Artikel

Samudra Pasai: Kota Pelabuhan Penting dalam Jalur Pelayaran

admin| 20 Desember 2020

Nama Samudra Pasai sangat terasosiasi dengan kesultanan Islam pertama di Indonesia. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pelajaran sejarah di bangku sekolah. Alhasil, sisi lain kesultanan ini, seperti perdagangan dan perekonomian, seakan luput dari mata. 

Di masa pelayaran, muara sungai atau tempat-tempat yang strategis di pantai merupakan lokasi yang super strategis. Betapa tidak, ketika orang-orang masih mengandalkan kapal dan perahu sebagai moda transportasi jarak jauh, keberadaan laut dan sungai sangat memberikan kemudahan dalam menghubungkan satu daerah ke daerah lain. Samudra Pasai adalah salah satu kesultanan yang terletak di muara sungai.

Menurut Uka Tjandrasasmita dalam “Pasai dalam Dunia Perdagangan”, Samudra kala itu hanya sebuah kampung (gampong). Letaknya kira-kira 15 kilometer dari Lhokseumawe, ibu kota Kabupaten Aceh Utara. Kampung Samudra ini kemudian lebih sering dikenal dengan sebutan Samudra Pasai ketika menjelma menjadi kesultanan pada abad 13. 

Lebih jauh, menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, nama ibu kota kerajaan kala itu adalah Pase, namun beberapa orang lebih senang menyebutkannya dengan nama Camotora (yang sangat mungkin merujuk pada kata Samudra). Kerajaan tersebut mempunyai kota-kota besar dan banyak penduduknya.

Lokasinya yang berada di pinggir Selat Malaka membuat Samudra Pasai kemudian terekspos oleh dunia internasional. Banyak bangsa berlayar dan berdagang hilir mudik ke Samudra Pasai, sebagai titik-titik persinggahan dalam jalur pelayaran jarak jauh dari India, Jazirah Arab, maupun Afrika. Hal ini bahkan berlangsung pada awal-awal abad masehi. Pada perkembangan selanjutnya, barulah orang-orang Eropa turut nimbrung meramaikan perdagangan di kawasan Malaka, termasuk Samudra Pasai di dalamnya.

Dari catatan perjalanan orang-orang Tionghoa, Samudra Pasai pun senantiasa menjadi kota pelabuhan yang dijadikan tujuan pelayaran dan perdagangan. Sebagaimana diteliti oleh J.V. Mills dalam “Chinese Navigations in Insulinde About AD 1500” yang terbit di Archipel Vol. 18, trayek para pelayar dari Tiongkok yang kerap dikunjungi di daerah Selat Malaka, yakni Pulau Berhala, (Tanhsii), Aru (Ya-lu) Ujung Peureulak (Pa-lut-ou), mengelilingi Chishii-wan tou, Tanjung Jambuair, dan Samudra Pasai (Su-menta-la). 

Dari Samudra Pasai ini, mulai berlayar lagi menuju arah Pulau We (Ch ‘ieh-nan-mao) dan akan ketemu kapal-kapal yang berlayar dari Masulipatam dan dari Quilon sepanjang jalur dari Pulau We ke Lambri (Nan-wu-li). Dari Pulau We ke arah utara Pulau Rondo (Lung-hsien-shu) untuk kemudian ke arah barat Srilangka dan Asia bagian barat, dan yang ke arah barat laut, yaitu ke Bengal.

Untuk menjamu para pelancong, Pasai memiliki pasar pantai yang letaknya tidak jauh dari bandar. Di sana, segala transaksi terjadi begitu dinamis, entah itu budaya maupun ekonomi. Banyak penjual, baik lokal maupun internasional, memperdagangkan komoditas mereka. Namun umumnya, barang-barang impor lebih banyak beredar ketimbang barang lokal.

Mulai dari kain, cita, hingga porselen, menjadi barang yang dilego oleh pendatang. Sementara, orang setempat menawarkan ikan, garam, beras, gula, kelapa, sutera, barus, dan berbagai komoditas daerahnya untuk dijual kepada para pendatang. Rempah-rempah tidak hanya dijual oleh pedagang dari India, namun juga pedagang dari berbagai penjuru Nusantara. Untuk mendapatkan komoditas pertanian yang kerap dihasilkan daerah pedalaman dengan harga lebih murah, seperti sayuran, buah-buahan, dan palawija, para pelancong juga dapat mengunjungi pasar pedalaman. Pasar ini letaknya tidak jauh dari pusat pemerintahan maupun desa-desa, kata Uka Tjandrasasmita.

Dari sini kita bisa melihat perbedaan bahwa jenis barang yang diperdagangkan memberi corak atau menandai basis perekonomian tipe-tipe kota yang bersangkutan. Di mana ekonomi pada kota pantai berbasis perdagangan, sedangkan basis ekonomi kota pedalaman berdasarkan pertanian agraris.

Terkait kuantitas, Tome Pires menceritakan bahwa ekspor lada bisa mencapai 8,000-10,000 bahar per tahun. Ekuivalensinya bila satu bahar kira-kira 350 kilogram atau seberat rerata satu ekor buaya sungai nil, maka per tahun Samudra Pasai bisa menjual 2.800 sampai 3.500 ton. Selain itu, masih menurut Pires, kualitas lada Samudra tidak lebih baik dari lada cochin. Ia tidak begitu besar, lebih cekung, kurang tahan lama, dan yang terpenting aromanya tidak begitu harum.

Untuk mata uang, diceritakan bahwa ada yang disebut dengan ceiti. Mata uang ini terbuat dari timah yang memuat nama raja yang memerintah. Namun, transaksi umumnya menggunakan mata uang internasional seperti drama (kemungkinan merujuk pada dirham) dan cruzado milik Portugis. Sembilan drama bernilai tukar dengan satu cruzado. Satu crusado sendiri dihargai antara $160-$1,000 atau sekitar Rp2.300.000-Rp14.610.000 bila menggunakan kurs $1 = Rp14.610. Maka, satu bahar lada Pasai sendiri harganya kalah dari lada Malaka yang harganya mencapai 12 arratel (0,4025 kilogram) cruzado.

Sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di kawasan Selat Malaka, Samudra Pasai juga menerapkan bea cukai untuk barang ekspor. Dalam catatan Pires, setiap bahar yang diekspor dibebani sebesar satu maz (kira-kira 1/16 tael atau 23 gram) sebagai pajak. Cukai juga diberlakukan bagi kapal-kapal yang berlabuh di kesultanan ini, tergantung jenis kapal atau jung. 

Adapun bahan makanan sama sekali tidak dikenakan bea cukai masuk, kecuali memberi hadiah. Barang-barang yang diimpor dari barat dikenakan enam persen dan bagi setiap budak yang dijual dengan harga lima maz dari emas dan semua barang dagangan yang diekspor apakah itu lada ataupun barang lainnya, dikenakan biaya satu maz per bahar.

Dampak perdagangan bagi pertumbuhan dan perkembangan kerajaan di pesisir pantai, termasuk Samudra Pasai sangat besar. Pasalnya, perdagangan laut dapat mendorong pertumbuhan negara, kerajaan atau kota di daerah pantai karena penguasa-penguasa lokal akan membangun pelabuhan-pelabuhan mereka untuk melayani kebutuhan masyarakat pedagang internasional. Selain itu, kerajaan seperti ini juga menjadi gerbang kebudayaan dalam membina hubungan yang aktif dengan daerah luar dan menjadi tempat bertemunya orang-orang. Sehingga tak heran bila Samudra Pasai begitu kosmopolit ketimbang kerajaan-kerajaan pedalaman.

 

_______

Sumber:

Uka Tjandrasasmita, “Pasai dalam Dunia Perdagangan” dalam Susanto Zuhdi (ed), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997), 28-42.

Armando Cortesão, The ‘Suma Oriental’ of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red Sea to China, 2 vols. (Ottawa: Laurier Books Ltd, 1990).

_______

Naskah: Endi Aulia Garadian

Editor: Tiya S.

Sumber gambar: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia

Bagikan:

Artikel Populer

Makassar dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022: Mengenal Sosok Intelektual Karaeng Pattingalloang

4 Juni 2022

Di Balik Kemiri Bali, Ada Pedagang dari Ujung Hyang yang Berlayar hingga ke Jawa

16 Februari 2023

“Jampi” Jawa, Warisan Leluhur Keraton Solo

19 Januari 2023

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

“Jampi” Jawa, Warisan Leluhur Keraton Solo

Achmad Khalik Ali

19 Januari 2023

...

Antusias Laskar Rempah dan Masyarakat Banda Naira Saksikan Lomba Belang Adat dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah

admin

21 Juni 2022

...

Akulturasi Keroncong di Kampung Musik Desa Selat Nasik

Royas Aulia Subagja

24 Januari 2023