Artikel

Tari Joke: Seni yang Hidup dalam Jalur Rempah

Muhamad Ersad Mamonto| 28 Februari 2023

Kerajaan Bintauna mulai berdiri sejak abad ke-17 Masehi. Kehadiran kerajaan di Sulawesi Utara ini cukup banyak berperan di abad ke-18 M saat 19 M saat menjadi salah satu daerah penghasil emas era VOC. Namun, meredup di abad ke-20 M, saat masuk dalam afdeling Bolaang Mongondow. Hal itu karena posisi kolonial Belanda yang makin bertaji menanamkan pengaruhnya ketika dibentuk controleur. Ini bisa dibaca sebagai efek relasi kuasa kolonial.

Seperti kerajaan lainnya di Sulawesi Utara, Bintauna masuk dalam relasi kuasa tidak langsung dari kolonial Belanda melalui Ternate. Peta kuasa itu menguat pasca-perjanjian Bongaya 1667, yaitu suksesnya Ternate sebagai salah satu pihak yang mendapatkan efek ‘keuntungan’ dalam kontestasi antarkawasan di abad itu. Hal tersebut sekaligus memengaruhi dominasi rempah yang menempatkan Ternate sebagai salah satu pemegang hegemoni dagang. Dari sanalah, negeri-negeri lainnya dilarang menanam rempah. Bintauna mengalami masa pahit itu pada tahun 1755, dalam sebuah perjanjian harus menuruti kehendak VOC untuk tidak mengembangkan komoditas rempah.

Meskipun citra Jalur Rempah dipenuhi aroma yang pedas (baca: persaingan), tetapi kisah lainnya yang tidak buruk juga turut mewarnai kehidupan kala itu. Situasi yang dinamakan dengan silang budaya, misalnya. Kondisi itu merupakan ikhtisar yang tidak bisa dilewatkan untuk tajuk Jalur Rempah, mengingat mobilitas yang tinggi sebagai tuntutan lalu lintas dagang yang padat merupakan sebuah keniscayaan. Peristiwa demi peristiwa di era itu menjadikan intensitas pertemuan orang dari berbagai macam etnis melalui laut sebagai jembatannya menciptakan akulturasi—penemu-ciptaan jenis kebudayaan ‘baru’.

Kisah itu di antaranya tari Joke di Bintauna. Tari ini menjadi semacam efek tidak langsung dari hubungan Bintauna dan Ternate. Tahun 1783, seorang raja Bintauna bernama Patilima Datunsolang pergi ke Ternate dan dilantik di sana. Sekembalinya dari sana, ia membawa ‘alat kebesaran’, seperti kolintang, gong, tambur, payung, tapajaro (tombak), dan eleso (Keris) (Mokodenseho, 2003:8). Statusnya yang telah resmi menjadi raja dan membawa semacam oleh-oleh—yang kelak akan jadi warisan silang budaya—disambut secara ekspresionisme dalam sebuah tari yang dinamakan Joke. Tari ini kemudian ditetapkan sebagai penyambutan tamu besar kerajaan dan seni dalam pernikahan para ningrat di Bintauna.

Joke dimainkan oleh dua orang laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat Bintauna. Beberapa alat kebesaran yang sebelumnya dibawa dari Ternate, seperti kolintang (kolintango) menjadi hal yang tidak terpisahkan dari tari Joke karena digunakan sebagai pengiringnya. Kolintang yang dimaksud merupakan jenis kolintang tembaga, mirip dengan gamelan Jawa. Tarian ini dimainkan dengan beberapa alat musik, yaitu bandingo (gong kecil) dan perkusi seperti gendang yang disebut savua.

Kolintang sebagai hal yang tak terpisahkan dari Joke menggambarkan bagaimana alat musik ini diciptakan dari perjalanan kebudayaan yang hidup. Di Sulawesi Tengah, kolintang dikenal sebagai kakula yang dimainkan oleh etnis Kaili (Abdullah, 2011). Kelihatannya karena pengaruh satu diskursus dalam etnomusikologi, kolintang atau kulintang lebih menjurus pada kulintang kayu di Minahasa. Namun, kolintang yang dimaksud dalam tari Joke ini, umum untuk disebut sebagai musik perkusi melodi (ansambel) di kawasan Filipina dan Sulawesi.

Kolintang dan tari Joke ini bisa dilihat sebagai wajah Jalur Rempah, sebuah bahasan di luar tema komoditas dan hegemoni dagang. Pertemuan kultural karena adanya motif ekonomi atau menjaga hubungan baik antarkerajaan dapat ditempatkan sebagai sisi lain Jalur Rempah. Kata kunci yang perlu dilihat jeli untuk hal ini adalah laut. Jarak antara Bintauna dan Ternate sangat jauh. Jembatan satu-satunya adalah laut pasifik. Dalam ruang tersebut, perlu ada pertaruhan dan watak bahari untuk menemukan kolintang dan Joke dengan apa yang disebut di kemudian hari sebagai kebudayaan Bintauna.

Perjalanan yang tidak dekat itu, disambut dengan kegembiraan oleh masyarakat Bintauna kala itu. Ekspresi Joke seturut dengan hal-hal yang dianggap sebagai kebanggaan rajanya pulang membawa status-quo dan berbagai benda—kolintang di antaranya. Begitulah watak kebudayaan Jalur Rempah. Kebudayaan bisa menjadi subjek maupun objek. Subjeknya karena orang Bintauna memaknai kembali perjalanan rajanya dengan menghadirkan Joke, dan objeknya, Bintauna sebagai ruang terbuka bagi warisan peradaban lain.

Tidak hanya Joke atau kolintang, dalam hal makanan pun begitu. Apa yang kita anggap sederhana, semisal panada, sebenarnya lahir dari kebudayaan latin dari Portugis dan Spanyol dengan penyebutan empanada, yang kemudian dimaknai menjadi kebudayaan lokal atau dimodifikasi sebagai bagian dari dirinya. Penemuan kembali itu disesuaikan dengan kebutuhan dan basis pengetahuan sesuai kebudayaan tempatan.

 

_________ 

Sumber Referensi:

Abdullah, Amin. Kakula: Musik Asli Orang Kaili?. Jurnal Musik, Vol. 2, No. 3. 2011.

Mokodenseho, R. C. Sejarah Bintauna. Tidak dipublikasi luas. 2003.

_________

Ditulis oleh Muhamad Ersad Mamonto, ersatmamonto321@gmail.com

Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Kristiyan Oka Prasteyadi (Kompas.id)

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Padang Hari Ini, Jejak Kejayaan dan Interaksi Berbagai Bangsa di Sumatera Barat

27 Juni 2021

Pulau Ternate, Kota Dagang & Titik Temu Pedagang Nusantara dan Asing

21 Oktober 2020

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

9 Juni 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

admin

9 Juni 2022

...

Telusuri Peninggalan Majapahit di Mojokerto, Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022 Resmi Ditutup

admin

2 Juli 2022

...

Kota Makassar: Beras dan Bandar Rempah Terbesar Asia Tenggara

admin

14 Oktober 2020