Artikel

Saling Silang Bahasa di Nusa Ambon

admin| 3 Januari 2022

Sejak abad ke-15, Nusa Ambon menjadi panggung kosmopolit di mana banyak bangsa berkumpul, berinteraksi, dan berdagang. Knaap (1991) menyebut Kota Ambon sebagai kota migran tempat banyak orang datang untuk mencari peruntungan. Jika jalur rempah dapat dipahami sebagai jalur budaya (ICOMOS, 2018) maka perkembangan kebudayaan di Nusa Ambon tidak dapat dilepaskan dari posisi strategisnya dalam jalur pelayaran dan perdagangan rempah-rempah. Berbagai bangsa berinteraksi sekaligus bertukar budaya di Ambon. Walaupun di satu sisi terdapat ancaman ketidakcocokan dengan budaya setempat, tetapi pada sisi lainnya justru memperkaya kebudayaan Ambon. Kepusparagaman budaya itu dapat dipahami dengan komprehensif jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan yang universal (Kroeber & Kluckhohn, 1952). Dan, salah satu unsur tersebut adalah bahasa.

Sebagai hasil dari proses historis, Bahasa Ambon memiliki karakter yang berbeda dengan Bahasa Melayu di daerah lainnya seperti Bahasa Melayu Manado atau Bahasa Melayu Ternate. Selain berakulturasi dengan bahasa daerah, Bahasa Melayu Ambon juga menyerap kosakata asing dari Bahasa Portugis dan Belanda. Tidak salah jika kemudian Collins (1975) menyebut Bahasa Ambon tiada ubahnya sebagai bahasa kreol yang terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai bahasa.

Sejarah Bahasa Melayu Ambon telah banyak dikaji. Collins (2005) dan Muhammad (2018) mengetengahkan bagaimana Bahasa Melayu menjadi Bahasa Nusantara termasuk bagi masyarakat Ambon. Abdurachman (2008), Da Franca (2000), dan De Castro (2019) melihat banyaknya kosakata Portugis yang diserap oleh Bahasa Ambon. Jika Russel Jones (2017), Kustiyanti (2014), dan Sri (2016) berhasil mengidentifikasi kata serapan Belanda dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, maka Van Minde (2002) berhasil mengidentifikasikan 321 kosakata Belanda dalam Bahasa Ambon.

Sayangnya kajian mereka bersifat parsial dan belum melihat proses pembentukan Bahasa Ambon secara menyeluruh. Tulisan ini akan menarasikan bagaimana persilangan bahasa di Nusa Ambon secara historis. 

Dengan memanfaatkan penelitian kepustakaan, literatur primer tersedia untuk dibaca dan dirajut kembali dalam suatu narasi sejarah. Pada kurun niaga, abad ke-15 hingga ke-17, kota-kota maritim di Asia Tenggara saling terhubung satu sama lainnya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, pusat niaga digantikan secara bergantian oleh Pasai, Malaka, Johor, Patani, Aceh, dan Brunei. Dalam jaringan perdagangan itu, Bahasa Melayu menjadi bahasa niaga utama di seluruh Asia Tenggara. Hal itu juga berimbas pada sosok dan peran orang Melayu. Orang Melayu seringkali diasosiasikan dengan kelas pedagang kosmopolit di Asia Tenggara.

Mereka memiliki identitas yang sama, yakni berbahasa Melayu dan beragama Islam. Dengan bahasa dan agama yang seragam, mereka telah memiliki identitas kemelayuan kendati leluhur mereka mungkin saja orang Jawa, Mon, India, Cina (Tiongkok), atau Filipina (Reid, 2011:10). Para pedagang Nusantara berbicara dalam Bahasa Melayu seperti berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Bahasa Melayu juga menjadi bahasa resmi tulis yang digunakan di istana-istana dan institusi keagamaan. Bahkan, Bahasa Melayu pada saat yang sama menjadi bahasa yang digunakan sehari-hari termasuk menjadi bahasa perdagangan dan pergaulan sosial di pasar dan pelabuhan (Collins, 2005:32). Dalam pertalian inilah, Bahasa Melayu menyapa Kepulauan Rempah-Rempah, termasuk Ambon. Uniknya, Bahasa Melayu yang berkembang bercampur dengan bahasa daerah setempat serta menciptakan apa yang disebut Bahasa Ambon dewasa ini.

Pada satu sisi, penggunaan Bahasa Melayu memperkaya khasanah kebahasaan bagi masyarakat Ambon. Akan tetapi, dominasi penggunaan Bahasa Melayu dalam komunikasi sehari-hari ternyata berdampak serius pada eksistensi bahasa-bahasa lokal di sana. Di beberapa daerah, orang tua tidak lagi menurunkan bahasa ibunya kepada anak-anak mereka. Hasilnya, seiring dengan berjalannya waktu, Bahasa Melayu-Ambon menggeser kedudukan bahasa lokal dan berkembang menjadi bahasa ibu bagi etnis-etnis di sana. Kedudukan bahasa-bahasa daerah menjadi semakin melemah. Bukan tidak mungkin bahasa-bahasa daerah akan punah. Bahkan, jika hal ini dibiarkan maka orang Ambon atau Maluku akan kehilangan jati dirinya (Muhammad, 2018:109-110).

Adanya interaksi antara Portugis dan Ambon bukan malah mengikis posisi Bahasa Melayu-Ambon. Akan tetapi, justru memungkinkan Bahasa Ambon untuk menyerap kosakata Portugis. Interaksi Portugis dan Ambon terjadi ketika mereka berdagang satu sama lain. Mereka sering melakukan kesepakatan perdagangan dengan kepala-kepala bumiputera. Ketika mereka hadir pertama kali di Hitu, mereka diterima oleh Perdana Jamilu di Hila. Perdana Jamilu sangat dihormati dan diberi gelar Kapten Hitu oleh orang Portugis. Kata Portugis “Capitao”, yang berarti Kapten, digunakan untuk memanggil Perdana Jamilu. Orang-orang lokal kemudian menggunakannya dengan logat lokal yakni Kapiten. Selain berdagang, Portugis juga menyebarkan misi Katolik. Oleh karena itu, beberapa kosakata yang diserap terhubung dengan urusan keagamaan, misalnya gereja dari “igreja”. Sebagai penguasa kolonial, beberapa pegawai kantor kolonial juga dinamai dari kosakata Portugis seperti algojo dari kata “algoz” (Abdurachman, 2008; Da Franca, 2000; De Castro, 2019).

Beberapa kata serapan Portugis juga dapat ditemukan dalam toponimi Ambon, seperti (1) Gang da Silva; (2) Poka; (3) Cova; (4) Cabo de Marthafons (5) Barranco; (6) Pagar Noodwyk; (7) Sungai Olifante; (8) Jalan Kayadoe; village names of (9) Leke, (10) Asilulu, (11) Passo, (12) Hatalai; dan (13) Batu Capeo. Orang-orang Ambon menyerap kosakata Portugis untuk menamai lorong (Lorong Da Silva); palung (cova); kepemilikan tanah (Pagar Noodwyk); batu koral (Batu Capeo); sungai (Sungai Olifante); tanjung (Cabo de Marthafons); nama-nama desa (Poka; Leke; Asilulu; Passo; dan Hatalai); dan nama jalan (Jalan Kayadoe). Kosakata itu mungkin merujuk pada hasil interaksi antara orang Portugis dan orang Ambon sepanjang abad ke-16. Kawin campur di antara mereka juga mempercepat perjumpaan budaya dalam konteks bahasa kreol. 

Di Ambon, orang-orang lokal menamai lorong mereka berdasarkan asal-usul mereka. Jika sebuah lorong ditempati oleh keturunan Da Silva, maka mereka menamakan lorong mereka dengan Lorong Da Silva. Orang lokal juga meniru bagaimana orang Portugis memanggil berbagai fenomena geografi seperti cova untuk palung; Pagar Noodwyk untuk kepemilikan tanah; Batu Capeo untuk batu yang berbentuk topi; Sungai Olifante untuk sungai yang berbentuk seperti gajah; Cabo de Marthafons untuk mengenang Martim Afonso de Marthafons (Wijaya, dkk, 2020).

Nama-nama desa di Ambon juga banyak yang meminjam kosakata Portugis. Beberapa desa seperti Asilulu, Passo, dan Hatalai dapat dijadikan sebagai contoh kasusnya. Orang-orang Asilulu adalah orang Ambon pertama yang bertemu Portugis di Nusa Telu. Orang Asilulu jugalah yang memperkenalkan mereka pada Empat Perdana. Desa lain seperti Passo, juga menyaksikan episode lain kehadiran Portugis di Ambon. Passo ditinggali oleh orang Portugis ketika mereka terusir dari Hitu. Menariknya salah satu dari Kapten Portugis di Ambon, Joao Caiado de Gamboa diingat oleh Orang Ambon dengan menamai salah satu jalan mereka dengan Jalan Kayadoe. Dalam episode terakhir kehadiran Portugis di Ambon, mereka diusir oleh Belanda. Beberapa keluarga Portugis tidak mau berpindah dan memilih untuk mengabdi pada Belanda. Mereka tinggal dan menikah dengan orang lokal. Bahkan mereka juga berpindah agama. Mereka tinggal di lahan milik Raja Soya dan diketahui oleh Otoritas Belanda. Orang-orang percaya bahwa mereka tinggal di Hatalai dan Naku di mana keturunan mereka dapat ditemui kini (Abdurachman, 2008; Da Franca, 2000; De Castro, 2019). Portugis juga menggunakan Bahasa Melayu untuk menyebarkan Agama Katolik. Francis Xavier, seorang misionaris Jesuit yang tiba di Malaka dari Goa pada tahun 1545, juga mempelajari Bahasa Melayu. Dia menerjemahkan doa-doa Katolik dan Katekismus Dasar dalam Bahasa Melayu. Di Maluku, terutama di Ambon dan di Morotai, Francis Xavier mengajarkan doktrin agama dengan menggunakan Bahasa Melayu yang lebih mudah dipahami. Pada waktu itu, Bahasa Melayu digunakan dan dapat dimengerti secara luas (Collins, 2005:33).

Sepanjang abad ke-16, dengan mencontoh Xavier, Bahasa Melayu tetap menjadi bahasa pengantar untuk menyebarkan Katolik di kawasan Asia Tenggara. Para misionaris berkebangsaan Portugis, Spanyol, Italia, dan Belanda juga menggunakan Bahasa Melayu dalam misi gereja mereka di Maluku. Seorang Pendeta Italia menulis Katekismus dalam Bahasa Melayu di Ambon. Akan tetapi, karya itu tidak pernah dicetak dan hanya ditulis dengan tulisan tangan. Sangat disesalkan tidak satupun manuskrip yang menggunakan Bahasa Melayu yang diproduksi oleh misionaris pada masa Portugis dapat ditemukan. Jadi, bukti dokumenter dari jenis Bahasa Melayu yang digunakan misionaris selama masa Portugis belum dapat diketahui (Collins, 2005:34).

Ketika masa berganti dan Belanda berhasil mengusir Portugis, Bahasa Melayu Ambon dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, di gereja-gereja dan juga sebagai terjemahan beberapa kitab dari Al-Kitab. Al-Kitab yang sudah diterbitkan dalam berbahasa Melayu Ambon seperti: Rut, Yunus, Lukas, Kisah Para Rasul (Yesus Pun Utusan-utusan Pun Carita), Tesalonika, Timotius, Titus, dan Pilemon. Misionaris Belanda menerjemahkan Injil dalam Bahasa Melayu dan dibawa ke Ambon. Belanda bahkan mengintervensi para penduduk untuk menghafal Injil dan kemudian dibaptis. Mereka dibimbing dalam Bahasa Melayu Ambon dan dilarang menggunakan bahasa daerahnya (Muhammad, 2018:53). 

Dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa administratif dan menjadi bahasa utama di kalangan penjajah. Namun, bagi rakyat Ambon, Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa utama. Menariknya bagi rakyat di kampung-kampung, mereka masih menggunakan bahasa daerahnya masing-masing (Muhammad, 2018:111-2). Wajar jika kemudian para elit politik Hitu cakap berbahasa Melayu. Imam Rijali adalah salah satu di antaranya. Dalam pengungsiannya akibat serangan brutal Belanda pada pertengahan abad ke-17, ia berhasil menyusun Hikayat Tanah Hitu. Hikayat ini ditulis atas saran dari Karaeng Pattingalloang, seorang bangsawan dari Makassar (Collins, 2005:49). Tak pelak jika abad ke-17 adalah masa keemasan bagi perkembangan Bahasa dan Sastra Melayu (Fang, 2011). Banyak kerajaan-kerajaan di dunia Melayu yang mengirimkan suratnya dalam Bahasa Melayu. Salah satu contohnya, surat Gubernur Ternate yakni Kimelaha Salahak Abdul Kadir bin Syahbuddin untuk Ambon dan Seram yang dikirimkan kepada East India Company (EIC). Surat itu ditulis dengan maksud untuk meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda (Collins, 2005:51).

Bahasa Ambon juga banyak meminjam Kosakata Belanda untuk menamai benda-benda dalam kehidupan rumah tangga. Mereka menyebut “Rim” yang merujuk pada ikat pinggang; “Fork” merujuk pada garpu; “Trap” merujuk pada anak tangga; “Fangen” merujuk pada tangkap; dan “Lopas” merujuk pada lari. Bahasa Ambon juga menyerap kosakata Belanda untuk menyebut relasi kekeluargaan di antara mereka. Mereka memakai kata serapan “Oom” untuk paman; “Fader” untuk ayah; “Muder” untuk ibu; dan “Tanta” untuk bibi. Kosakata Belanda juga dipinjam untuk mendeskripsikan kualitas manusia seperti “Dol” untuk gila; “Sterk” untuk kuat; “Swak” untuk lemah; “Onosel” untuk bodoh; dan “Flauw” untuk lemah. Nama hewan dan tumbuhan juga tidak luput dipinjam dari kosakata Belanda seperti “Kasbi” untuk singkong dan “Kakarlak” untuk kecoa. Ketika berada di luar rumah dan berjalan menyusuri jalan-jalan, Orang Ambon sering menyebut “Oto” yang berarti mobil; “Strat” untuk jalan; dan “Standplaats” untuk halte. Untuk mengucapkan rasa terima kasih, orang ambon juga meminjam kosakata Belanda, “Dangke” (Van Minde 2002; Muhammad, 2018).

Hal yang juga menarik, ternyata banyak nama-nama jalan di Negeri Belanda yang diambil dari nama para pejuang kemerdekaan Indonesia dan hak asasi manusia. Adapun nama-nama orang itu adalah Trimurtistraat, Pattimurastraat, Diponegorostraat, Diponegorohof, Maria Ulfahstraat, Soekasihstraat, Roestam Effendistraat, Tan Malakastraat, Soewardistraat, Munirpad, Martha C. Tiahahustraat, Kartinistraat, Mohammed Hattastraat, Chris Soumokilstraat, Sjahrirstraat, dan Irawan Soejonostraat (Rundjan, 2015; Pamungkas, 2019). Di antara para pejuang itu, ada dua pejuang dari Ambon yakni Pattimura dan Martha Tiahahu.


________

Daftar Pustaka

Abdurachman, P. (2008). Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia. Jakarta: LIPI Press

Collins, J.T. (1975). The Ambon Malay and Theory of Creolization. Kuala Lumpur: DBP

Collins, J.T. (2005). Bahasa Melayu Bahasa Dunia Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Da Franca, A.P. (2000). Pengaruh Portugis di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan

De Castro, J.M. (2019). Lautan Rempah Peninggalan Portugis di Nusantara. Jakarta: Kompas Gramedia

Fang, L.Y. (2011). Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

ICOMOS. (2008). The Icomos Charter on Cultural Routes. Artikel dapat diakses melalui https://www.icomos.org/quebec2008/charters/cultural_routes/EN_Cultural_Routes_Charter_Proposed_final_text.pdf

Jones, R. (2017). Loan-Words in Indonesian and Malay. Jakarta: Yayasan Obor

Knaap, G. (1991). A City of Migrants: Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century. Indonesia. No. 51 (Apr., 1991), pp. 105-128

Kroeber, A & C. Kluckhohn (1952). Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Massachusetts: Kraus Reprint Company

Kustiyanti, M. (2014). Kata Serapan dari Bahasa Belanda pada Bidang Kuliner dalam Bahasa Indonesia Analisis Fonologi. Makalah Tidak Diterbitkan. Depok: FIB-UI

Muhammad, H. (2018). Kodifikasi Bahasa Melayu Ambon: Studi Diversitas Historis Linguistik. Ambon: LP2M IAIN Ambon

Pamungkas, M.F. (2019). 9 Orang Indonesia yang Menjadi Nama Jalan di Belanda. Laman media daring Historia, tayang 6 Agustus 2019

Reid, A. (2011). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid 1 Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Rundjan, R. (2015). Daftar Nama Tokoh Indonesia yang Jadi Nama Jalan di Belanda. Laman media daring Historia, tayang 7 April 2015

Sri, A.A.P.S. (2016). Bahasa Belanda yang Terserap dalam Bahasa Indonesia. Laporan Penelitian. Denpasar: FP-UNUD

Van Minde, D. (2002). “European Loan-words in Ambonese Malay”. K.A. Adelaar & R. Blust (Eds). (2002). Between Worlds: Linguistic Papers in Memory of David John Prentice. Canberra: Pacific Linguistics

Wijaya, D.N., D.Y. Wahyudi, S.Z. Umaroh, & N. Susanti. (2020). “The Portuguese Loan-Words in the Toponymy of Ambon ”. Paper was presented in INUSHARTS 2020

________

Naskah ini merupakan karya pemenang pertama dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini.
________

Daya Negri Wijaya merupakan pengajar di Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang.

Editor: Doni Ahmadi

Sumber gambar: Dinas Pariwisata Provinsi Maluku

Bagikan:

Artikel Populer

Benteng Nassau: Kisah dan Jejak Perdagangan Rempah di Maluku

1 November 2020

Malam Bakupas, Ruang Keterikatan Masyarakat Minahasa dengan Rempah

21 Februari 2023

Pesona Jalur Rempah: Arti Burung Rangkong dalam Catatan Tionghoa

6 Desember 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Pesona Jalur Rempah: Arti Burung Rangkong dalam Catatan Tionghoa

Adi Putra Surya Wardhana

6 Desember 2022

...

Menara Syahbandar Sleko: Menara Pengawas Jalur Perdagangan di Semarang

Osy Siswi Utami

21 Maret 2023

...

Raja Ampat Papua, Penghasil Rempah Pala di Luar Maluku

admin

23 Oktober 2020