipun  dari rumpun yang berbeda, ada titik temu—mungkin terjadi saling pinjam—antara bahasa Patani (Austronesia) dan bahasa Makeang Barat (non-Austronesia) dalam menyebut nama pala, yaitu (a)sem.

Ketiga, ada varian penyebutan nama cengkih dalam sejumlah bahasa non-Austronesia (misalnya dalam bahasa Ternate, Tidore, dan Tobaru). Bahasa Ternate dan bahasa Tidore menyebut dengan varian fonologis, gaumedi—gomode, sedangkan bahasa Tobaru menyebutnya dengan nama yang sangat berbeda, buanga.

Argumentasi Ekolinguistik

Seperti hipotesis Sapir-Whorf tentang relativitas bahasa yang disebut pada awal tulisan ini, kata-kata yang diproduksi suatu masyarakat tutur, speech community, selain sebagai produk alam pikir, juga sebagai respons terhadap alam atau lingkungan sekitarnya. Dari perspektif ini, ada hubungan dua arah antara alam dan kreasi manusia dalam berbahasa. Alam menyediakan diri untuk dilabeli oleh penutur bahasa. Kata-kata yang diproduksi berkaitan dengan pengkhidmatan atas ekologi—flora, fauna, dan peristiwa alam.

Dengan argumentasi ini, kita dapat membuat satu tesis, “Lingkungan flora sekitar membentuk alam pikir penutur untuk berkonvensi menciptakan kata sebagai  nama untuk melabeli jenis flora tersebut.” Di sini, penutur jati, sebagai pencipta bahasa, melalui konvensi yang bersifat manasuka, bersepakat memberi nama-nama setiap flora yang berada di sekitarnya.

Kalau demikian, nama-nama seperti gosora, gaumedi/gomode, odai, ada, (a)sem, dan buanga adalah respons penutur jati bahasa-bahasa atas tumbuhan yang mereka lihat di alam sekitarnya. Kalau ditanyakan, mengapa penutur jati menyebut pohon—yang abad ke-16 disebut “emas hitam”—itu sebagai gaumedi, odai, dan lain-lain nama, maka jawabannya ditemukan pada dua sifat penting bahasa, yaitu konvensi dan manasuka.

Bukti Linguistik Sebagai Tanda Asal Rempah

Selain ada nama lokal untuk pala dan cengkih, kita mendengar ada cengkih dokiri, satu varietas cengkih yang konon berasal dari kelurahan Dokiri, Tidore. Meskipun ditanam di daerah lain di Maluku Utara, di pulau Makeang, misalnya, varietas cengkih ini tetap disebut cengke dokiri

Selain nama-nama lokal pala dan cengkih pada sejumlah bahasa lokal yang sudah disebut di atas, bukti satu varietas khas cengkih lokal di Dokiri adalah dua bukti penting dari warisan bahasa. Keaslian nama-nama pala dan cengkih dapat memperkuat argumentasi mengenai keasalan dua rempah yang paling dicari orang-orang Barat pada abad ke-16.

Dengan bukti-bukti bahasa—atau saya sebut sebagai bukti linguistik—tentang penamaan pala dan cengkih yang sama dan bervariasi dalam sejumlah bahasa daerah di Maluku Utara, kita dapat menguatkan argumen bahwa Ternate memang benar-benar dapat diusulkan sebagai “kota titik nol” jalur rempah-rempah dunia, khususnya pala dan cengkih, dua rempah termasyhur di seantero dunia pada abad ke-16 itu. 

Dengan meminjam kearifan lokal dalam bahasa Ternate, totike rimoi toma dofu madaha, ‘aku mencari satu di dalam yang banyak’, penemuan nama-nama lokal untuk pala dan cengkih adalah satu bukti linguistik yang dapat membantu memperkuat usulan Ternate sebagai “Ternate Titik Asal Jalur Rempah” atau “Ternate Titik Mula Jalur Rempah” atau “Ternate Titik Berangkat Jalur Rempah.” 

Di atas argumentasi dan bukti linguistik ini tentu saja kita perlu menyusun lini masa proses pencalonan “Ternate Titik Mula Jalur Rempah” sebagai warisan dunia budaya tak benda dengan memperhatikan dua hal penting. Pertama, naskah akademik yang kuat, argumentatif, dan kedua langkah-langkah ajeg dalam satu lini masa pengusulan. 

 

_______

Gufran A. Ibrahim merupakan Guru Besar Antropolinguistik, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun, Maluku Utara.

_______

Editor: Acmad Sunjayadi & Doni Ahmadi

Sumber foto: finedininglovers.com

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Gali Kejayaan Peradaban Melayu, Kemendikbudristek Gelar Seminar Internasional Dunia Melayu dalam Jaringan Perdagangan Rempah Dunia

15 September 2022

Pala: Mutiara Hitam Penyelamat Kei Besar dalam Wabah Waur Gate

7 April 2023

Muhibah Budaya Jalur Rempah Resmi Berlayar pada Hari Lahir Pancasila

1 Juni 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Muhibah Budaya Jalur Rempah Resmi Berlayar pada Hari Lahir Pancasila

admin

1 Juni 2022

...

Sejarah Selayar sebagai Collecting Center Jalur Pelayaran Nusantara

admin

9 Oktober 2020

...

Kota Makassar: Beras dan Bandar Rempah Terbesar Asia Tenggara

admin

14 Oktober 2020