Artikel

Nova Ruth: Dari Makassar, Sejarah Rempah, hingga Perempuan

admin| 28 Februari 2021

Pandemi Covid-19 membuat sebagian besar orang menghentikan aktivitas mereka di luar rumah. Berbagai hal yang bisa dikerjakan dari rumah mulai diberlakukan, istilah work from home begitu akrab karena menjaga jarak dan tidak berkerumun menjadi sekian upaya yang paling efektif untuk membuat kita terhindar dari virus. Hal ini tentu tidak berlaku bagi Nova Ruth beserta para awak kapal Arka Kinari yang masih dalam pelayaran mereka menuju Indonesia. 

Arka Kinari, sebuah sekunar dua layar yang multifungsi dan dilengkapi dengan panel surya, milik Nova Ruth dan suaminya, Grey Filastine, masih berada di tengah lautan ketika pandemi merebak. Kapal ini memulai pelayarannya pada paruh 2019 dari Belanda, menyusuri Eropa, laut karibia, melintasi laut pasifik, hingga sampai di perairan Indonesia, tepatnya di Sorong, Papua, pada September 2020. Sebuah pelayaran dengan misi sosial dan budaya, dari mulai energi terbarukan, kelestarian laut sekaligus plesir sejarah dengan menyambangi titik-titik penting Jalur Rempah Nusantara.

Saya menemui Nova di Makassar, salah satu simpul penting dalam Jalur Rempah Nusantara masa lalu, pada Jumat (9/10/20) petang. Ini menjadi lego kapal mereka kesekian, setelah sebelumnya menyambangi Sorong, Banda, dan Selayar. Makassar hari itu begitu sejuk karena hujan baru saja reda, kami duduk di pelataran Fort Rotterdam yang pernah dikenal sebagai Benteng Ujung Pandang. Ini adalah hari kelima ia berada di Makassar, hari terakhir atau sehari sebelum Arka Kinari melanjutkan pelayaran menuju Benoa, Bali. Titik terakhir Jalur Rempah yang hendak mereka kunjungi dan mengambil jeda beberapa bulan sebelum melanjutkan pelayaran kembali.  

Makassar hari ini tidak berbeda dengan Makassar di masa lalu yang memang dikenal sebagai bandar dagang rempah terbesar di bagian timur Nusantara. Ia tidak kehilangan keramaian meski sedang dilanda pandemi. Jika pada masa lampau Makassar diramaikan dengan banyak kongsi dagang yang mendirikan bangunan di sini, dari mulai bangsa Tiongkok, Melayu, hingga Eropa (Denmark, Belanda, Inggris, Portugis), kini keramaian itu diganti dengan mal, penginapan bintang lima, serta berbagai tempat hiburan dan liburan. 

“Saya melihat Makassar [hari ini], dan seharusnya menjadi pusat pengetahuan tentang Makassar [masa lalu],” kata Nova di sela-sela obrolan kami. Saya menangkap keresahannya, baik sebagai keturunan Bugis, refleksi pasca mengunjungi berbagai situs sejarah, maupun pengetahuan yang baru saja ia dapatkan tentang betapa mengagumkan tanah kelahirannya di masa lalu. Tentang Makassar yang pernah memiliki pemimpin yang dikagumi banyak pemimpin dunia, seperti Karaeng Pattingalloangkesadaran mereka untuk memiliki aksara, tentang hukum pelayaran dan perdagangan yang telah dimiliki, hingga kekayaan arsitektur yang disebabkan perdagangan lintas bangsa.

“Sejarahnya yang kuat, apalagi sebagai titik perdagangan zaman dulunya, baik untuk rempah-rempah atau beras, tapi yang lebih penting adalah kita belajar dari eror-erornya masa lalu, ya untuk masa depan….” tambah Nova. 

Hilmar Farid, dalam pengantar di majalah National Geographic Indonesia edisi “Merapah Rempah” menulis, “Romantisme sejarah telah mengukir narasi bahwa rempah-rempah menciptakan eksplorasi pelayaran dari berbagai penjuru dunia, menjadikan Nusantara sebagai poros ekonomi global dan membentuk perkembangan dan peradaban dunia… Sangat boleh dan sah jika kita berbangga dengan masa lalu, hanya saja jangan terjebak pada romantisme belaka.” Hal ini juga senada dengan pandangan Nova. Sejarah adalah tentang bagaimana cara kita belajar, tentang langkah yang akan diambil di hari depan.

 

jalur rempah, arka kinari, spice routes

Lego Jangkar Arka Kinari di Makassar. (foto: Oka Pangestu/Redaksi Jalur Rempah)

 

“Kemarin saya main ke makam Sultan Hasanuddin, berada di penjaranya Sultan Diponegoro, itu saja sudah menangkap pasti ada penyesalan-penyesalan di sini, langkah-langkah yang dulu sebagai bangsa kita ambil, bagaimana kita tidak kembali dan terjebak dalam sejarah itu, bagaimana kita bisa maju. Mungkin kita memang pernah besar, tapi kita juga pernah kalah, atau pernah mengalah, nah, nanti ke depannya bagaimana kita bisa menjalin hubungan yang baik dengan pengetahuan yang sudah kita dapatkan selama beratus-ratus tahun,” tegas musisi pemilik album Napak Tilas ini.

Rempah Nusantara dan kolonialisme adalah dua hal yang karib dalam ingatan orang-orang Indonesia. Secara sederhana, kita memang dapat meyakini bahwa rempah Nusantara, selain mendatangkan keberkahan, juga melahirkan derita berkepanjangan. Hasilnya, memori buruk soal mitos tiga setengah abad Indonesia dijajah sudah terlalu sulit hilang sebagai ingatan kolektif bangsa ini. Hal yang terus langgeng meski Gertrudes Johan Resink, seorang peneliti dan penyair keturunan Jawa-Belanda, telah merekonstruksi mitos ini dalam bukunya Indonesia’s History Between the Myths: Essay in Legal Historical Theory (dalam versi Indonesia terbitan Komunitas Bambu berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah).

Nova meyakini betul hal ini, soal dua mata koin tentang kebaikan dan keburukan dari Jalur Rempah Nusantara. Sebuah peristiwa yang memberikan kepada pilihan untuk melihat dari sudut pandang mana. “Kita bicara tentang sejarah rempah itu ada dua hal, tentang memori buruk kolonialisme dan satu lagi sebelum itu, era kerajaan dan rempah-rempah menjadi penguat antarkerajaan, [hubungan] antara Banda dan Makassar itu sangat kuat sekali, bagi saya kita perlu melupakan memori yang buruk itu, karena ada memori yang bagus lagi, karena rempah-rempah sebagai penghubung antara satu kerajaan dengan yang lainnya, satu pulau dan lainnya… Apa yang membuat rempah-rempah dikirimkan dari tempat satu ke tempat lainnya, lalu infrastruktur apa, yang harus dipikirkan di situ. Kecintaan terhadap laut, cara menghargai budaya lainnya, karena setiap kita datang ke pulau yang menghasilkan rempah itu berbeda, misalnya di Banda, kita harus mematuhi tiga hal; agama, budaya, dan perempuan, jika ini tidak dihargai maka rempah-rempah tidak akan dijual ke kalian. Dari sini kita bisa melihat berbagai aspek mengapa Jalur Rempah memiliki manfaat yang penting.”

Dari pemaparan Nova, kita bisa melihat bahwa selalu ada tawaran dari keduanya. Kolonialisme juga turut memberi kita pelajaran berharga soal perlawanan terhadap ketidakadilan, tentang bagaimana posisi manusia di depan manusia lainnya lahir dan berada dalam kedudukan yang setara. Dalam esai “Takdir Ekspedisi Compagnie van Verre” yang ditulis Lilie Suratminto dalam National Geographic Indonesia edisi “Merapah Rempah”, ada satu faktor yang dijadikan senjata utama kaum nasionalis di akhir abad 19 untuk melawan penjajahan, yakni langkah yang diambil Belanda dengan memilih mempelajari bahasa melayu yang lazim digunakan sebagai lingua franca dan tidak pernah secara sungguh-sungguh mengenalkan bahasa dan budayanya kepada orang-orang Hindia-Belanda. Hal yang sekaligus membuat diterapkannya stratifikasi sosial dan menempatkan orang Eropa ada di kelas pertama (de Europeanen), disusul orang Tionghoa, India, Arab, dan Jepang sebagai warga kelas dua (Vreemde Oosterlingen) dan penduduk asli Nusantara sebagai kelas paling rendah (Inlandsch Burger). Sebuah percik api yang terus menerus dipupuk oleh bangsa yang meyakini gagasan keliru dan merasa superior dari bangsa lainnya.

Selain menelusuri kekayaan masa lalu bangsa ini beserta potensinya, ada juga hal lain dari Nova dan penjelajahan Arka Kinari mengarungi lautan yang menarik perhatian saya, adalah tentang sosoknya sebagai perempuan pelaut dan komposisi para awaknya. Ingatan masa kecil saya tentang kalimat pertama lirik lagu masa kecil ciptaan Ibu Soed pada 1940 terus terngiang, “Nenek moyangku seorang pelaut”. Sebuah lirik yang membuat saya bertanya-tanya, di antara sekian banyak legenda pelaut yang didominasi oleh laki-laki, misalnya saja Christopher Columbus, Ferdinand Magellan, Vasco da Gama, maupun Ludovico de Varthema, mengapa sosok nenek yang dipilih oleh Ibu Soed untuk menggambarkan secuplik kekuatan maritim Indonesia masa lalu.

 

jalur rempah, arka kinari, nova ruth, titi permata, spice routes

Nova Ruth (kanan) dan Titi Permata (kiri) di Kompleks Makam Sultan Hasanuddin. (Foto: Oka Pangestu/Redaksi Jalur Rempah)

 

Kita mungkin tidak asing dengan istilah bahwa perempuan ada di kasta kedua, sebuah sejarah panjang yang tercipta sejak era perburuan dan bercocok tanam. Di mana mulai diterapkannya klasifikasi pekerjaan tertentu, misalnya untuk menaklukan hewan buruan yang besar dibutuhkan tenaga dan usaha yang keras. Posisi ini diyakini cocok dan tepat bagi kaum laki-laki karena menganggap secara biologis mereka lebih kuat, dan karena itu perempuan ditempatkan di posisi yang lebih ramah bagi mereka, yakni di urusan-urusan domestik, seperti memasak. Sialnya, hal ini kadung diyakini sebagai kodrat, takdir lahiriah. sebuah gagasan yang jauh dari benar. Katrine Marçal, seorang ekonom feminis, dalam bukunya Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith (Marjin Kiri, 2020), secara lantang menuliskan kritik dan mempertanyakan kembali hal ini dengan tegas dalam pernyataan ini,  “Cuma perempuan yang punya gender. Laki-laki itu manusia. Hanya ada satu jenis kelamin. Satunya lagi variabel, refleksi, pelengkap.” Menjabarkan betapapun beratnya peran domestik, pada akhirnya hal ini dianggap tidak memiliki nilai dalam gagasan ekonomi yang memang berat sebelah.

Nova Ruth bersama para awak Arka Kinari yang separuh posisinya dihuni perempuan, tentu menyadari hal ini. Ia juga menentang stigma bahwa perempuan yang melaut sebagai hal yang asing. Sebuah keyakinan usang yang dianggap lahiriah, yang sialnya lagi, tidak hanya terjadi di Indonesia saja, bahkan seluruh dunia.

“Mitos tentang perempuan tidak boleh di kapal karena itu sebuah ketidakberuntungan, bukan hanya di Indonesia saja, tapi itu mendunia, jadi memang itu yang ingin saya garap sebagai perempuan. Bahwa laut itu hak untuk semua orang, tidak peduli gendernya apa, dan laut itu memang sifatnya juga seperti itu, dia kan muara dari berbagai macam sungai dan karakteristik sungai, lalu di dalam laut itu menjadi sama, lautnya sama asinnya, lalu sama-sama bebasnya. Lalu, ada batas negara itu menjadi sangat kabur, jadi ada banyak sekali filosofi tentang laut malah mendukung kebebasan perempuan untuk berekspresi, misalnya di tengah laut saya tidak pernah memikirkan hari ini saya pakai baju apa ya, untuk menghadapi stigma masyarakat di tempat yang berbeda-beda, jadi menurut saya penting sekali untuk perempuan untuk bisa merasakan ada di lautan, karena di lautan itu kamu bisa menemukan dirimu sendiri yang sebenarnya,” tegas Nova.

Sosok Nova Ruth sebagai pemilik kapal sekaligus penggagas pelayaran ini tentu membuatnya dibicarakan banyak pihak, dan yang membuatnya senang adalah ketika sosok pelaut perempuan kembali hadir dalam narasi dan percakapan hari ini. “Semakin banyak orang bicara seperti itu [perempuan yang memilih melaut] maka semakin bagus buat saya, karena itu membuat opini publik tentang perempuan yang melaut semakin bagus dalam menggambarkan perempuan, dan kami di sini [Arka Kinari] baik-baik saja.”

Dari obrolan singkat bersama Nova Ruth dan pengetahuan yang saya dapat tentang Arka Kinari, kisah mereka mau tidak mau mengingatkan saya dengan sosok Keiko dan minimarketnya dalam novel Gadis Minimarket (GPU, 2020) karangan Sakuya Murata. Melalui Keiko, kita dibawa pada kisah seorang perempuan yang bergulat dengan stigma dan berusaha sekeras mungkin untuk dianggap normal versi banyak orang. Sebagaimana Arka Kinari yang membuat Nova bebas sebagai manusia, Keiko memilih minimarket yang baginya terasa jauh lebih adil, “Saat itu rasanya aku ingin cepat-cepat kembali ke minimarket, tempat aku lebih dihargai sebagai pegawai dan situasinya tidak serumit ini. Di sana ketika memakai seragam, semuanya sama-sama pegawai, tidak peduli gender, usia atau kewarganegaraan.”

Hal-hal yang saya ketahui dilakukan ketika Arka Kinari berlayar juga tidak jauh berbeda dengan yang dialami Keiko ketika pertama kali bekerja di minimarketnya. Dari mulai diadakan pelatihan untuk awak baru, memperkenalkan fungsi alat-alat, bagaimana mereka harus mengerjakan tugasnya dengan efektif, dan memastikan segalanya berjalan dengan baik. Dan juga, bagaimana Murata dalam novel ini turut melakukan kritik terhadap peran perempuan yang kadung dipercaya secara keliru, “Sudah lama sekali aku ingin balas dendam. Balas dendam dengan orang-orang yang diperkenankan menjadi parasit hanya karena mereka perempuan.” 

Jika Nova Ruth bisa diasosiasikan sebagai Keiko, maka Arka Kinari dan lautan adalah minimarketnya, sebuah tempat di mana Keiko bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa kekhawatiran akan stigma usang yang terus menerus dipercaya orang banyak, atau meminjam kata-kata Nova, tempat di mana kamu bisa menemukan dirimu sendiri yang sebenarnya. Begitu.

Bagikan:

Artikel Populer

Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita

31 Januari 2022

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

9 Juni 2022

Melacak Jejak Rempah-Rempah dalam Sejarah Cirebon

11 Maret 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Melacak Jejak Rempah-Rempah dalam Sejarah Cirebon

admin

11 Maret 2022

...

Memaknai Kembali Rumah Indonesia dari Rumah di Tanah Rempah

admin

7 Maret 2021

...

Pulau Seram Ambon, Tanah Subur Penghasil Rempah-Rempah

admin

20 Oktober 2020