Artikel

Malam Bakupas, Ruang Keterikatan Masyarakat Minahasa dengan Rempah

Wulandari Zefanya Rumengan| 21 Februari 2023

Malam Bakupas di Desa Kaima, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sumber: Penulis)

Rempah dan masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara, memiliki keterikatan dalam kehidupan sehari-hari. Keterikatan tersebut dapat dilacak melalui kegunaan rempah dalam aktivitas domestik, seperti memasak dan membuat ramuan tradisional, juga dalam aktivitas sosial di mana saling berbagi rempah menjadi lingua franca orang Minahasa. Pemanfaatan pekarangan rumah sebagai lahan penanaman mempermudah masyarakat, khususnya di daerah rural, untuk memperoleh pasokan rempah dan palawija. Selain berkebun di pekarangan rumah, rempah diperoleh dari transaksi di pasar tradisional serta melalui solidaritas horizontal yang dibangun masyarakat secara cuma-cuma. Pada umumnya, di daerah agrikultur secara bergantian para petani saling berbagi rempah, sayur-mayur, serta tanaman hortikultura lainnya sebagai bentuk kerja sama untuk menjaga subsistensi dan tali kekeluargaan. 

Keterkaitan antara orang Minahasa dan rempah dalam bentuk aktivitas sosial juga dapat diteropong melalui tradisi Malam Bakupas. Makan dan minum bersama merupakan momentum kunci dalam setiap pertemuan dan perayaan di tanah Minahasa. Pinontoan memberi informasi bahwa “baik suka maupun duka, berkumpul dan makan bersama adalah bagian penting dalam kehidupan komunitas”. Perjamuan menyimbolkan hospitalitas dari keluarga atau penyelenggara acara kepada sanak-saudara, komunitas, dan siapa pun yang datang (Pinontoan, 2022). Pemilihan, persiapan, dan penyajian makanan mesti dikerjakan dengan saksama. Salah satu proses yang ditempuh untuk mempersiapkan perjamuan tersebut adalah dengan menyelenggarakan Malam Bakupas

Secara harfiah, Malam Bakupas berasal dari basantara Melayu Manado yang berarti ‘malam untuk mengupas’. Masyarakat pertanian dan pedesaan merupakan agen yang terus memelihara dan mempraktikkan tradisi gotong royong ini. Malam Bakupas dilaksanakan sehari sebelum acara besar khususnya acara pernikahan. Kata “bakupas” atau “mengupas” menggambarkan aktivitas sentral dalam tradisi ini di mana orang banyak berkumpul di rumah mempelai untuk mengolah rempah-rempah yang akan digunakan untuk memasak hidangan dalam perjamuan pernikahan. Rempah-rempah yang digunakan, yaitu goraka (jahe), lengkuas, serai, biji pala, bawang merah, daun pandan, kemiri, serta cengkeh. Proses pengolahan rempah-rempah dimulai dengan mengupas kulit terluar rempah yang terkontaminasi dengan tanah. Rempah yang telah dikupas, kemudian dicuci bersih. Kepala koki atau individu yang bertanggung jawab dalam seluruh tahapan memasak akan menginstruksikan proses lanjutan, seperti memotong, mencincang, memarut, menumbuk ataupun menggabungkan rempah.

Orang-orang bercengkrama sambil mengupas rempah-rempah (Sumber: Penulis)

Pada umumnya, keluarga yang menyelenggarakan acara akan menyiapkan tenda, pengeras suara (sound system), kursi, dan meja panjang. Kemudian, orang-orang akan duduk mengelilingi meja dan mulai bakupas. Untuk memompa semangat, Malam Bakupas diiringi dengan kompilasi musik tradisional, seperti kalelon-makaaruyen, orkes musik bambu, ataupun disko tana. Dilakukan di malam hari, Malam Bakupas dilengkapi dengan sajian makanan serta minuman tradisional berupa fermentasi air nira untuk menghangatkan badan. 

Tenda Malam Bakupas menjadi gelanggang sensoris di mana indra manusia bertaut dengan rasa, aroma, dan tekstur yang beragam. Wangi resin bakaran tempurung kelapa bertemu dengan wangi santang (santan), pondang (pandan), goraka (jahe), serta wangi ragam rempah lain. Lachrymatory yang lepas ketika bawang merah teriris membuat beberapa orang meneteskan air mata. Ada pula yang telah kebal lantaran memercayai dan mempraktikkan taktik turun-temurun, yaitu dengan menancapkan sesiung bawang merah di ujung pisau. Sekelompok orang yang bertugas mencabut tangkai rica (cabai rawit) mulai dihinggapi sensasi terbakar di ujung jari. Sementara, telapak tangan dan jemari pengupas rimpang akar kuning (kunyit) berubah menguning. Terkadang, bunyi bersin, ceracau, dan tawa memecah keseriusan kerja.     

Malam Bakupas jauh dari nuansa yang kaku dan membosankan. Perempuan dan laki-laki, tua maupun muda berbaur dan bekerja sama. Tak akan ada orang yang merasa asing sebab setiap orang yang terlibat terikat dalam simpul kekeluargaan dan kekerabatan. Bocah-bocah turut mewarnai keramaian Malam Bakupas. Mereka berkesempatan untuk mengakrabkan diri dengan ragam rempah dan pengolahannya dalam kanopi budaya Minahasa. Bagi mempelai, Malam Bakupas kerap menjadi momentum untuk mempererat diri dengan keluarga serta menerima petuah dari orang-orang terdekat sebagai bekal untuk menjalani kehidupan pernikahan.

Dalam masyarakat yang menempatkan praktik masak-memasak sebagai perekat kehidupan sosial, mustahil rasanya bila meniadakan rempah dalam keseharian. Dalam perspektif masyarakat Minahasa, perjamuan dinilai sebagai aktivitas vital yang sarat akan nilai sakral, kultural, dan sosial. Dependensi orang Minahasa kepada rempah terekspresikan dalam seni memasak atau gastronomi yang khas, salah satunya adalah Malam Bakupas. Rempah dilibatkan bukan sekadar dalam urusan pengolahan makanan, dalam Malam Bakupas, keterlibatan rempah diperluas sampai pada penciptaan ruang selebrasi, intimasi, dan solidaritas. Dengan kata lain, rempah adalah eksistensi yang efektif dalam menyatukan dan memelihara intra-dependensi dalam komunitas. Dari penceritaan dan penggalian tentang Malam Bakupas, menarik bila melayangkan pertanyaan seperti, “Bagaimana jadinya kehidupan orang Minahasa tanpa rempah?”

(Peristiwa kultural yang tertulis di atas merupakan pengalaman empirik penulis. Dengan kata lain, penulis melakukan autoetnografi.)

 

_________ 

Sumber Referensi       

Pinontoan, Denni. (2022). Dapur dan Allah: Rekonstruksi Teologis Makna Sosio-Religi-Kultural Dapur dalam Masyarakat Minahasa. Indonesian Journal of Theology. Vol.10, No.1: 1-21. https://doi.org/10.46567/ijt.v10i1.238

Wenas, J. (2007). Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Manado: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara.

_________ 

Ditulis oleh Wulandari Zefanya Rumengan, Mahasiswi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (wulanrumengan97@gmail.com)

Editor: Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Wulandari Zefanya Rumengan

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Saling Silang Bahasa di Nusa Ambon

3 Januari 2022

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

9 Juni 2022

Pala: Mutiara Hitam Penyelamat Kei Besar dalam Wabah Waur Gate

7 April 2023

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Pala: Mutiara Hitam Penyelamat Kei Besar dalam Wabah Waur Gate

Muhammad Attorik Falensky

7 April 2023

...

Perdagangan Rempah di Banda Naira Maluku dan Peran Orang Kaya

admin

10 November 2020

...

Jalur Rempah 2020: Capaian Kegiatan hingga Survei Litbang Kompas

admin

15 Desember 2020