Tidak banyak sumber yang dapat diandalkan untuk menggambarkan kondisi sejarah Banten sebelum kedatangan bangsa Barat. Beberapa hal lain yang menjadi bukti telah berlangsungnya interaksi budaya antar bangsa adalah dengan ditemukannya artefak berupa keramik CIna, Vietnam, dan juga kedatangan pendakwah Islam yang menjadi agama mayoritas di tempat ini.
Pada tahap selanjutnya, tepatnya pada abad ke-17, dinasti Islam yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati asal Demak, berhasil merebut kekuasaan era Banten Lama dan menjadikan Banten dalam sejarah kota ini memainkan perannya sebagai titik niaga rempah.
Hal ini pertama-tama karena Banten telah masuk sebagai penjual rempah lada yang turut menjadikannya kota niaga. Selain itu, Banten juga memainkan perannya sebagai Entrepôt, atau pintu masuk dalam ekspedisi-ekspedisi rempah bangsa Barat (Inggris, Portugis, Belanda) sebelum berlayar menuju kepulauan rempah di Maluku. Pada era ketika Portugis menguasai Malaka, Banten pun menjadi titik yang diperebutkan oleh bangsa asing untuk dikuasai karena menjadi titik yang strategis dan perannya sebagai Entrepôt.
Catatan lain tentang sejarah Banten yang merupakan titik jalur rempah adalah jejak pelaut dunia yang terkenal, yakni Francis Drake, seorang pelaut asal Inggris. Ia juga berhasil membuat settlement/permukiman bangsa Inggris dan Portugis di Banten dan memiliki pengaruh yang kuat. Hal ini jugalah yang membuat para bangsa asing lainnya, khususnya Belanda, mengikuti jejak Drake dengan turut menginjakan kakinya di Banten.
Adalah Cornelis de Houtman yang pada tahun 1595 sampai di Banten. Berbeda dengan Drake dan Inggris yang mendapatkan pengaruh dan sambutan yang baik, de Houtman yang dikenal temperamental dan kurang sopan justru malah menghasilkan yang sebaliknya, dan membuat ketegangan. Hal ini jugalah yang menjadi penyebab peperangan VOC dengan Portugis di Banten pada 1601 hingga pada akhirnya VOC yang melakukan pengepungan di Banten pada 1682.
Kedekatan Banten dengan Kerajaan Inggris ini juga menghasilkan jejak budaya dengan datangnya dua utusan Banten ke Inggris. Kedatangan mereka yang awalnya bertujuan meminta bala bantuan ini pun gagal terlaksana, meskipun begitu, kedatangan dua utusan ini menjadi cukup heboh di negara imperialis ini, dan membuat keduanya diabadikan dalam bentuk lukisan sebagai manusia dari negeri rempah.
Selain itu, jejak-jejak multikultural yang dihasilkan karena perdagangan rempah di Banten ini juga bisa dilihat dengan masuknya banyak orang asing yang turut mengubah struktur kota Banten, di mana ada banyak kelompok komunitas yang mendirikan bangunan di luar benteng yang menjadi tempat tinggal masyarakat Banten. Dari mulai bangsa asing seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark, hingga Cina, maupun orang-orang Nusantara, mulai dari bangsa Bugis dan Makassar, Jawa, Melayu dan Sumatera, hingga Bali.
Satu situs yang masih ada hingga kini dan menjadi bukti interaksi dan kontak budaya di Banten adalah satu meriam besar yang bernama “Ki Amuk” yang dibeli oleh Kerajaan Banten dari pedagang Eropa untuk senjata dan pertahanan kerajaan mereka dari musuh (terutama Belanda). Dalam meriam “Ki Amuk” ini juga memiliki keunikan, meski dibeli dari bangsa Eropa, di tubuh meriam itu turut tertulis bahasa Arab yang merupakan identitas Banten pada masa itu. Meriam ini juga masih bisa kita temui di Museum Kepurbakalaan Situs Banten Lama.
_________
Sumber:
Webinar Jalur Rempah dan Kontak Budaya di Banten bersama Sri Margana, Ph. D, Sonny C Wibisono, M.A., DEA., Jumhari S.S, M.Hum., dan G. Andika Ariwibowo M.A
_________
Naskah & Editor: Doni Ahmadi
Sumber gambar: Abraham Salm. 1865-1872 / Wikimedia Commons