Artikel

Jalur Rempah dan Komik Medan

admin| 10 Februari 2022

Jalur Rempah yang terbentang sejak ribuan tahun silam menautkan berbagai wilayah di Nusantara serta menghubungkan Nusantara dengan berbagai tempat di Asia, Afrika, hingga Eropa melalui laut. Jalur Rempah juga menandai interaksi penduduk Nusantara dengan orang-orang dari berbagai negeri dan beragam kultur. Semua itu berkelindan membentuk satu warisan historis yang kini di antaranya mewujud dalam beraneka karya seni budaya.

Sejarah mencatat, pada 1511 orang-orang Portugis berhasil menaklukkan Malaka demi mencari rempah-rempah langsung ke sumbernya di Maluku. Malaka adalah salah satu kesultanan Melayu terkuat saat itu, yang kini termasuk wilayah Malaysia.¹

Sejak itu, pengaruh budaya Portugis kian menyebar di Nusantara dan jejaknya tertinggal pula dalam banyak karya kreatif, termasuk komik. Keulana (1959) dan Morina (1962), komik berlatar peristiwa historis karya Taguan Hardjo (1935-2002), adalah contohnya. Kedua komik yang dikategorikan sebagai “Komik Medan” itu mengambil latar masa saat Portugis bercokol di Malaka pada abad ke-16 hingga abad ke-17.

Istilah “Komik Medan” adalah penamaan untuk komik-komik yang terbit di Medan, Sumatra Utara pada akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Komik-komik terbitan Medan ketika itu banyak menyadur kisah-kisah dari kesusastraan Melayu lama dan cerita berlatar peristiwa historis-faktual yang menyelipkan nilai-nilai sejarah dan filsafati.²

Perang Demi Rempah

Keulana adalah komik karya Taguan Hardjo yang diterbitkan oleh Penerbit Firma Haris, Medan, pada 1959 dalam 3 jilid setebal 208 halaman. Awalnya komik ini dimuat bersambung di koran sebelum diterbitkan sebagai buku komik. 

Komik Keulana ini berlatar sejarah Aceh pada 1600-an. Dikisahkan saat itu pintu masuk ke Selat Malaka dikuasai angkatan laut Aceh. Pasukan Portugis berkali-kali mencoba masuk untuk dapat menguasai perdagangan rempah, tetapi selalu berhasil dipukul mundur pasukan Aceh yang tangguh dan gagah berani.³

Suatu kali satu kapal dagang Portugis berhasil ditenggelamkan dan para awaknya ditawan. Salah seorang tawanan itu mirip dengan tokoh Keulana, seorang prajurit Aceh. Mereka sungguh bak pinang dibelah dua. Maka, digunakanlah hal ini sebagai siasat. Keulana menyamar menjadi Rodriguez de Cabral, si pemuda Portugis, lalu diselundupkan ke Malaka yang dikuasai musuh untuk menjadi mata-mata. 

Di dalam komik ini dikisahkan pula peristiwa historis faktual kejatuhan benteng A Famosa di Malaka yang semula dikuasai Portugis ke tangan Belanda. Peristiwa itu kelak digambarkan Taguan dengan lebih detail di dalam komik Morina.

Komik Keulana ini selain berlatar sejarah perjuangan rakyat Aceh juga melibatkan kisah cinta bercabang antara Keulana dengan dua wanita, yakni dara Aceh bernama Sulaika dan gadis Portugis, mantan tunangan Rodriguez, bernama Miranda. Juga dikisahkan tentang liku-liku persahabatan, pengkhianatan, dan perebutan harta karun. 

Sementara itu, di ujung cerita akhirnya diketahui bahwa Keulana dan Rodriguez ternyata dua saudara kembar yang terpisah sejak kecil.

Kisah Cinta Berlatar Malaka

Sementara itu, Morina yang menyatakan diri sebagai novel grafis (di sampulnya tertulis “nopel bergambar”) adalah komik lebar seukuran majalah yang terbit dalam 2 jilid, masing-masing setebal 58 halaman. Komik ini juga diterbitkan oleh Firma Harris. 

Di sampul bukunya terdapat slogan “romantik djaman keagungan Malaka” (mungkin maksudnya kisah roman berlatar zaman kejayaan Malaka). Di bagian dalam komik disebutkan pula iming-iming “sebuah nopel bergambar indah dan bermutu, kisah sedjarah api, asap, dan tjinta karya besar pelukis kenamaan Taguan Hardjo”.

Kisah tentang “api dan asap” ini tentu bukanlah sindiran futuristis tentang kebakaran hutan yang kerap melanda negeri kita belakangan ini, melainkan kisah cinta yang berlatar peperangan, yakni ketika Malaka melawan Portugis yang saat itu juga menghadapi ancaman persekutuan militer-politik Belanda-Johor. Portugis dan Belanda berebut menguasai Malaka yang amat strategis sebagai pusat perdagangan rempah pada masa itu.

Morina sebagai tokoh utama adalah gadis jelita keturunan Portugis yang tinggal di benteng Orlando, Malaka. Dia dicintai banyak pria dari berbagai bangsa (Portugis, Belanda, Melayu). Plot mengalir seiring berkembangnya kisah hidup Morina dan pertemuannya dengan “Pangeran Berdjenggot” yang sebenarnya bernama Alang Teruna. Morina yang semula membenci Alang karena dia membunuh kekasihnya, Alfredo, dalam satu perkelahian, akhirnya menyerah dalam pesona asmara. Alang dan Morina saling jatuh cinta. Di ujung cerita, setelah melewati kisah dan petualangan berliku, mereka bersatu sebagai raja dan permaisuri di pesisir Malaka.

Dalam komik ini, selain intrik politik dan sejarah, Taguan menggambarkan ragam unsur kebudayaan Melayu dan Portugis dengan piawai. Keindahan dan detail gambarnya makin membuat komik ini menarik disimak.

Komik Morina karya Taguan Hardjo

Seperti halnya Keulana, komik Morina menyodorkan premis bahwa sejarah adalah kekuatan besar di mana manusia kerap terperangkap di dalamnya, mencari-cari jalan hidup dalam rengkuhan takdir, dan berakhir sebagai pecundang atau pemenang. Kedua komik ini mengandung optimisme di mana kebaikan dan keteguhan pada ujungnya akan diganjar kemenangan, sedangkan kebatilan berakhir pada kebinasaan.

Jalur Rempah yang Menginspirasi Komik Berlatar Sejarah

Dalam konteks komik Keulana dan Morina, pengaruh interaksi budaya di lintasan Jalur Rempah pada masa silam menghasilkan ide kreatif yang mewujud dalam karya budaya zaman kini. Karya itu berupa komik berlatar sejarah.

Komik pada hakikatnya adalah cabang seni yang membaurkan seni rupa dan sastra. Meski kerap disalahpahami sebagai bacaan yang tidak mendidik, komik (juga disebut cergam, singkatan dari cerita bergambar) dan bentuk-bentuk yang berkembang darinya seperti apa yang kemudian dikenal sebagai “novel grafis” diapresiasi oleh banyak orang sebagai karya seni. Di Prancis, misalnya, sejak akhir 1950-an komik dianggap sebagai “cabang seni yang kesembilan”, terpisah dari seni rupa. Sebab, komik memadukan seni rupa (gambar) dan sastra (teks cerita). Sebagian orang menyebut pula komik sebagai “sastra gambar”.

Taguan Hardjo yang menggubah Keulana dan Morina adalah salah satu komikus terkemuka Indonesia. Dia lahir dan besar di Paramaribo, Suriname, 6 November 1935. Ayahnya bernama Salikin Mardi Hardjo, imigran asal Jawa Timur yang dibawa penguasa kolonial Belanda ke Suriname untuk dipekerjakan. Sementara, ibunya bernama Ngadinem, perempuan kelahiran Suriname yang berdarah Jawa-Makao. 

Pada 1950-an, Taguan mengikuti program repatriasi menjadi warga negara Indonesia dan kemudian menetap di Medan. Di sinilah ia bekerja sebagai komikus. Dengan modal latar kehidupannya sendiri yang bertaut erat dengan beragam budaya hibrid–yang juga terkait dengan Jalur Rempah di masa lalu–antara lain Indonesia, Suriname, dan Belanda. 

Taguan begitu menonjol baik dalam produktivitas karya, teknik penggarapan, keseriusan melakukan riset, maupun pengolahan cerita. Seperti dinyatakan sastrawan dan kritikus komik Arswendo Atmowiloto, Taguan membuktikan bahwa, “komik tak bisa dipandang enteng” dan bukan sekadar “sampah khayalan untuk menyibukkan anak-anak dan para pemimpi”. Penguasaan arsiran tipis-lembut dan keterampilan menggambar anatomi, serta plot-plot ceritanya yang menarik, membuat karya-karyanya abadi dan menjadi klasik dalam jagat komik nasional.

Taguan kemudian menjadi salah satu ikon dari apa yang disebut sebagai “periode kejayaan Komik Medan”. Karya-karya Taguan kebanyakan berlatar sejarah, misalnya Dolores (berlatar masa berkuasa Spanyol di Kalimantan), Intan Dirdja Lela (berlatar kerajaan Malaka), Keulana (berlatar perang Aceh-Portugis di Malaka) dan Morina (berlatar perebutan benteng Portugis di Malaka) yang telah dibahas sebelumnya. Di dalam komik-komik itu, kisah sejarah berlatar Jalur Rempah dirajut dengan cerita fiksi yang menarik dan terasa begitu nyata.

Komik sebagai Warisan Budaya

Di Indonesia komik masih sering dianggap sebagai hasil kebudayaan rendah yang tak bernilai bagi para peneliti dan kaum intelektual. Para pendidik dan kaum puritan kerap merendahkannya dari sudut pandang moral secara a priori. Namun, di sisi lain, terdapat pula sekelompok orang yang menganggap komik Indonesia sebagai karya seni yang telah diperlakukan secara tak adil. Mereka berusaha mendudukkannya pada tingkat yang dianggap lebih layak sebagai karya kebudayaan yang bermutu; sejajar dengan cabang-cabang seni lainnya. 

Salah satu di antaranya adalah Seno Gumira Ajidarma, sastrawan dan intelektuil Indonesia yang meraih gelar doktor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia melalui disertasi tentang komik silat Panji Tengkorak karya Hans Jaladara. Tuduhan sebagian orang bahwa komik kita cenderung dangkal, abai terhadap riset dan referensi, tidak mendidik, dan membodohkan, tak sepenuhnya benar. Dengan kesungguhan para komikus dalam berkarya, komik kita juga bisa cerdas, edukatif, imajinatif, dan oleh karenanya memperkaya para pembacanya. Maka, sungguh tak adil memperlakukan komik sebagai benda tak berharga. 

Komik, dalam beberapa kasus, merupakan karya seni yang bisa mengandung nilai-nilai historis tinggi dan menjadi warisan budaya. Itu terbukti dalam komik Keulana dan Morina karya Taguan Hardjo yang dibuat lebih dari setengah abad lalu, di mana keduanya mengangkat sejarah Malaka pada masa kejayaan Jalur Rempah Nusantara.

Di masa depan, menarik untuk menunggu komik-komik lain karya para seniman komik Indonesia yang merekonstruksi kejayaan Jalur Rempah Nusantara pada masa lalu dan merevitalisasinya sebagai warisan budaya yang dapat menginspirasi generasi masa kini serta memperkaya khazanah seni budaya kita.

 

 

¹ M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2009), Serambi, Jakarta.

² Koko Hendri Lubis, Komik Medan: Sejarah Perkembangan Cerita Bergambar di Indonesia (2015), Partama Mitra Sari, Medan.

³ Taguan Hardjo, Keulana (1959), Harris, Medan.

⁴ Taguan Hardjo, Morina (1962), Harris, Medan.

⁵ Marcel Bonneff, Komik Indonesia (2008), KPG, Jakarta.

⁶ Arswendo Atmowiloto, "Komik Itu Baik: Koran Medan, Serta Cinta Jakarta" (1980), Kompas, Jakarta.

⁷ Koko Hendri Lubis, Taguan Hardjo Langsung dari Dalam Hati (2016), IKJ, Jakarta.

_______

Naskah ini merupakan karya 10 pemenang terbaik dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini.

_______

Mita Yuniarti merupakan pegiat literasi dan seorang pustakawan.

Editor: Doni Ahmadi

Sumber gambar: 'MORINA - KISAH API, ASAP & TJINTA' karya Taguan Hardjo

Bagikan:

Artikel Populer

Samudra Pasai: Kota Pelabuhan Penting dalam Jalur Pelayaran

20 Desember 2020

“Negeri di Bawah Angin”: Nusantara dan Pengaruh Angin dalam Jalur Perdagangan Rempah

1 November 2022

Jalur Rempah dan Kuliner ala Makassar Kaya akan Rempah

22 Maret 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Jalur Rempah dan Kuliner ala Makassar Kaya akan Rempah

admin

22 Maret 2022

...

Dari Jalur Rempah: Peta, Navigasi, dan Peran Pelaut Nusantara untuk Pengetahuan Hari Ini

admin

15 Februari 2021

...

Jangkar dan Meriam Kuno: Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Selayar

admin

10 Oktober 2020