Artikel

Rempah dalam Praktik Pengobatan Tradisional Sulawesi Selatan: Tuturan Dua Sanro di Pangkajene dan Kepulauan

F Daus AR| 27 Desember 2021

Pengobatan tradisional yang merujuk pada praktik di luar pengobatan medis modern, masih berlangsung hingga kini dan banyak dijumpai di pedesaan. Kegiatan tersebut masih dapat ditemukan di Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, berjarak sekitar 50 km di sisi utara Kota Makassar. Para sanro, sebutan untuk pengobat tradisional masih menjadi tempat bagi warga sebagai wahana pengobatan. 

Sebutan sanro ini generik tetapi memiliki spesifikasi pengobatan berbeda. Sebagai contoh, sanro pammana (menangani persalinan) atau sanro pangnguru (melakukan pengobatan dengan pengurutan). Penamaan tersebut berdasarkan keahlian pengobatan yang dijalankan. Meski demikian, tidak semua sanro memakai media pengobatan yang mengandung unsur rempah.

Dua sanro dalam ulasan ini termasuk yang menggunakan sejumlah rempah dalam media pengobatannya. Keduanya memiliki spesifikasi pengobatan penyakit dalam, namun uniknya media pengobatannya berbeda. Penyakit dalam yang dimaksud ialah turunnya daya tahan tubuh yang lazim dialami perempuan pasca melahirkan. Dalam bahasa setempat, istilah bahasa Makassar, disebut bingkasa.

Sanro pertama bernama Rosdiana atau akrab disapa Daeng Caddi, kini berusia 58 tahun. Selama kurang lebih 30 tahun telah dipercaya sebagai pengobat tradisi di kampungnya di Baru-Baru Tanga, Bonto Perak, Pangkajene, Pangkep. Sebagai sanro, sebagaimana lazimnya, ia tidak mengenalkan dirinya ke masyarakat, melainkan tersiar melalui informasi antar warga. Keahlian pengobatan Daeng Caddi didapatkan dari neneknya bernama Tipa yang sejak dulu juga dikenal sanro.

Setelah nenek Tipa wafat pada 1990, warga meyakini kalau salah satu keturunan dari neneknya itu pasti ada yang melanjutkan. Dalam tuturan Daeng Caddi, diungkapkan kalau memang neneknya menjelang wafat pernah berujar ingin mewariskan ilmu pengobatan, tetapi Daeng Caddi menganggap itu biasa saja. Namun, dalam perjalanannya kemudian, Daeng Caddi menyadari kalau dirinyalah yang dipilih dan saudaranya yang lain mendukung.

Sanro kedua ialah Hj. Badaria, kini sudah sepuh usianya sekitar 73 tahun. Proses pewarisan keahlian pengobatan juga diturunkan dari neneknya. Ia berkisah kalau neneknya datang dalam mimpi dan meniup mulutnya. Itulah ikhwal dimulainya proses menjadi pengobat tradisi setelah neneknya wafat. 

Nampaknya memang, jika ditilik lebih dalam, terjadi kesamaan legitimasi pewarisan pengobatan tradisi yang dialami para sanro. Pertama, pewarisan hanya terjadi dalam kekerabatan keluarga atau yang memiliki ikatan darah. Kedua, lahirnya legitimasi sosial dalam pikiran warga kalau pewaris pengobatan tak jauh dari sumber pertama. Ketiga, terjadi peristiwa mistik yang dialami.

Baik Daeng Caddi dan Hj. Badaria mengisahkan pernah mengalami pengalaman mistik pada awal menerima pewarisan pengobatan. Lambat laun, pengalaman tersebut disadari oleh keduanya bahwa itu adalah  pilihan untuk mengabdikan diri di masyarakat dalam membantu proses penyembuhan.

Rempah di Balik Minyak Urut

Dalam menjalankan praktik pengobatannya, Daeng Caddi membuat ramuan minyak urut sendiri. Hal itu dilakukan setelah warisan minyak dari neneknya sudah habis. Mengingat sebelumnya tidak mengetahui rempah apa saja yang dipakai, Daeng Caddi memberanikan diri dengan memecahkan botol dan mengamati sisa ramuan yang ada. Beruntung, rempah yang terfermentasi tidak hancur sehingga masih bisa mengenalinya.

Dari hasil amatan itulah Daeng Caddi lalu mengolah minyak urut. Bahan rempah yang dipakai berupa merica, bawang merah, cengkeh, biji pala, dan kayu manis. Bahan lainnya ialah akar rumput gajah. Rempah itu digoreng dengan tingkat kematangan tertentu agar nantinya terfermentasi dengan baik ketika dicampur dengan minyak zaitun, minyak kelapa, dan minyak kayu putih.

Minyak urut itulah yang digunakan Daeng Caddi dalam melakukan praktik pengobatan di rumahnya. Pasiennya datang dari warga sekitar dan dari luar kampung. Informasi mengenai keahliannya menyebar dari mulut ke mulut yang tentu bermula dari pasien yang pernah datang berobat.

Pada September 2020, saya terlibat dalam proses penelitian bertajuk Menghambur Menyigi Sekapur Sirih, program Pra Event Makassar Biennale 2021. Bersama tim kerja, kami mengulas kiprah pengobatan Daeng Caddi. Laporannya berupa hasil penelitian telah dibukukan dalam antologi Ramuan di Segitiga Wallacea, Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, Hingga Teluk Cendrawasih (Makassar Biennale: 2019). Selain laporan tertulis, juga ada ada berupa seri video yang telah diposting di saluran YouTube Makassar Biennale.[1]

Masih di tahun yang sama di bulan yang berbeda, yakni pada Juni 2020, melalui program panggilan terbuka ‘Karya Normal Baru’ yang diinisiasi Jakarta Biennale, Biennale Yogyakarta, dan Makassar Biennale saya mendapat dukungan menyelesaikan dokumenter Hikayat Pengobatan Bedak Basah yang mengulas kiprah Hj Badariah bersama anaknya, Hukmawati.[2]

Mengenal lebih jauh kiprah pengobatan tradisi yang dijalankan Daeng Caddi dilakukan selama masa penelitian tersebut. Ia menunjukkan tempat membeli rempah yang tak jauh dari rumahnya, di mana rempah sudah sangat dekat dengan mereka. Bila di toko kelontong dekat rumahnya itu kehabisan stok, barulah Daeng Caddi ke pasar.

Menilik kehadiran rempah dalam praktik pengobatan tradisional tentulah hal menarik dan kembali mengingatkan pergulatan rempah di masa lalu. Secara umum rempah yang digunakan merupakan bahan yang biasa dipakai untuk kebutuhan bumbu dapur. Di sisi lain, rempah memiliki fungsi lain sebagai campuran bahan ramuan pengobatan. Hal ini memanglah bukanlah hal baru karena rempah sebagai obat sudah lama digunakan. Salah satunya adalah temuan arkeolog di situs Mesopotamia mendapati jambangan berisi cengkeh yang disinyalir sudah ada sejak tahun 1721. Di tangan Daeng Caddi rempah itu adalah senyawa yang menghubungkan pijatannya ke pasien.

Dalam menangani pasiennya yang mengalami bingkasa, mula-mula dilakukan pengurutan sebanyak tiga kali di bagian perut. Selanjutnya, si pasien dibekali minyak kayu putih yang sudah ditiupkan doa oleh Daeng Caddi. Minyak kayu putih itulah bekal bagi pasien dalam melanjutkan pengobatan dengan membaluri perutnya hingga perlahan membaik. Selain orang yang mengalami bingkasa, Daeng Caddi juga mengobati wasir dan juga menangani pasien anak-anak yang mengalami sakit perut.

Media pengobatan dan metode penanganannya sama. Sekali waktu saya pernah membawa anak saya yang berusia tiga tahun yang mengeluh karena perutnya sakit. Hasil pemeriksaan yang dilakukan Daeng Caddi mengungkapkan jika anak saya itu mengalami pergeseran organ di balik tembuni. Dalam istilah Makassar disebut simula jaji. Oleh karena itu Daeng Caddi melakukan pengurutan di bagian perut dan mengembalikan posisi isi organ yang bergeser ke tempat semulanya. Ia mensinyalir kalau anak-anak lazim mengalami hal demikian dikarenakan aktif bergerak dalam bermain.

Bedak Basah dan Ramuan Minuman

Meski spesifikasi pengobatan yang dijalankan sama, Hj. Badaria menggunakan media pengobatan berupa bedak basah dan ramuan minuman untuk pasiennya yang mengalami bingkasa. Namun, tidak semua pasien harus diobati dengan dua media pengobatan tersebut. Ada kalanya cuma bedak basah saja karena menurut Hj Badaria kondisi bingkasa yang dialami belumlah parah.

Lain hal jika kondisi pasien sudah parah. Kondisi parah tidaknya pasien tentu bersumber dari tuturan pasien sendiri yang mengalami gejalanya. Hj. Badaria memang meminta pasien menceritakan lebih dahulu kondisi yang dialami sehingga ia dapat menarik kesimpulan keparahan bingkasa selain dari hasil amatan secara lahiriah atau kebatinan yang dilakukan Hj Badaria sendiri.

Paket media pengobatan bedak basah dengan ramuan minuman hanya untuk pasien yang mengalami bingkasa yang sudah parah. Pasien dibekali bedak basah yang harus dibalurkan ke sekujur tubuh, dianjurkan dilakukan di pagi dan sore hari. Sedangkan ramuan minuman dianjurkan diminum di pagi hari atau, jika pasien merasa kondisi tubuhnya sangat lemah, maka ramuan minuman itu bisa disiapkan sebanyak yang dibutuhkan dan dijadikan pengganti air minum.

Di balik pembuatan bedak basah terdapat sejumlah rempah seperti biji pala, merica, wijen, kunyit, bawang merah, bawang putih, dan panili (vanili). Sedangkan ramuan minuman terdapat komposisi kayu sepan, kayu manis, akar serai dan jintan hitam. Proses menemukan rempah-rempah tersebut didapatkan dengan membeli di pasar. Namun, ada juga rempah yang tergolong sulit ditemukan seperti kayu sepan sehingga perlu memesan melalui jaringan keluarga yang memiliki akses mendapatkannya kayu tersebut. 

Dari Mana Datangnya Rempah?

Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global (Pustaka Obor Indonesia: 2015) menuliskan riwayat kalau orang Ternate dan Tidore menyampaikan ke orang Portugis kalau nenek moyang mereka mengetahui nilai cengkih dari orang Cina. Tarikh riwayat ini terjadi di abad ke-14.

Ekspor rempah-rempah Maluku ke Tiongkok dan Eropa tiba-tiba melonjak sekitar tahun 1400 dan dengan pelan meluas selama abad ke-5 walaupun hal ini barangkali menyembunyikan penurunan di pertengahan abad dan lonjakan dasawarsa akhir.[3] Menengok pergulatan zaman sejak abad ke-14 dan-15 sepertinya sudah era baru dalam jaringan perdagangan global rempah di mana kepulauan Maluku adalah pusat.

Meski dalam catatan Christian Pelras mengetengahkan jika produk ekspor utama di Sulawesi Selatan adalah beras. Pinto, seorang penjelajah Portugis, mengatakan bahwa beras yang diekspor dari Sulawesi Selatan sejak 1511, meski jumlahnya tidaklah terlalu besar-dapat memenuhi seluruh kebutuhan kubu Portugis di Malaka.[4]

Pelras juga mencatat selain ekspor beras, hewan ternak dan binatang buruan, juga terdapat rempah yang didapat dari pulau sekitar berupa kayu cendana dari Kaili, Palu dan Bima, juga kayu gaharu dan sepang dari Sumba.

Patok zaman tersebut tentulah mengalami perubahan dari peralihan abad yang terus berlangsung hingga kini. Kebutuhan akan rempah tak pernah surut walau tidak lagi merajai lalu lintas perdagangan. Dikutip dari reportase Lokadata.Id[5] bertajuk Peluang Bisnis Perdagangan Antar Daerah edisi Juli 2021 merilis sepuluh komoditas utama yakni: industri makanan dan minuman, pengolahan tembakau, alat angkutan, industri logam, farmasi, mesin, jasa perusahaan, jasa informasi, perdagangan otomotif, dan perikanan.

Jalan sepi perdagangan rempah menjadi titik balik kejayaan masa lalu di mana aromanya menyengat melintasi benua dan tercium di hidung para raja dan pembesar di Eropa, Arab, Afrika, Asia, hingga Amerika. Ikhwal aroma inilah yang menggerakkan armada Portugis, Belanda, dan Inggris mengarungi lautan mencari kepulauan rempah. 

Kemuliaan Rempah dan Ritus Pengobatan

Pengobatan tradisional merupakan suatu wujud pencapaian kebudayaan yang tumbuh dalam masyarakat. Terjalin kesakralan yang tak terpisahkan sebagai sugesti penyembuhan yang dihadirkan sanro untuk pasien.

Sebagaimana halnya tabib rakyat di mana-mana, tabib di Asia Tenggara berusaha mengobati penyakit pada jiwa sebanyak mengobati penyakit pada tubuh.[6] Penelitian panjang Anthony Reid tentang masyarakat Asia Tenggara menyimpulkan jika menjaga kesehatan berhubungan dengan daya hidup manusia. Itulah mengapa pengobatan yang dilakukan bersifat magis.

Beberapa perilaku ritus yang dimaksudkan untuk memperkuat daya hidup ini atau untuk melindunginya dari bahaya atau gangguan roh-roh luar yang kuat, boleh jadi menyertai setiap tindakan pengobatan, termasuk untuk retak kecil pada tulang. Dalam hal gangguan jiwa atau wabah, keseluruhan penyembuhan menjadi upacara ritus.[7]

Ritus penyembuhan ini masih diterapkan oleh Hj. Badaria. Di awal mula proses pengobatan, ia sudah menyampaikan ke pasien mengenai syarat khusus yang harus dipenuhi oleh pasien. Setelah pasien mengalami kesembuhan maka dianjurkan kembali menyampaikan ke sanro. Proses akhir dari pengobatan ialah ritus. Hj. Badaria akan membuat penganan tradisi berupa sokko dan palopo yang kemudian didoakan oleh pemuka agama setempat. Sedangkan Daeng Caddi hanya menganjurkan ke pasiennya membawa pisang untuk dilakukan hal serupa.

Meski dalam praktiknya tidak semuanya berjalan sesuai anjuran, baik pasien Hj. Badaria maupun Daeng Caddi hanya menyerahkan sejumlah uang sesuai takaran harga. Proses ritus selanjutnya dikerjakan sendiri oleh Hj. Badaria dan Daeng Caddi. Ritual pengobatan harus dilakukan karena jika tidak, sanro akan mengalami gangguan eksternal seperti peristiwa magis sampai mengalami sakit.

Kadang pula Daeng Caddi berinisiatif membeli pisang sendiri jika pasien hanya menyerahkan uang. Proses ungkapan kesyukuran ma’baca (ritual berdoa) harus dilakukan. “Biasa kalau lupa, saya akan sakit. Seluruh badan saya serasa tidak bisa bergerak,” ungkapnya[8]

Terkait rempah, dalam tuturan Hj. Badaria, terkadang ia harus menunda pembuatan bedak basah dan ramuan minuman jika ada rempah yang tidak ada. Baginya, keseluruhan komposisi rempah dalam proses pengobatan tidak bisa digantikan.  Karena itulah praktik pengobatan tradisi mengandung pula aspek pencapaian peradaban dalam menyembuhkan dan merawat kesehatan umat manusia.

_______

[1] Tautan video dapat disimak: https://www.youtube.com/watch?v=m9byjZvPqVU&list=PLyXQhqxiXwdcQLIWmmqs8PWsFZU5LWn7T&index=17

[2] Tautan film dapat disaksikan di sini: https://makassarbiennale.org/mb2021/10-karya-normal-baru/hikayat-pengobatan-bedak-basah/

[3] Anthony Reid. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015, hlm. 8

[4] Christian Pelras. Manusia Bugis. Nalar, Jakarta, 2006, hlm. 141

[5] https://lokadata.id/report/peluang-bisnis-perdagangan-antardaerah-190942. Diakses pada Sabtu, 6 Agustus 2021. Pukul 14.47 Wita

[6]  Anthony Reid. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2020, hlm. 63

[7] Ibid., hlm. 63

[8] Anwar Jimpe Rachman (Ed). Ramuan di Segitiga Wallacea, Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, Hingga Teluk Cendrawasih. Makassar Biennale, Makassar, 2019, hlm. 134

 

 _______

Penulis: F. Daus AR

Editor: Achmad Sunjayadi & Doni Ahmadi

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Pelabuhan Muara Djati, Jejak Perdagangan Rempah di Cirebon

14 Januari 2021

Perbedaan Jalur dan Jaringan dalam Perdagangan Rempah

6 Desember 2020

Malam Bakupas, Ruang Keterikatan Masyarakat Minahasa dengan Rempah

21 Februari 2023

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Malam Bakupas, Ruang Keterikatan Masyarakat Minahasa dengan Rempah

Wulandari Zefanya Rumengan

21 Februari 2023

...

Rempah dan Teh Nusantara: Sekilas Sejarah dan Manfaatnya

admin

21 Maret 2021

...

Luwu dan Luwuk Banggai, Pengekspor Besi Tersohor di Masa Lampau

admin

16 Oktober 2020