Indonesia memiliki warisan luar biasa untuk generasi masa depan. Namun, warisan dari leluhur bangsa ini belum tergarap maksimal. Salah satunya adalah jamu atau jampi (dalam bahasa Jawa). Jamu yang memiliki bahan dasar dari tanaman maupun rempah Nusantara ini memiliki banyak manfaat jika mampu dikembangkan secara maksimal.
Putra Pakubuwono (PB) XII, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger mengatakan, sejatinya warisan leluhur berupa jamu sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam literatur kepustakaan Keraton Surakarta Hadiningrat yang juga tercatat dalam Serat Centhini tertulis berbagai macam aspek kehidupan budaya Jawa pada masa lampau, termasuk kuliner hingga obat-obatan yang digunakan oleh masyarakat pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Tak hanya itu, dalam karya sastra Jampi-Jampi Jawi atau obat-obatan Jawa juga tertulis berbagai ramuan yang digunakan, baik untuk menjaga stamina, pengobatan, kecantikan, maupun untuk membentengi dari gangguan roh halus. Namun, seiring perkembangan waktu, warisan leluhur itu mulai luntur berganti dengan pengobatan modern saat ini.
"Sebenarnya, pengobatan yang digunakan oleh masyarakat masa lalu itu tidak kalah dengan saat ini. Hanya saja, tergerus perkembangan zaman. Di keraton dulu, juga sudah ada semacam laboratorium untuk menguji bahan obat-obatan yang berasal dari tanam-tanaman di sekitar kita yang sering dijumpai dan itu digunakan oleh masyarakat zaman dulu. Kalau sekarang, sudah bergeser dengan metode yang lebih modern dengan lisensi berbagai lembaga yang menangani obat-obatan, kan," jelas pria yang akrab disapa Gusti Puger itu.
Ia mengatakan bahwa peninggalan warisan leluhur masa lalu yang saat ini masih dijumpai di antaranya jamu beras kencur, godong (daun) pepaya, kunir asem, wedang jahe, dan masih banyak yang lain. “Jamu itu bisa berfungsi untuk menjaga stamina tubuh,” ujarnya. Selain itu, ada juga rempah yang digunakan untuk menjaga kecantikan, yaitu mangir, kunyit, kembang mawar, dan bahan-bahan lainnya.
Menurut Gusti Puger, dari beberapa warisan leluhur tersebut sudah ada yang diproduksi secara pabrikan. Namun, hal itu belum maksimal. "Jika mau kembali ke warisan (bahan-bahan dan resep) leluhur masa lalu, tentunya (produknya) tidak memiliki efek samping. Berbeda dengan bahan yang digunakan saat ini," ungkap saudara kandung dari Raja Keraton Solo PB XIII tersebut.
Sejak masa berdirinya Mataram Islam, kata Gusti Puger, perkembangan obat-obatan yang memanfaatkan tanaman maupun rempah-rempah yang tersedia di Nusantara berkembang sangat pesat. Bahkan, secara luas telah disebarkan ke masyarakat, tidak hanya digunakan di internal keraton semata. Hal ini terbukti dengan masih dijumpainya pedagang jamu gendong atau pabrikan, produk kosmetik, maupun obat-obatan yang menggunakan bahan dasar dari tanaman Nusantara.
"Itu dulu memang dikembangkan dari dalam keraton. Semisal, mangir yang digunakan untuk penghalus kulit atau ramuan jamu yang dikonsumsi masyarakat saat ini. Kalau bukan dulu dari keraton, apakah masyarakat yakin akan mengkonsumsinya. Ini juga merupakan salah satu warisan leluhur yang perlu dilestarikan," ucapnya.
Ia berharap warisan budaya khususnya di bidang obat-obatan ini tidak sampai hilang ditelan waktu. Namun, justru harus bersinergi dengan perkembangan zaman untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif dan dapat bersanding dengan obat-obatan modern saat ini. Dengan begitu, warisan budaya takbenda tersebut tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi mampu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
"Dulunya (jamu) juga digunakan oleh leluhur kita semua. Peran serta pemerintah untuk mengembangkan obat-obatan tradisional warisan leluhur ini sangat dinantikan sehingga masyarakat tak lagi memandang sebelah mata dengan istilah ndeso, tapi justru mendatangkan manfaat. Syukur-syukur bisa memiliki nilai jual untuk meningkatkan perekonomian," pungkas Gusti Puger.
__________
Sumber:
Wawancara dengan GPH Puger
__________
Ditulis oleh Achmad Khalik Ali
Editor: Wardani Pradnya Dewi & Tiya S.
Sumber gambar: Achmad Khalik Ali