"Untuk Indonesia, Jalur Rempah ini sangat potensial untuk diusulkan sebagai Jalur Budaya Warisan Dunia. Apalagi, UNESCO saat ini hanya mengakui Jalur Sutera dan Qhapaq Nan sebagai warisan dunia”. (Nyoman Suhaida, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kompas, 18 Agustus 2021).
Sekilas Tentang Jalur Sutera
Jalur Sutera mulai terbentuk kira-kira pada 200 tahun sebelum Masehi. Menurut Philip D. Curtin (1998) dalam Cross-Cultural Trade in World History, pada abad ke-2 SM mulai terbentuk jalur perdagangan darat melewati Asia Tengah. Jalur ini menghubungkan Cina (Tiongkok) dan Laut Tengah. Terbentuknya jalur darat ini juga diikuti dengan tumbuhnya jalur pelayaran laut yang menghubungkan Tiongkok, Laut Tengah, dan Jepang. Rute pelayaran ini terus berkembang mulai dari Laut Merah, Teluk Persia, dan India. Selain itu juga muncul rute pelayaran mulai dari India, Asia Tenggara, Tiongkok, dan Jepang mengikuti arah angin muson yang sedang berhembus.
Andre Gunder Frank (1998) melalui ReOrient: Global Economy in the Asian Age menuliskan bahwa komoditas utama Jalur Sutera (darat) ialah sutera, emas, tekstil, besi, dan perak. Berbeda dengan jalur darat, komoditas utama jalur laut bukan sutera melainkan komoditas rempah. Rempah menjadi komoditas utama perdagangan jalur maritim antara India, Mesir, dan Eropa yang sudah terjadi beberapa abad sebelum masehi. Komoditas rempah ini antara lain ialah lada dan kayu manis dari Srilanka. Sementara itu jalur maritim dari India ke timur hingga Nusantara dan Tiongkok pada waktu itu belum berkembang dengan baik.
Menurut D.G.A Hall (1988) dalam Sejarah Asia Tenggara, Jalur Rempah Nusantara mulai berkembang ketika terjadi konflik kerajaan-kerajaan di Asia Tengah menjelang Tahun Masehi yang mengganggu perniagaan emas India. Hal ini menyebabkan India membeli mata uang emas dari Kerajaan Romawi. Perniagaan mata uang emas ini kemudian dilarang oleh Kaisar Vespasianus yang berkuasa pada tahun 69-79 M karena berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi Kerajaan Romawi. Inilah yang memaksa India untuk mencari sumber emas baru di negeri-negeri Timur. Karya sastra India cukup banyak memberikan informasi bahwa ada emas di negeri Timur. Ternyata emas itu adalah rempah-rempah yang menjadi buruan orang-orang Eropa. Akhirnya, perniagaan India mengambil arah baru menuju timur.
Hendrik E. Niemeijer (2015) dalam makalah yang berjudul “The World of Juragan and Nahkoda in the Java Sea Region 1684-1726” menyatakan bahwa rempah Nusantara memiliki kualitas dan variasi yang lebih lengkap daripada rempah Malabar India. Selain itu, harga rempah Nusantara hanya sepertiga dari harga rempah Malabar. Komoditas rempah Nusantara akhirnya mampu menyingkirkan komoditas rempah dari Srilanka di kawasan perdagangan Laut Mediterania pada abad 1 M. Ketika datang ke Nusantara, para pedagang India membawa komoditas tekstil untuk ditukar dengan komoditas rempah. Ekonomi barter menjadi salah satu ciri khas pada masa itu. Selain itu, beras India juga menjadi alat barter untuk mendapatkan komoditas rempah. Hubungan dagang yang terjalin antara Nusantara dan India ini semakin membuka Jalur Rempah Nusantara lebih dikenal oleh bangsa yang lebih luas.
Jalur perniagaan maritim Nusantara dengan Tiongkok terjadi pada abad 5 M sebagaimana diungkapkan oleh O.W. Wolters (1967). Menurut Wolters, para pelaut Nusantara sudah mempunyai kemampuan berlayar sampai ke negeri Tirai Bambu. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam jejak tulisan para pejabat istana Tiongkok tentang kedatangan delegasi dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara. Menurut Anthony Reid (2002), memasuki abad ke-12 relasi perniagaan yang terjalin antara Nusantara dan Tiongkok banyak menggunakan kapal-kapal Nusantara sebagai sarana transportasinya
Andre Gunder Frank (1998) menyatakan bahwa komoditas rempah merupakan komoditas utama yang diburu oleh para pedagang dari negeri Tiongkok. Komoditas rempah ini sering ditukar dengan kain sutera dalam transaksi tukar menukar barang antara kedua belah pihak. Jadi, keberadaan kain sutera di Nusantara bukan merupakan komoditas pokok yang diburu oleh para pedagang Nusantara. Tujuan utama para pedagang Nusantara adalah menjual komoditas rempah kepada para pedagang Tionghoa dan bukan membeli sutera dari mereka. Dengan demikian hingga abad ke-12 hubungan perniagaan antara Tiongkok dengan Nusantara masih didominasi oleh komoditas rempah. Hal ini pun membuat Anthony Reid (2002) menyatakan bahwa jalur pelayaran dan perniagaan di Nusantara lebih cocok disebut sebagai Jalur Rempah daripada Jalur Sutera.
Pengetahuan Pertanian Tertua
Jalur Rempah Nusantara bukanlah cerita khayalan. Kekayaan rempah Nusantara adalah hasil dari teknologi pertanian yang paling tua di dunia. Stephen Oppenheimer (2010) menjelaskan dalam buku yang berjudul Eden In The East bahwa dunia pertanian yang tertata rapi di Indonesia terbukti mendahului dunia pertanian pada masa Revolusi Neolitikum di Timur Jauh (Rusia dan negeri sekitarnya). Budidaya ketela rambat dan talas di Indonesia tercatat pada 15.000 dan 10.000 tahun SM (Sebelum Masehi). Budidaya beras di Thailand tercatat berusia 6.000 sampai 7.000 tahun SM (Sebelum Masehi). Teknologi pertanian di Asia Tenggara terbukti jauh lebih tua daripada Tiongkok.
Penemuan artefak zaman perunggu di Ban Chiang (Thailand Selatan) dan Phung Nguyen (Vietnam Utara) berusia kurang lebih 5.000 dan 6.000 tahun. Umur artefak ini jauh lebih tua daripada Zaman Perunggu di Timur Dekat yang tertua (kawasan Mesopotamia seperti Syiria, Palestina, dan Mesir). Artinya, ini terjadi sebelum Tiongkok mencapai tahap kemajuan seperti ini.
Oppenheimer mengumpulkan kisah 'banjir setinggi gunung' dari Sabang sampai Merauke. Oppenheimer pun menduga, suku-suku di pedalaman Indonesia khususnya di Indonesia bagian timur adalah keturunan dari mereka yang selamat pada saat Zaman Es, tanpa harus bermigrasi ke luar Indonesia. Dalam sebagian dongeng mereka, sang kakek moyang cukup naik ke puncak gunung yang tinggi. Beberapa hewan memegang peranan penting dalam bencana alam itu. Misalnya saja penduduk Alor di NTT, menurut mereka ikan gergaji raksasa menenggelamkan benua dan memotong-motongnya menjadi beberapa pulau kecil.
Masyarakat di Pulau Seram punya dongeng nenek moyang mereka, yang diselamatkan dari banjir oleh elang laut yang membawa mereka ke sebuah pulau. Masyarakat Toraja pun punya dongeng banjir setinggi gunung dan mereka menyelamatkan diri naik palung tempat makan babi. Suku Dayak Ot Danum di Barito, Kalimantan Selatan juga punya kisah banjir yang menenggelamkan benua kecuali dua gunung, dan mereka menyelamatkan diri ke gunung itu. Suku Dayak Iban memiliki sosok Nabi Nuh versi mereka bernama Trow yang menyelamatkan diri naik lesung membawa hewan piaraan. Oleh karena itu, Oppenheimer menilai kisah banjir di Nusantara adalah orisinil dan sudah ada sebelum masuknya Islam dan Kristen ke kawasan ini. Itu sebabnya dia berpendapat bahwa Indonesia dan kawasan Asia Tenggara adalah benua yang tenggelam saat banjir besar di akhir Zaman Es.
Atap bangunan rumah adat Toraja menjadi salah satu arsitektur tradisional yang paling gampang dikenal di tanah air. Materialnya adalah Uru, kayu lokal seperti kayu jati dari Pulau Jawa. Selalu menghadap arah utara dan atapnya melengkung seperti perahu. Model atap ini dikenal dengan nama tongkonan. Tongkonan menggambarkan perahu yang digunakan oleh Puang Barulangi pada saat berlayar menuju Toraja ribuan tahun silam. Demikian mitologi yang diceritakan oleh C.F Palimbong, Ketua Aliansi Masyarakat Toraja Utara pada Tempo yang dimuat di Majalah Tempo edisi 13 Desember 2010. Barulangi dalam mitologi ini diyakini sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan di Toraja berasal dari daerah utara yang bernama Pongko, karena itu rumah adat Toraja selalu menghadap ke utara.
Menurut Oppenheimer, kisah banjir dalam mitologi seperti di Toraja merupakan salah satu dasar bahwa peradaban dunia berasal dari Indonesia (Asia Tenggara), terutama dari wilayah Paparan Sunda, yang sekarang sudah tenggelam menjadi Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Paparan Sunda atau Sundaland merupakan wilayah dataran luas yang berada di wilayah Indonesia dan sekitarnya saat ini. Sebelum dipisahkan oleh laut karena Zaman Es berakhir sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi. Saat itu, Sumatera, Jawa, Kalimantan masih menyatu dengan Asia Daratan. Daratan ini juga menghubungkan Kalimantan dengan wilayah Tiongkok Selatan.
Oppenheimer meyakini bahwa sebelum Paparan Sunda Tenggelam, penduduknya sudah memiliki kemampuan teknologi pertanian, teknologi perikanan, dan tembikar. Kemampuan pertanian ini merupakan tertua di dunia. Belum pernah tercatat ada masyarakat di belahan dunia lain yang memiliki kemampuan seperti ini. Saat Paparan Sunda terendam oleh banjir besar Zaman Es, penduduknya menyelamatkan diri berpencar ke seluruh dunia. Pelayaran ke arah Barat membawa nenek moyang bangsa Indonesia ini sampai Benua Eropa. Pelayaran ke arah timur mengantar mereka sampai Benua Amerika dengan melewati Selat Bering, yang masa ribuan tahun lalu masih berupa daratan sehingga masih dapat dilewati dengan berjalan kaki setelah naik perahu.
Selanjutnya, Oppenheimer menuturkan bahwa peradaban tua Sumeria (5.000 SM) sangat dipengaruhi oleh peradaban orang-orang yang berbahasa Austronesia. Sumeria adalah salah satu peradaban kuno di Timur Tengah, terletak di sebelah selatan Mesopotamia (tenggara Irak). Austronesia adalah rumpun bahasa yang antara lain mencakup Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain di Asia Tenggara. Teknologi gerabah di Sumeria sangat mirip dengan teknologi yang sama di Austronesia. Gerabah yang ditemukan di Ur, salah satu kota tua di Sumeria, memiliki kesamaan dengan teknologi gerabah peradaban Austronesia seperti dalam pewarnaan cat merah. Ada pula kesamaan dalam teknologi pembuatan patung dengan cara rajah atau tato. Di Sepik Tengah, Papua Nugini, suku-suku asli masih mempraktikkan teknologi rajah ini.
Selain teknologi, nenek moyang bangsa Indonesia juga menyebarkan mitologi atau dongeng banjir ke seluruh dunia. Kisah banjir bandang Sumeria memiliki kesamaan dengan banjir zaman Nabi Nuh. Penemuan tablet huruf paku di Sumeria memberikan informasi banjir Gilgamesh yang diduga merupakan banjir yang bermula dari tenggelamnya Paparan Sunda di Nusantara pada Zaman Es. Mitologi itu bercerita tentang Gilgamesh yang bertemu dengan Utnapishtim yang mengaku selamat dari banjir besar di negeri sebelah timur dengan naik perahu atau kapal besar.
Tulisan Oppenheimer ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita memang pelaut dengan karakter utama mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, dan biasa menempuh badai. Tidak mengherankan jika dikemudian hari orang-orang Nusantara berlayar ke berbagai penjuru lautan untuk berdagang rempah-rempah.
Cerita Jalur Rempah Beberapa Dekade Sebelumnya
Ada kisah yang ironis. Beberapa dekade ke belakang tafsir Jalur Rempah ini memang masih terasa asing di negeri sendiri. Hal ini terbukti dengan penerbitan buku dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI seperti: Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah (1996), Ternate sebagai Bandar Jalur Sutera, Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah (1997), dan Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutera (1998).
Buku-buku di atas merupakan hasil berbagai Seminar Bandar di Jalur Sutera yang digelar oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hampir setiap tahun. Diawali dengan Seminar Bandar Surabaya (1988), Seminar Bandar Tuban (1990), Seminar Bandar Demak (1991), Seminar Bandar Pasai (1992), Seminar Bandar Banten (1993), Seminar Bandar Sunda Kelapa (1994), Seminar Bandar Cirebon (1995), Seminar Bandar Ternate (1996), dan terakhir Seminar Bandar Jakarta (1997).
Penerbitan buku-buku yang memunggungi Jalur Rempah dengan Jalur Sutera di atas menunjukkan bahwa dunia intelektual pada beberapa dekade lalu masih terjebak terhadap narasi-narasi dari negeri asing. Kita lupa untuk membaca ulang, meneliti ulang, menganalisa ulang, dan mengambil kesimpulan ulang wacana Jalur Sutera yang begitu saja dilabelkan pada Indonesia. Dan, narasi Jalur Rempah yang terjadi di Nusantara justru terabaikan.
Padahal sejarah dunia mencatat bahwa karena hasrat ingin menguasai Pulau Run (Pulau Rempah) Belanda rela menukarnya dengan Pulau Manhattan sebagaimana tercatat dalam Perjanjian Breda pada tanggal 31 Juli 1667 di Kota Breda, Belanda. Pasal 3 Perjanjian Breda memutuskan Pulau Run di Maluku yang merupakan daerah jajahan Inggris menjadi milik Belanda. Adapun Pulau Manhattan (Nieuw Amsterdam) di Amerika yang merupakan jajahan Belanda resmi menjadi milik Inggris.
Pala merupakan salah satu komoditas rempah yang pada masa lalu hanya tumbuh di Kepulauan Banda, termasuk di Pulau Run. Para pedagang dari Melayu, Tiongkok, dan India datang ke Kepulauan Banda untuk membeli pala untuk kemudian dijual melalui kota Bandar utama seperti Malaka dan Calicut. Pala ini selanjutnya dibeli oleh para pedagang Arab dan dibawa melalui Teluk Persia dan Laut Merah, menuju Jazirah Arab dan Alexandria. Setelah itu, pala diekspor menuju Benua Eropa. Di Benua Biru, harga setengah kilogram pala setara dengan tujuh lembu jantan gemuk.
National Geographic mencatat bahwa harga pala dapat mencapai enam puluh ribu kali lipat dari harga beli di Kepulauan Banda. Pala diburu karena diyakini dapat meningkatkan vitalitas maupun bahan pengawet. Tanpa buah pala, kaum bangsawan dan borjuis Eropa hanya seperti menyantap bangkai dan makanan basi. Ketika Kekaisaran Bizantium runtuh, pala raib dari peredaran di Eropa karena para pedagang sulit untuk melewati Alexandria. Kesultanan Usmani menutup gerbang selatan Eropa tersebut. Para pelaut Eropa dan kongsi-kongsi dagang mereka akhirnya mulai mencari tanah asal pala dan menemukannya di pulau-pulau Kepulauan Banda.
Penjajahan Belanda di Kepulauan Banda tercatat dalam sejarah dunia sebagai penjajahan terkejam di dunia. Tanpa kenal ampun, tentara-tentara VOC membantai penduduk asli kepulauan rempah ini sehingga dari lima belas ribu jiwa hanya tersisa enam ratus orang saja. Sungguh merupakan aksi genosida khas penjajah Eropa demi menguasai “emas” Nusantara.
Setelah kedatangan Belanda, Kepulauan Banda juga kedatangan penjajah Eropa lainnya dari Kerajaan Inggris. Inggris akhirnya dapat menguasai Pulau Run pada tahun 1616. Kehadiran dua kerajaan penjajah dari Eropa ini mau tidak mau akhirnya memicu terjadinya perang antara kedua pihak. Perang ini berlangsung selama lima tahun dan Belanda sukses menguasai 10 dari 11 pulau di Banda kecuali Pulau Run yang diduduki Inggris. Akhirnya, demi “emas” Nusantara, Pulau Run dengan luas 6 kilometer persegi ditukar dengan Pulau Manhattan yang lebih luas 18 kali lipat Pulau Run. Kerajaan Belanda pun sukses menancapkan benderanya di seluruh Kepulauan Banda yang mengandung “emas” Nusantara, yaitu pala.
Tukar guling Pulau Run dan Manhattan adalah bukti bahwa perdagangan jalur maritim dunia lebih didominasi oleh komoditas rempah dan bukan kain sutera. Tidak ada catatan sejarah dunia yang menceritakan tukar guling pulau kecil dengan pulau besar hanya karena ingin menguasai kain sutera.
Tiongkok, sebagai pemilik Jalur Sutera, mampu menjaga daya tariknya di abad 21 ini dengan meluncurkan program One Belt, One Road / OBOR–reinkarnasi dari Jalur Sutera masa kini yang mengagungkan visi globalisasi negeri tirai bambu. Program ini dideklarasikan langsung oleh Xi Jinping pada 2013 dengan melibatkan berbagai negara mulai dari Asia, Eropa, dan Afrika. Jalur Sutera modern ini meliputi jalur darat dan laut. Jalur darat mulai dari Eropa Timur sampai ke Eropa Barat. Jalur laut melalui Vietnam, Malaysia, Indonesia, India. Dari Asia Jalur Sutera akan melewati Afrika Timur yaitu menuju Kenya, Somalia dan melewati Teluk Aden, dan Laut Merah. Setelah itu, dari Afrika Timur akan berlanjut ke Afrika Utara melalui Terusan Suez dan menuju ke Italia.
Yantina Debora (2017) mengungkapkan bahwa bagi Tiongkok, Jalur Sutera akan memperkuat kerjasama keuangan, memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur, dengan membentuk jalur transportasi yang kuat dengan negara lain. Mulai dari Tiongkok ke Eropa Barat dan dari Asia Tengah ke Asia Selatan. Hal ini akan membantu negara-negara ekonomi rendah yang berada dalam Jalur Sutera dalam hal pengembangan infrastruktur. One Belt, One Road bermaksud untuk memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers) dan mengambil langkah atau kebijakan guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi. Termasuk memperkuat komunikasi kebijakan terkait kerjasama ekonomi.
Jalur ini memiliki potensi pasar 3 miliar jiwa. Di Asia Tenggara saja, Jalur Sutera maritim punya populasi sekitar 600 juta jiwa. Tiongkok memang tak main-main, Presiden Xi Jinping juga berjanji menyediakan 8 triliun dolar AS untuk pembangunan infrastruktur di 68 negara. Kini menurut Tiongkok, pihaknya sudah berinvestasi sebesar 50 miliar dolar AS pada 20 negara di sepanjang rute Jalur Sutera. Dalam sebuah sambutan di forum Belt and Road Forum (BRF) di Beijing, 14 Mei 2017, Presiden Xi Jinping secara tegas menyampaikan gagasannya di depan 100 perwakilan negara terlewati Jalur Sutera. Pidatonya yang berjudul “Work Together to Build the Silk Road Economic Belt and The 21st Century Maritime Silk Road” semakin menegaskan janji manis Tiongkok di megaproyek ini. "Kami akan berkontribusi merealisasikan prakarsa Jalur Sutera, sebuah proyek abad ini, yang akan memberikan keuntungan banyak orang di seluruh dunia," kata Xi dikutip dari Xinhuanet.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Menurut Singgih Tri Sulistiyono (2020) ketika Tiongkok meresmikan OBOR pada tahun 2013, kalangan sejarawan Indonesia baru mulai bangun tidur. Kesadaran untuk membangkitkan Jalur Rempah ditandai dengan berbagai macam Seminar Jalur Rempah. Seminar pertama adalah Borobudur Writer and Cultural Festival yang mengambil tema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara antara Kolonial dan Poskolonial Tahun 2013. Dua tahun kemudian Museum Nasional RI menyelenggarakan Pameran dan Seminar Jalur Rempah Pelayaran dan Perniagaan di Nusantara. Dalam pertemuan ini muncul ide untuk membaca ulang “Jalur Sutera Maritim” menjadi “Jalur Rempah” karena rempah adalah komoditas utama. Proses ini terus berjalan dengan usulan kepada UNESCO agar Jalur Rempah menjadi Jalur Budaya Warisan Dunia sebagaimana Jalur Sutera.
Cerita dari Dalam Negeri
Sambil menunggu pemerintah mengusulkan jalur budaya ini diakui UNESCO, upaya membumikan Jalur Rempah bagi masyarakat Indonesia adalah kewajiban setiap orang. Dalam hal ini, dunia pendidikan dapat menjadi pintu gerbang pengetahuan Jalur Rempah bagi generasi muda Indonesia dalam membaca peran orang-orang Indonesia dalam sejarah dunia. Internalisasi Jalur Rempah melalui dunia pendidikan diharapkan dapat menjadi percakapan sehari-hari dan tidak jauh dari panggang api.
Proses ini tak perlu dimaknai dengan perubahan kurikulum atau mengganti buku pelajaran. Guru bisa membaca buku-buku tentang jalur rempah untuk selanjutnya disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. Pengetahuan akan Jalur Rempah ini juga dapat didistribusikan ke berbagai lokasi oleh Kemdikbud dalam bentuk bantuan buku untuk perpustakaan sekolah, maupun taman baca. Di mana semua ini bermuara pada keyakinan untuk mewujudkan gerakan literasi jalur rempah–suatu jalur budaya di mana Indonesia berperan penting dalam perubahan dunia.
_______
Naskah ini merupakan karya 10 pemenang terbaik dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini. Disunting dari judul awal “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Melupakan Jalur Rempah!”.
_______
Romi Febriyanto Saputro merupakan Kepala Seksi Pembinaan Arsip dan Perpustakaan, Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Sragen.
Editor: Doni Ahmadi
Sumber gambar: Alfredo Roque Gameiro