Perdagangan rempah telah terjadi berabad-abad silam. Berbagai bangsa datang ke Nusantara untuk mencari rempah, termasuk bangsa Eropa. Tak hanya mencari rempah, faktanya kehadiran bangsa asing ini akhirnya turut menguras dan memanfaatkan sumber daya Nusantara yang melimpah. Sejarah rempah pada masa lampau berhubungan erat dengan kolonialisme yang terjadi di Nusantara.
Rempah-rempah dan tempat maupun masyarakat yang menghasilkannya telah menjadi semacam mitologi nasional yang diulang-ulang dalam setiap kesempatan di dalam sekolah maupun di luar, dari kalangan siswa sekolah dasar hingga masyarakat umum. Begitu kuatnya “mitologi” ini sehingga tak ada realitas lain yang perlu dijelaskan dari padanya. Yang ada kemudian adalah satu ironi: begitu kuatnya “pemahaman” kita tentangnya, namun begitu sedikit yang kita “ketahui” tentang hal yang sama. Dalam ingatan kolektif, “pengetahuan” tersebut mungkin tidak lagi dianggap penting atau relevan. Disadari atau tidak, momen-momen penting dalam sejarah kepulauan rempah-rempah seolah cukup dilewatkan begitu saja karena ceritanya sudah diperoleh (Dias Pradadimara, 2020: 329).
Gambar: Portrait of Marie Antoinette painting by Elisabeth Vigee Le Brun
Burung Cenderawasih merupakan salah satu realitas yang sering terlupakan tersebut. Keindahan burung yang dijuluki bird of paradise ini, turut menjadi fokus utama bangsa kolonial saat menduduki kepulauan di Nusantara. Bahkan, dalam buku Plumes from Paradise karya Swalding, P. (2019), Swalding mengatakan “Plumes rather than spices appear to be the main product sought by the first specialist Asian traders. When the demand for plumes declined, spices became the most important product. The continued availability of trade plumes during the spice trade cycle attracted European interest. In time this gave rise to a demand for bird of paradise skins by natural history collectors as well as by fashion conscious women during the European plume boom”.
Gambar: Paradisaea decora by Bowdler Sharpe
Meskipun tercatat bangsa Portugis merupakan bangsa pertama yang mencapai pulau rempah-rempah Nusantara sejak 1512, tetapi tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa bangsa ini membawa burung cenderawasih ke daratan mereka. Barulah pada tahun 1522 dalam perjalanan Circum Global Magellan tercatat bahwa cenderawasih pertama kali masuk ke barat lebih tepatnya di Spanyol. Burung Cenderawasih pertama ini merupakan pemberian raja Kerajaan Bacan di Maluku kepada kapten untuk kemudian diberikan kepada raja Spanyol (Andaya, 2017: 374). Dari pemberian inilah yang kemudian menjadi awal mula bangsa Barat terpecah fokus bukan hanya menginginkan rempah, tetapi juga cenderawasih yang dijuluki “Bird of Paradise” karena keindahan dan keunikannya.
Kebutuhan fesyen merupakan salah satu yang membuat “Bird of Paradise” ini kemudian turut menjadi komoditas utama incaran bangsa Barat. Sejak tahun 1096–1270 di Eropa sudah lahir tren yang memanfaatkan bulu untuk kebutuhan fesyen, khususnya pada hiasan kepala. Hadirnya keindahan bulu burung cenderawasih turut membawa arus fesyen di barat saat itu dan membuat permintaan akan bulu burung ini meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi Jalur Rempah tidak bisa kita batasi sebagai jalur perdagangan rempah saja. Dalam beberapa hal, rempah menjadi gerbang pembuka bagi bangsa Barat untuk melihat lebih luas potensi dan kekayaan Nusantara, termasuk berkenalan dengan “Bird of Paradise”.
_________
Sumber:
Andaya, L. Y. (2017, October). Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact.
Effendy, Muslimin A. R. & Abd. Rahman Hamid. 2020. Rempah Nusantara Merajut Dunia. Samarinda: BPCB KT, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Journal of Southeast Asian Studies, 48, 372-389. 10.1017/S0022463417000546
Swadling, P. (2019). Plumes from Paradise. Sydney University Press.
_________
Ditulis oleh Jeane Prisilia Pombaela, Laskar Rempah Sulawesi Tengah
Editor: Tiya S.
Sumber gambar: freepik/kuritafsheen77