Artikel

Khasiat Buah Pala, Jejak Sejarah, & Pengaruhnya dalam Konteks Literasi

admin| 3 Oktober 2020

Khasiat buah pala yang dihasilkan dari Kepulauan Banda tidak hanya menjadi primadona di tempat ia tumbuh. Pala juga turut berpengaruh dan mencatatkan tinta emas dalam catatan sejarah berupa rute perjalanan para pelaut dari masa lampau yang membentuk suatu rute atau Jalur Rempah. Jejak dan pengaruh pala ini juga dapat kita temukan dalam buku-buku dari para sejarawan hingga karya fiksi yang dihasilkan oleh banyak pengarang.

Hal ini sangat beralasan karena pada masa lalu, dari rempah pala dan fuli yang dihasilkan, banyak bangsa lain rela menyeberangi lautan nun jauh demi tanaman yang disebut orang Kepulauan Banda sebagai buah emas.

Asal muasal mengapa penduduk Kepulauan Banda menyebut buah pala sebagai buah emas ratusan tahun lampau ini juga bukan metafora. Pemaknaan soal ini sangat harfiah karena buah ini akan berwarna kuning keemasan saat separuh usianya. Dalam masa kuning keemasan ini buah pala belum boleh dipetik dan baru bisa saat warna mereka kuning merekah kemerahan dan fuli (pembungkus yang melekat di pala) berwarna merah. Hal ini pun turut menjadi sorotan beberapa penulis yang mengabadikan hal tersebut dalam karya-karyanya  

Tomé Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental (1944) bahkan turut mengutip ungkapan peribahasa pedagang Malaka terhadap rempah pala yang diyakini sebagai anugerah Tuhan yang Maha Kuasa karena telah menciptakan rempah jenis ini. Peribahasa yang tidak berlebihan karena memang dampaknya sedemikian luas. 

“Tuhan membuat Timor untuk cendana, Banda untuk buah pala, dan Maluku untuk cengkeh.” 

Tidak hanya itu, para pengunjung dari barat juga dibuat takjub dengan rempah hasil Kepulauan Banda ini sehingga membuat mereka berimajinasi secara puitis. Sejarawan dan penyair Spanyol dari abad ke-17, Bartholomé Leonardo de Argensola adalah salah satu contohnya. Ia menulis tentang pohon pala, yang didasarkan atas laporan orang-orang Portugis. 

“Pohon pala menyerupai pohon pir di Eropa. Buahnya pun mirip dengan buah pir, atau dengan bulatan yang agak mirip buah Melocotone (sejenis jambu). Bila berbunga, pala menyebarkan bau harum yang sedap. Sedikit demi sedikit warna hijau aslinya memudar, sebagaimana layaknya sebuah sayuran. Kemudian, muncul warna biru bercampur abu-abu—warna buah cherry –serta warna emas yang pucat, seperti warna pelangi. Bukan dalam pembagian yang teratur seperti itu, tetapi berupa titik-titik laksana batu jaspar. Kakatua yang tak terbilang banyaknya dan burung-burung lain dari aneka warna bulu, amat mengesankan untuk dipandang, bertengger di atas dahan-dahan, tertarik oleh bau harum semerbak itu. Buah pala—bila kering—menanggalkan kulit yang melingkupinya, dan merupakan fuli. Di dalamnya terdapat biji berwarna putih, yang rasanya tidak begitu tajam dibanding palanya sendiri, dan bila kering berubah substansinya. Dari fuli ini, yang pada tahap kedua menjadi panas dan kering, pada tahap ketiga orang Banda membuat minyak yang tinggi nilainya untuk mengobati segala macam penyakit pada saraf dan rasa sakit akibat hawa dingin. Mereka memilih buah pala yang paling segar, berat, gemuk, berair dan tak berlubang. Dengan pala itu mereka mengobati atau mengusir nafas berbau busuk, membersihkan mata, menyehatkan perut, hati dan limpa serta mencernakan daging. Pala merupakan obat buat banyak penyakit lainnya, dan untuk menambah kecemerlangan wajah.”

Seorang sejarawan asal Amerika, Willard A. Hanna, juga mengabadikan rempah dari Kepulauan Banda ini dengan sebentuk puji-pujian dalam karyanya yang berjudul Kepulauan Banda. Kolonialisme dan Akibatnya (1983). Berikut kutipannya:  

“Pala adalah pohon yang indah. Bila mencapai ukuran yang terbesar, tingginya kira-kira dua puluh lima atau tiga puluh kaki. Dan bila bentuknya bagus, garis tengah dari ujung ke ujung dahan-dahan bawahnya hanya sedikit kurang dari itu. Rimbun daunnya berwarna hijau tua yang mengkilat (seperti daun pohon bay), yang terus subur dan segar sepanjang tahun. […] Secara keseluruhan tidak banyak pohon yang lebih indah baik dalam bentuk, kerimbunan daun, bunga dan buahnya, daripada pohon pala yang sehat.”

Penulis fiksi sejarah asal Indonesia, Hanna Rambe, juga diketahui membuat novel tentang kepulauan Banda yang menjadi penghasil utama Pala. Dalam novelnya yang berjudul Mirah dari Banda (2010), ia berhasil mendeskripsikan dengan menarik bagaimana suasana panen pala di kepulauan Banda serta penggambaran sisa-sisa kekejaman kolonial. Tak luput, Hanna juga berhasil menggambarkan keluguan orang Australia melalui salah satu tokohnya, Wendy, yang begitu terpukau dengan pohon pala dan buahnya yang berwarna keemasan.

“Wendy terpaku, tegak di hadapan sebuah pohon pala yang sudah tinggi. Ia memandang ke atas. Dan terlihatlah beberapa buah pala di batang ujung rantingnya, tergantung di tangkai yang amat pendek. Warnanya kian indah, karena kena sinar matahari keemasan. Ia mengulurkan kedua tangannya seolah hendak memetiknya.

‘Hei! Tak boleh dipetik, belum merekah,” seru Jack

‘Saya bukan hendak memetik, hanya ingin membelai kulitnya,’ jawab Wendy tangkas.

Kulit buah itu terasa amat halus, seperti beludru, di ujung jari-jarinya. Sepintas lalu tampak seperti buah persik yang tumbuh di halaman rumahnya di Cairns, hanya lebih lonjong. Pantaslah disebut buah emas, pikirnya.”    

Tak hanya soal ketakjuban atas pala, penulis eksil dan juga dramawan terkemuka dari Indonesia, Utuy Tatang Sotani, dalam novel sejarahnya yang berjudul Tambera (1949) juga turut mengabadikan yang oleh penduduk Kepulauan Banda disebut sebagai Dapur Pala. Yakni tempat penyimpanan pala di kebun mereka yang juga dipergunakan untuk pengeringan atau pengasapan biji pala. Berikut kutipannya.

“Setelah jurubahasa menyampaikan persetujuan orang-orang Belanda itu kepada Imbata, setelah Imbata menyampaikan kepada penduduk pulau, pertukaran pun lantas dilangsungkan. Semua penduduk pulau yang ada mempunyai buah pala, pergi ke rumahnya atau ke kebunnya, untuk membawa simpanan pala itu ke hadapan orang-orang Belanda.”

Dari semua yang telah didedahkan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa khasiat buah pala bukan hanya berharga, baik secara ekonomis atau pun bernilai sejarah, ia juga turut dicatat dan memberi pengaruh dalam dunia literasi. Bagian yang penting adalah pala tercatat abadi dalam satu narasi yang senada, sebagai rempah yang bernilai tinggi dan mengundang decak kagum. Dan, ini baru satu jenis saja. Kita punya banyak rempah lainnya.

 

Naskah: Doni Ahmadi

Editor: Tiya S.

Bagikan:

Artikel Populer

Pelabuhan Malaka: Pengaruh Angin, Komoditas Perdagangan, dan Kebijakan Penguasa

15 Desember 2022

Rempah Gulai Kambing Mas Wis, Bercita Rasa Khas Bali

25 April 2022

Pesona dan Kisah Rempah-rempah di Negeri Laskar Pelangi

22 Desember 2020

Artikel Terbaru

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

22 September 2023

Hadirkan Pakar dari Berbagai Disiplin Ilmu, Kemedikbudristek Gelar Kajian Mendalam tentang Ketersambungan Jalur Rempah Nusantara dengan India, Timur Tengah, dan Cina

29 Agustus 2023

Saraba: Penghangat Tubuh, Pelengkap Cerita di Makassar

28 April 2023

Artikel Terkait

...

Pesona dan Kisah Rempah-rempah di Negeri Laskar Pelangi

admin

22 Desember 2020

...

Padang Hari Ini, Jejak Kejayaan dan Interaksi Berbagai Bangsa di Sumatera Barat

admin

27 Juni 2021

...

Buku Diplomasi Budaya Jalur Rempah: Upaya Meraih Pengakuan UNESCO

admin

27 September 2020