Perdagangan Rempah dan Maen Pukul di Tanah Betawi

admin

6 Januari 2022

Jakarta, yang dikenal juga dengan tanah betawi, memiliki peran yang sangat besar pada masa perdagangan rempah di masa lampau. Hilir mudik kapal dan pedagang asing berdampingan dengan kehidupan masyarakat betawi pada masa itu. Hari ini jejak perdagangan rempah masih dapat kita temui dalam berbagai bentuk, mulai dari cagar budaya, museum, hingga seni budaya. Salah satu budaya yang merupakan salah satu budaya yang terbentuk berkat perdagangan lintas bangsa di Batavia ini adalah lahirnya jago atau jagoan pada abad ke-19.

Menurut Yahya Andi Saputra, seorang Budayawan Betawi, Jago atau Jagoan muncul saat masyarakat mulai jengah dengan perilaku semena-mena dari para pihak yang memonopoli perdagangan rempah pada masa itu. Jago memiliki kemampuan bela diri serta sifat yang santun, beberapa jago biasanya juga merupakan guru ngaji. Para Jago memiliki busana khas yaitu celana pangsi berwarna dengan atasan yang serasi ditambah dengan sarung yang diselempangkan diselempangkan di pundak. Selain berfungsi sebagai busana yang digunakan untuk beribadah, sarung ini juga menjadi senjata bagi para jago.

Kini, jago atau jagoan menjadi guru maen pukul (salah satu cabang bela diri) di tanah betawi dan mengajarkan berbagai aliran seni bela diri. Seperti yang dilakukan oleh Kiki Zaharudin/Kimung, pelaku dan pembina pencak silat aliran sekojor. Menurutnya, meski perdagangan rempah menjadi salah satu faktor lahirnya banyak jago di masa lampau, tetapi hingga saat ini rempah juga masih hadir dan digunakan dalam salah satu tahapan dalam maen pukul. Misalnya saat upacara rosulan atau penerimaan murid. Murid-murid akan diberikan Air Jahe yang terbuat dari jahe, kemiri, lada, kapulaga, kayu manis, cengkeh, sehingga menciptakan rasa hangat. Kehangatan air jahe tersebut dimaknai sebagai kehangatan silaturahmi yang akan mempererat ikatan persaudaraan.

Selain main pukul, tanah Betawi juga memiliki ondel-ondel yang turut menyimpan kisah kejayaan rempah masa lalu. Ondel-ondel atau barondel yang dulu disebut sebagai barongan berperan sebagai penolak bala. Dalam buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe yang ditulis Olivier Johannes Raap, ondel-ondel ditulis sebagai boneka besar pengusir roh jahat dan tolak bala. Dalam bahasa Betawi arkais, ondel-ondel memiliki arti sesuatu yang lincah dan fleksibel sebagai lambang keseimbangan dalam kehidupan. Sayangnya ondel-ondel kini mengalami kekaburan makna. Menurut Yahya dan Kimung, seni tradisional tidak berubah tetapi yang berubah adalah penafsiran kita seiring perubahan zaman. Sehingga nilai dan makna yang ada di dalamnya tidak lagi dipahami.

Banyak kisah dan keterhubungan kejayaan rempah masa lampau yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat Betawi, di antaranya ialah seni budaya yang masih eksis hingga hari ini. Penasaran dengan kisah ini? Ketahui selengkapnya dalam obrolan menarik dari dua tokoh kebudayaan Betawi pada video Bumi Rempah Seni Budaya Jakarta ini!

Bagikan:

Konten Jalur Rempah

Artikel

Foto

Video

Publikasi

Audio

Audio