Artikel

Hikayat Saudagar Lada Lampung

Abd. Rahman Hamid| 29 Juli 2024

William Marsden, pejabat Inggris yang menulis buku History of Sumatra, menemukan sebuah hikayat pedagang lada di Teluk Semangka abad ke-18 dengan tokoh utamanya adalah Nakhoda Muda Kyai Demang Perwasedana. Hikayat ini ditulis oleh La’udin, cucu Nakhoda Muda, di Lais (Laye) atas permintaan Residen Inggris di Bengkulu, Butter Hunnings, yang mengakhiri masa tugasnya pada tahun 1788. Itulah sebabnya, ia disebut Hikayat Nakhoda Muda.  

Hikayat ini tersimpan di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London dalam koleksi Bibliotheca Marsdeniana Philogica et Orientalis (No. 40323). Pada tahun 1830, ia diterjemahkan oleh Marsden dan diterbitkan dalam bahasa Inggris berjudul Memoirs of a Malayan Family. Kemudian hikayat ini diterbitkan dalam bahasa Melayu, sebagai lampiran (hlm. 103-153) buku De Biografie van een Minangkabausen Peperhandelaar in de Lampongs, karya G.W.J. Drewes (1961).    

Hikayat ini merupakan sumber penting tentang lada Nusantara dari perspektif pedagang Minangkabau. Selama ini, informasi mengenai rempah hanya bertumpu pada catatan pelaut dan pedagang Cina, Arab, dan Eropa. Dengan demikian, hikayat ini menambah body of knowledge lada Lampung yang melibatkan ulun Lampung, nakhoda dan saudagar Minangkabau, Kesultanan Banten, pelaut dan saudagar Eropa (Inggris dan Belanda). 


Sumber: Kemendikbudristek

Nahkoda Lada 

Hikayat ini dimulai dengan kisah Bajang Nahkoda Mangkuta. Ia berlayar dari Minangkabau ke Pulau Jawa untuk berdagang, lalu pindah ke Pulau Karimata. Ketika pulau itu diserang oleh bajak laut Bugis yang dipimpin oleh Tuasah dari Wajo, ia meninggalkan pulau tersebut ke Banjar, tepatnya daerah Tajan. Ia menikah dengan perempuan setempat dan lahirlah seorang putra bernama Encik Tajan. 

Nakhoda Mangkuta pindah dari Karimata ke Lampung sampai akhirnya tiba di Tanah Piabung, tempat mana banyak orang Melayu. Negeri itu dibawah kekuasaan Sultan Banten. Setelah mendapat izin dari pemimpin negeri itu, Pangeran Surabawa, barulah ia membuat rumah di kuala Piabung. Di sana ia berdagang dengan orang-orang Melayu dan Lampung. Pengaruhnya begitu kuat, sehingga ia diangkat menjadi datuk semua orang Melayu di sana.  

Putranya yang masih muda, Encik Tajan, sangat giat membawa lada ke Banten pada setiap musim. Walhasil, ia digelar sebagai Nakhoda Muda. Sebelum Mangkuta wafat, ia berpesan kepada Tajan supaya tidak meminjam modal kepada Kompeni atau siapa pun. Tajan menikah dengan putri Nakhoda Paduka, Raden Menteri, dari Semangka. Setelah ayahnya wafat, ia membawa isterinya ke Semangka. Daerah yang disebut terahir ini banyak menghasilkan lada. Setiap musim ia membawa lada ke Banten. Tajan punya sembilan orang anak, dan satu di antaranya bernama La’udin yang menulis hikayat ini. 

Orang Abung tinggal di balik bukit Semangka. Mereka punya tradisi berburu dan membunuh manusia, dari pedalaman sampai di pantai Teluk Semangka. Tradisi itu membuat petani sulit mengolah ladanya. Melihat hal ini, Tajan mufakat dengan jenang Sultan Banten, Kia Ria Mindjan (orang Jawa), untuk menyerang orang Abung. 

Nakhoda Muda memimpin 400 orang Semangka menyerang 10 kampung Abun di pedalaman. Setelah berhasil mengusir orang Abun, ia kembali ke Semangka. Ia pun sangat dihormati oleh penduduk Semangka. Sementara, akibat tindakannya menyebabkan orang Abung pindah ke sebelah laut dekat Palembang. 


Sumber: Kemendikbudristek

Dominasi Banten  

Setiap musim Nakhoda Muda membawa 100 bahar lada dari Negeri Semangka ke Banten. Walhasil, negerinya bertambah ramai. Penduduknya giat berdagang. Di sana terdapat 50 perahu yang sering membawa lada ke Banten atas izinnya. Di bawah pimpinan Nakhoda Muda, orang Melayu, Lampung, dan Jawa hidup damai dan makmur di Semangka.

Pada suatu musim, Nakhoda Muda berlayar membawa lada ke Banten. Namun, di tengah jalan perahunya diterpa oleh topan sehingga pecah, sementara perahu-perahu lain selamat sampai di Banten. Ia dan dua awaknya berusaha berlayar dengan sebuah sampan kecil menuju Banten. Setibanya di sana, ia melapor kepada Pangeran Kusumaningrat mengenai musibah yang menimpanya sehingga tidak dapat membawa lada kepada Banten. 

Tak lama kemudian, datang perahu dari Semangka membawa uang (real) dari isterinya untuk membeli perahu baru. Dengan perahu itu, Nakhoda Muda kembali ke Semangka, lalu kembali membawa lada ke Banten. Karena usahanya menghidupkan perdagangan Banten, Sultan memberinya gelar kehormatan, Kyai Demang Purwasedana. 


Sumber: Kemendikbudristek

Belanda vs Inggris 

Negeri Semangka di bawah kekuasaan Banten dan Kompeni (Belanda), begitu pula Nakhoda Muda. Ketika situasi tidak aman di Bengkulu, orang Krui pindah ke Semangka. Hubungan niaga dengan Banten tetap berjalan. Pada suatu saat, nakhoda dari Semangka membawa lada ke Banten dan saat kembali ia singgah di Bengkulu. Sang Nakhoda kemudian membawa lada ke Bengkulu, tanpa pengetahuan Kyai Demang.  

Tindakan sang nakhda membuat Belanda curiga terhadap Kyai Demang, sehingga ia selalu diawasi oleh Belanda. Tak lama kemudian datang utusan Belanda dari Banten. Mereka mendapat kabar bahwa dua nakhoda dari Semangka membawa lada ke Bengkulu (Inggris). Setelah 18 bulan utusan itu di sana, datang satu kapal Inggris dari Bengkulu di bawah pimpinan Kapitan Thomas Forrest. Mereka berlabuh di sana selama 10 hari, lalu berlayar lagi. 

Kyai Demang dicurigai oleh Belanda telah menjual lada kepada Inggris. Akibatnya, Kyai Demang dan lima anaknya dibawa ke Batavia untuk bertanggung jawab kepada Kompeni. Sebelum lepas dari Teluk Semangka ke Jawa, mereka berhasil melawan dan membunuh utusan Belanda, lalu kembali lagi ke Semangka. 

Pasca kejadian tersebut, Kyai Demang dan keluarganya serta 400 orang Melayu pindah ke Krui. Mereka meminta perlindungan dari Inggris di Bengkulu. Kyai Demang mengirim utusan ke Bengkulu. Mereka diterima oleh Forrest, yang pernah singgah di Semangka. Forrest memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih tempat tinggal di mana pun dalam wilayah Inggris, baik di Krui maupun Bengkulu. Namun, berita itu tidak sampai kepada Kyai Demang, karena itu telah wafat di Krui. Anak-anaknya kemudian meninggalkan Krui untu mencari penghidupan di Pulau Perca, Jawa, dan Bali. 

Hikayat ini sangat penting dalam memahami dinamika sejarah sosial, ekonomi, dan politik Lampung pada abad ke-18, ketika lada menjadi komoditas unggulan yang paling laris di pasar dunia. Singkatnya, lada Lampung menjadi penggerak sejarah lokal dan dunia.  

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Gerak Sigap Pemerintah Aceh untuk Program Jalur Rempah

13 Desember 2020

Gigi Balang: Jejak Budaya Melayu di Tanah Betawi

28 September 2022

Muhibah Budaya Jalur Rempah Resmi Berlayar pada Hari Lahir Pancasila

1 Juni 2022

Artikel Terbaru

Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 Sukses Menyusuri Tujuh Titik Jalur Rempah Indonesia Bagian Barat dan Malaysia

15 Juli 2024

MBJR Bersama KRI Dewaruci Singgah di Kota Melaka, Perkuat Konektivitas Kultural Indonesia-Malaysia

1 Juli 2024

Muhibah Budaya Jalur Rempah di Sabang, Nostalgia KRI Dewaruci Menyambangi Perairan Aceh 70 Tahun Lalu

23 Juni 2024

Artikel Terkait

...

Muhibah Budaya Jalur Rempah Resmi Berlayar pada Hari Lahir Pancasila

admin

1 Juni 2022

...

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

admin

9 Juni 2022

...

Merayakan Sejarah Jalur Rempah di Balik Hidangan Lebaran

admin

10 Januari 2022