Artikel

Molabot Tumpe: Berawal dari Takhta Kerajaan hingga Lalu Lintas Pelayaran

admin| 8 Maret 2022

“Nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa”

Sajak di atas merupakan lagu anak-anak ciptaan Ibu Soed pada tahun 1940. Pemilik nama lengkap Saridjah Niung Bintang Soedibjo lahir di Sukabumi pada 26 Maret 1908, sosok yang akrab disapa Ibu Soed ini merupakan pemusik dan pencipta lagu anak-anak di tiga zaman, yaitu zaman Belanda, Jepang, dan Indonesia. Faktanya, beliau telah menciptakan lebih dari 400 lagu salah satunya lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut”. 

Sejarah di Balik Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut”

Lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” bukan sekadar lagu anak-anak yang bersifat menghibur, tetapi juga menyimpan makna dan sejarah di baliknya. Lagu ini mengandung makna bahwa leluhur bangsa Indonesia merupakan bangsa yang gagah dan pemberani karena kebiasaannya yang dapat mengarungi samudra, menerjang ombak, dan menempuh badai. Selain makna moral, lagu ini menyiratkan bahwa pada masa lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut yang berani berlayar hingga mengarungi berbagai belahan dunia. 

Melalui lagu ini, penulis menafsirkan bahwa ribuan tahun lalu nenek moyang bangsa Indonesia terbukti telah memiliki ilmu navigasi dan perkapalan, yang dapat membawa mereka menyeberangi Samudra Hindia, Semenanjung India, bahkan sampai ke Timur Tengah dan Afrika. Sejarah nenek moyang Indonesia yang merupakan pelaut dapat dilihat dari fakta sejarah. Berdasarkan teori “Out of Taiwan” (Bellwood, 2006) sekitar tahun 3500 SM, nenek moyang bangsa Indonesia melakukan migrasi ke Indonesia hingga menyebar ke seluruh belahan Nusantara. Namun, tidak berhenti sampai di situ saja. Memasuki era kerajaan Nusantara, terdapat salah satu kerajaan maritim yang berjaya di Indonesia, yaitu Kerajaan Sriwijaya. Menilik berbagai catatan sejarah, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang makmur karena letak Kerajaan Sriwijaya tepat berada di tengah, antara Cina dan Timur Tengah yang jalurnya melalui India. Hal ini membuat Kerajaan Sriwijaya dapat menguasai jaringan komoditas, jaringan transportasi dagang, dan pelayaran di wilayah barat Indonesia hingga ke Semenanjung Malaya.

Faktor Letak Geografis dan Kekayaan Alam 

Wilayah Indonesia merupakan surga dunia. Ditinjau dari letak geografis, Indonesia terletak di antara benua Asia, Australia, dan dua Samudra, yaitu persilangan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Tata letak yang strategis menyebabkan Indonesia dikenal sebagai pusat perdagangan penting dalam jalur perdagangan kuno antara India, Asia Barat, dan Cina sejak abad pertama masehi. Selain faktor letak geografis, faktor kekayaan alam berupa rempah-rempah yang melimpah di Indonesia, seperti cengkeh, pala, dan lada juga memainkan peranan penting. Rempah-rempah telah menjadi komoditas utama Nusantara dalam perdagangan internasional

Berpijak dari hal ini, banyak pedagang asing tertarik melakukan pelayaran ke Nusantara. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1497 bangsa Portugis berbondong-bondong  melakukan penjelajahan samudra menuju Nusantara dengan membawa pasukan sekitar 1200 orang dan 18 kapal. Armada ini dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque, mereka  berhasil tiba dan menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah Malaka. Setelah Malaka, dia pun menaklukkan Malaka dan dari sinilah kemudian dia menjalin hubungan dagang dengan Maluku. Tidak hanya bangsa Portugis yang tertarik dengan Nusantara. 15 tahun kemudian, Spanyol juga melakukan pelayaran ke Nusantara. Pada tahun 1512, armada Spanyol yang dipimpin oleh Juan Sebastian del Cano tiba di Maluku. Kedatangan Cano di Maluku ternyata justru menimbulkan konflik dengan Portugis. Untuk mengakhiri konflik tersebut, mereka sepakat mengadakan Perjanjian Saragosa.

Namun, ternyata sebelum bangsa Eropa melakukan pelayaran ke Nusantara, para nenek moyang Indonesia telah lebih dahulu terjun ke dunia perdagangan Internasional. Terdapat jalur pelayaran yang dilalui leluhur kita dalam membawa rempah-rempah ke berbagai wilayah, jalur inilah yang kita kenal sebagai “Jalur Rempah”. Jalur Rempah merupakan jalur perdagangan yang menggunakan rute perairan atau maritim. Jalur Rempah meliputi jalur pelayaran yang begitu luas yang menghubungkan Nusantara sebagai wilayah kepulauan dengan berbagai wilayah dan negara di benua lain di seberang samudra. Jalur inilah yang menjadi simpul peradaban bahari Nusantara, warisan budaya kebanggaan bangsa Indonesia. 

Jalur Rempah Menghasilkan Budaya Baru bagi Bangsa Indonesia

Perdagangan rempah-rempah di Nusantara mendorong terjadinya interaksi sosial antara masyarakat dari daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi yang terjadi tidak hanya dalam bentuk perekonomian, tetapi seiring berjalannya waktu interaksi antarsatu sama lain menimbulkan pertukaran budaya yang menghasilkan budaya baru.

Salah satunya di Banggai, Sulawesi Tengah. Masyarakat Banggai memiliki tradisi tahunan yang unik. Pasalnya, tradisi ini tidak hanya berlangsung di satu daerah saja. Tradisi ini dapat menghubungkan dua daerah yang berbeda melalui wilayah perairan. Molabot Tumpe merupakan ritual adat tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat di dua kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai dan Kerajaan Matindok (Batui). Tumpe/Tumbe dalam bahasa Banggai dan Saluan mengandung arti sesuatu yang pertama atau awal, sedangkan Molabot mengandung arti penyambutan. Menurut catatan sejarah Kerajaan Banggai, tradisi ini berawal pada tahun 1500-an. Pada masa itu, Banggai kedatangan seorang lelaki dari kerajaan Jawa yang disebut Mbumbu Doi Jawa (Pemuda dari Jawa) bernama Adi Cokro. Masyarakat Banggai memanggilnya Adi Soko. Adi soko berniat untuk memperdalam ilmu agamanya di Banggai. Di sinilah Adi Soko diangkat menjadi raja Kerajaan Banggai. Adi Soko menikah dengan putri Raja Matindok yang bernama Sitti Aminah, mereka dikaruniai putra yang diberi nama Abu Kasim. Kelahiran Abu Kasim diberi hadiah oleh sang kakek Raja Matindok, yaitu sepasang burung Maleo. Selang beberapa tahun, Adi Soko kembali pulang ke Jawa, tetapi anak dan istrinya tidak turut dibawa. Adi Soko hanya membawa sepasang maleo yang diberikan oleh Raja Matindok. Kepulangan Adi Soko ke Jawa menimbulkan kekosongan kekuasaan. Untuk mengatasi hal ini, para petinggi Kerajaan Banggai memilih Abu Kasim. Namun, Abu Kasim menolak untuk menjadi raja, ia memutuskan pergi ke Jawa untuk mencari ayahnya dan membujuk ayahnya pulang ke Banggai. Abu Kasim berhasil menemukan Adi Soko, akan tetapi Adi Soko tidak ingin kembali ke Banggai dan mengutus Abu Kasim untuk memegang takhta kerajaan, Abu Kasim bersikeras tidak ingin menjadi raja. Akhirnya, Adi Soko memerintahkan Abu Kasim untuk menjemput saudara tirinya di Ternate. Maulana Frins Mandapar, ia merupakan anak dari Adi Soko dan Kastela, istri Adi Soko yang berdarah Portugis. Abu Kasim kembali ke Banggai dengan membawa sepasang burung maleo karena burung maleo yang pernah dibawa ayahnya ke Jawa tidak dapat berkembang biak. Setelah perjuangan yang panjang, Abu Kasim berhasil membujuk saudara tirinya menjadi Raja Banggai. Maulana Frins Mandapar dinobatkan sebagai raja Kerajaan Banggai pada tahun 1600. Sepasang telur maleo yang diberikan kakek Abu Kasim, dibawa kembali ke Batui karena daerah Batui, khususnya Bakiriang, memiliki pasir yang cocok untuk kelangsungan hidup burung maleo. Telur maleo tidak diserahkan begitu saja, terdapat perjanjian antara Abu Kasim dan sang kakek Raja Matindok. Perjanjian itu berisi apabila burung maleo bertelur, telur maleo yang pertama tidak boleh dicicipi siapa pun dan harus diserahkan ke Kerajaan Banggai. Perjanjian inilah yang menghasilkan sebuah tradisi yang disebut Molabot Tumpe (Abuhadjim, 2019).

Tradisi Molabot Tumpe rutin dilaksanakan setiap tahun. Tradisi ini mendapatkan jaminan hukum dari negara, melalui Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 18B ayat 2 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Telur-telur maleo yang dibawa ke Kerajaan Banggai dibungkus dengan daun. Ketika diantar ke Kerajaan Banggai daun pertama yang membungkus telur maleo dibuang ke laut, kemudian telur maleo dibungkus lagi dengan daun palem. Hal ini dipercaya masyarakat bahwa daun pertama yang membungkus telur maleo akan berlayar terlebih dahulu daripada kapal yang akan datang membawa telur maleo. Daun yang berlayar ini menjadi pertanda untuk masyarakat Banggai bahwa rombongan kapal yang membawa telur maleo akan segera datang (Pradjoko, 2019).

Telur maleo menjadi simbol adanya tali silaturahmi antara masyarakat Kerajaan Banggai dan masyarakat Kerajaan Batui, tali silaturahmi disimbolkan dengan ikat merah di setiap telur pertama burung  maleo (Abuhadjim, 2019).

Posisi Banggai dalam Lalu Lintas Pelayaran dan Perdagangan

Berdasarkan sejarah tradisi Molabot Tumpe, setelah Maulana Frins Mandapar diangkat menjadi raja Kerajaan Banggai, tercipta keterkaitan antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Banggai. Banggai memiliki posisi dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan. Letak geografis Banggai yang dikelilingi oleh pulau-pulau menjadikannya jalur perdagangan antarbeberapa negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya jalur rempah Nusantara yang meliputi Banten, Surabaya, Makassar, Buton, Banggai, dan Ternate (Haliadi, 2021). 

Dengan adanya berbagai catatan sejarah mengenai peran dan fungsi jalur rempah di berbagai aspek, salah satunya aspek kebudayaan, jalur rempah menyebabkan berkembangnya berbagai kebudayaan di Indonesia. Saat ini, Indonesia sedang mengajukan Jalur Rempah ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Dengan diajukannya Jalur Rempah ke tingkat yang lebih tinggi, membuat masyarakat Indonesia harus memegang tanggung jawab lebih besar untuk menjaga warisan budaya. Melalui sajak “Nenek Moyangku Orang Pelaut” membuktikan bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut yang selalu memanfaatkan potensi lautan Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif masyarakat Indonesia dalam membina, menjaga, dan melestarikan kebudayaan yang diwariskan para leluhur. 

 

_______

DAFTAR PUSTAKA

Sadi, Dr. Haliadi, SS., M.Hum., Ph.D. 2021. “Jalur Rempah Nusantara”. Hasil Wawancara Pribadi: 12 September 2021, daring.

Wijaya, Djuanda. “Membangun Kembali Kejayaan Negara Maritim Nusantara.” The Global Review http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=17577&type=8. (diakses 13 September 2021)

_______

Naskah ini merupakan karya pemenang ketiga dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021 kategori Pelajar. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini.

_______

Penulis: Putri Nabilla Hasan, SMA Negeri 3 Luwuk

Editor: Tiya S.

Sumber gambar: Raiyani Muharramah/Wikimedia

Bagikan:

Artikel Populer

Saraba: Penghangat Tubuh, Pelengkap Cerita di Makassar

28 April 2023

Lasem, Kota Bandar di Pesisir Utara Jawa Abad 14 Masehi

28 Maret 2023

Minyak Kemiri, Materi Dasar Pewarnaan Kain Tenun Gringsing

8 Agustus 2021

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Minyak Kemiri, Materi Dasar Pewarnaan Kain Tenun Gringsing

admin

8 Agustus 2021

...

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

admin

9 Juni 2022

...

Rempah dalam Tradisi & Permainan Tradisional Masyarakat Belitung Timur

admin

25 Februari 2021