Pelabuhan Rakyat Kalimas yang berada di Surabaya telah berdiri beberapa abad yang lalu. Ia lahir pada abad ke-14. Pada masa kini, pelabuhan ini bukan lagi menjadi pelabuhan utama sejak pelabuhan Tanjung Perak dibangun pemerintahan kolonial. Meskipun begitu, peran pelabuhan ini masih penting bagi para pelayar kecil di Surabaya.
Pada masa lampau, kapal-kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlalu di Selat Madura saja. Minimnya akses parit menuju kota Surabaya membuat kapal-kapal besar terpaksa menepi ke wilayah selat dekat Surabaya. Tongkang maupun kapal kecil kemudian akan menghampiri kapal besar tersebut dalam melakukan proses bongkar muat.
Setelah kapal-kapal tersebut memuat barang, mereka dengan gesitnya menelusuri Sungai Kalimas hingga mencapai pelabuhan utama Surabaya. Kala itu, Pelabuhan Rakyat Kalimas merupakan jantung perdagangan kota Surabaya. Suatu tempat di mana rempah hilir mudik ini juga meninggalkan beberapa jejaknya.
Kapal-kapal pinisi berjajar rapi di pinggir dermaga. Buruh angkat dan awak kapal sibuk hilir mudik mengurusi proses bongkar muat. Begitulah suasana Pelabuhan Kalimas sebagaimana dipotret oleh Ohannes Kurkdjian. Foto ini merupakan upaya pembaruan dan pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Maka tak heran mulai terlihat kanal-kanal sebagaimana banyak ditemukan di Negeri Tulip.
Dermaga Kalimas, 1885-1920
Belanda yang punya hajat dengan pelabuhan ini pun membenahi beberapa infrastruktur lain agar kapal semakin mudah melintas. Tidak hanya memerhatikan jalur air transportasi darat juga turut dimudahkan di mana pemerintah kolonial membuat Jembatan lipat otomatis di atas Sungai Kalimas. Ketika kapal lewat, jembatan ini bisa dilipat. Kini, jembatan ini dinamakan jembatan “petekan” yang artinya dipencet atau ditekan. Pasalnya, jembatan ini bisa dibuka dan ditutup ketika ada kapal berukuran besar yang lewat dari Laut Jawa menuju Jembatan Merah hingga Mojokerto.
Jejak lain berupa Menara Syahbandar juga bisa ditemukan di pelabuhan ini. Hal yang sekaligus menandakan peran pelabuah ini yang begitu penting di masa lalu. Dengan tinggi 10 meter, keberadaan Menara ini menjadi penanda eksistensi Syahbandar. Sekaligus menunjukkan betapa pentingnya pelabuhan ini bagi penguasa lantaran menjadi pusat pertemuan banyak budaya yang dibawa para pedagang. Selain itu, syahbandar juga bertugas mengawasi perdagangan, menentukan pajak, melihat kualitas barang-barang secara umum, dan menentukan mata uang apa yang bisa digunakan dalam bertransaksi.
Jembatan Petekan, 1948
Lokasi pelabuhan utama tersebut merupakan jantung perdagangan kota Surabaya. Dekat dengan pelabuhan tersebut ada sebuah jalan bernama Heerenstraat (sekarang berada di sekitar Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun) yang merupakan sentral bisnis bongkar muat. Di antara kedua jalan itu, sudah ada jembatan yang membentang di atas Sungai Kalimas. Jembatan itulah yang disebut Roode Brug atau Jembatan Merah.
Paling tidak, sekarang pelabuhan ini sudah punya luas sebesar 5,2 hektar. Setiap harinya ada 50-60 armada keluar masuk pelabuhan. Kapal-kapal tersebut umumnya datang dari berbagai belahan Indonesia, teristimewa bagian Timur. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari posisi Surabaya yang menjadi penghubung antara Indonesia Barat dengan Indonesia Tengah dan Timur.
Keistimewaan lain dari Pelabuhan Kalimas adalah menjadi wadah alternatif bagi nelayan-nelayan dengan kapal kecil yang tersingkir dari Pelabuhan Tanjung Perak. Tak heran pelabuhan ini lebih dikenal sebagai pelabuhan rakyat. Selain itu, Pelabuhan Kalimas ini diisi oleh orang-orang Kalimas saja. Kru kapal di pelabuhan ini hanya bekerja untuk kapal-kapal Kalimas. Demikian pula dengan angkutan daratnya, khususnya truk bagong, dan tenaga kerja bongkar muatnya. Hal seperti ini nyaris tak bisa dijumpai di pelabuhan-pelabuhan lain.
Sumber:
Sari, Novi Indrianita. 2007. PASANG-SURUT AKTIVITAS PELABUHAN KALIMAS SURABAYA TAHUN 1870-1930. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Asia Maior. 2004. Soerabaja 1900-1950: Havens, Marine, Stadsbeeld Port, Navy, Townscape. Zierikzee: Uitgeverij Asia Maior.
Gambar 01: https://collectie.wereldculturen.nl/#/query/b6066f9f-30b1-4fe2-aeef-375e431cc3b8
Gambar 02: https://collectie.wereldculturen.nl/#/query/fb837b5c-aea7-44f8-acc7-18d9f355eef6
Naskah: Endi Aulia Garadian
Editor: Doni Ahmad