Tak dapat disangkal lagi bahwa Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarbangsa. Cirebon tidak hanya mempunyai hubungan-hubungan dengan wilayah sekitar seperti Demak, Banten, Tuban, dan Gresik, melainkan juga dengan bandar-bandar seberang lautan seperti Pasai dan Campa.
Hal ini ada sebelum memasuki era kolonial, di mana Cirebon sudah memiliki pelabuhan yang memungkinkan wilayah ini menjadi satu titik perdagangan. Nama Muara Djati yang berada di Cirebon sering disebut-sebut pada sumber-sumber tertulis klasik. Meski pada masa itu pelabuhan Cirebon belum ada, namun Muara Djati sudah menjadi salah satu simpul penting dalam lalu lintas di jalur rempah.
Pada masa Pra-Islam, Cirebon masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Kala itu, kira-kira 5 km dari kota Cirebon kini, di kaki bukit Amparan Jati terdapat sebuah pedukuhan atau perkampungan yang dinamakan Pasambangan dengan bandar utamanya, yakni Muara Djati.
Seiring waktu, bersamaan dengan tumbuhnya lalu lintas perdagangan rempah di Perairan Jawa, bandar Muara Jati pada waktu itu makin ramai dengan orang-orang yang melakukan transaksi. Kapal-kapal dari berbagai daerah berlabuh di bandar Muara Jati.
Kapal-kapal dan para pedagang ini ada yang berasal dari Cina, Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Hal ini menjadi katalis positif bagi pertumbuhan Dukuh Pasambangan. Tempat itu semakin ramai dan manjadikan penduduknya makin makmur.
Ramainya bandar ini juga diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Tertulis bahwa pada waktu itu Muara Jati didatangi kapal-kapal dari Cina di bawah pimpinan panglimanya yang bernama Wai Ping dan laksamananya Te Ho dengan pengikutnya yang tidak terbilang banyaknya. Maksud kedatangan mereka ke Muara Jati untuk menambah perbekalan, baik air bersih maupun pangan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit.
Mercusuar pun dibangun di pelabuhan Muara Jati, hal yang juga menandakan bahwa pelabuhan ini semakin ramai dan kapal-kapal asing semakin sering berdatangan. Kala itu, Muara Jati sudah terkait dalam jaringan dagang internasional. Bahkan sebelum penduduk negeri ini memeluk Islam.
Sejak era kolonial, Muara Jati mulai tersisih. Alasannya tidak lain karena adanya sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan dan penyempitan perairan. Belanda memutuskan membangun pelabuhan baru. Sejak itu, posisi Muara Jati hanya menjadi pelabuhan kecil. Sebab pusat keramaian sudah berpindah tangan.
__________
Sumber:
Tjandrasasmita, U. 1996. “Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia”, dalam Susanto Zuhdi, Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), h. 199-220.
Pangeran Arya Cerbon. 1980. Purwaka Caruban Nagari. (Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
__________
Naskah: Endi Aulia Garadian
Editor: Doni Ahmadi