Artikel

“Jampi” Jawa, Warisan Leluhur Keraton Solo

Achmad Khalik Ali| 19 Januari 2023

Indonesia memiliki warisan luar biasa untuk generasi masa depan. Namun, warisan dari leluhur bangsa ini belum tergarap maksimal. Salah satunya adalah jamu atau jampi (dalam bahasa Jawa). Jamu yang memiliki bahan dasar dari tanaman maupun rempah Nusantara ini memiliki banyak manfaat jika mampu dikembangkan secara maksimal. 

Putra Pakubuwono (PB) XII, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger mengatakan, sejatinya warisan leluhur berupa jamu sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam literatur kepustakaan Keraton Surakarta Hadiningrat yang juga tercatat dalam Serat Centhini tertulis berbagai macam aspek kehidupan budaya Jawa pada masa lampau, termasuk kuliner hingga obat-obatan yang digunakan oleh masyarakat pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. 

Tak hanya itu, dalam karya sastra Jampi-Jampi Jawi atau obat-obatan Jawa juga tertulis berbagai ramuan yang digunakan, baik untuk menjaga stamina, pengobatan, kecantikan, maupun untuk membentengi dari gangguan roh halus. Namun, seiring perkembangan waktu, warisan leluhur itu mulai luntur berganti dengan pengobatan modern saat ini.

"Sebenarnya, pengobatan yang digunakan oleh masyarakat masa lalu itu tidak kalah dengan saat ini. Hanya saja, tergerus perkembangan zaman. Di keraton dulu, juga sudah ada semacam laboratorium untuk menguji bahan obat-obatan yang berasal dari tanam-tanaman di sekitar kita yang sering dijumpai dan itu digunakan oleh masyarakat zaman dulu. Kalau sekarang, sudah bergeser dengan metode yang lebih modern dengan lisensi berbagai lembaga yang menangani obat-obatan, kan," jelas pria yang akrab disapa Gusti Puger itu. 

Ia mengatakan bahwa peninggalan warisan leluhur masa lalu yang saat ini masih dijumpai di antaranya jamu beras kencur, godong (daun) pepaya, kunir asem, wedang jahe, dan masih banyak yang lain. “Jamu itu bisa berfungsi untuk menjaga stamina tubuh,” ujarnya. Selain itu, ada juga rempah yang digunakan untuk menjaga kecantikan, yaitu mangir, kunyit, kembang mawar, dan bahan-bahan lainnya. 

Menurut Gusti Puger, dari beberapa warisan leluhur tersebut sudah ada yang diproduksi secara pabrikan. Namun, hal itu belum maksimal. "Jika mau kembali ke warisan (bahan-bahan dan resep) leluhur masa lalu, tentunya (produknya) tidak memiliki efek samping. Berbeda dengan bahan yang digunakan saat ini," ungkap saudara kandung dari Raja Keraton Solo PB XIII tersebut. 

Sejak masa berdirinya Mataram Islam, kata Gusti Puger, perkembangan obat-obatan yang memanfaatkan tanaman maupun rempah-rempah yang tersedia di Nusantara berkembang sangat pesat. Bahkan, secara luas telah disebarkan ke masyarakat, tidak hanya digunakan di internal keraton semata. Hal ini terbukti dengan masih dijumpainya pedagang jamu gendong atau pabrikan, produk kosmetik, maupun obat-obatan yang menggunakan bahan dasar dari tanaman Nusantara. 

"Itu dulu memang dikembangkan dari dalam keraton. Semisal, mangir yang digunakan untuk penghalus kulit atau ramuan jamu yang dikonsumsi masyarakat saat ini. Kalau bukan dulu dari keraton, apakah masyarakat yakin akan mengkonsumsinya. Ini juga merupakan salah satu warisan leluhur yang perlu dilestarikan," ucapnya.      

Ia berharap warisan budaya khususnya di bidang obat-obatan ini tidak sampai hilang ditelan waktu. Namun, justru harus bersinergi dengan perkembangan zaman untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif dan dapat bersanding dengan obat-obatan modern saat ini. Dengan begitu, warisan budaya takbenda tersebut tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi mampu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. 

"Dulunya (jamu) juga digunakan oleh leluhur kita semua. Peran serta pemerintah untuk mengembangkan obat-obatan tradisional warisan leluhur ini sangat dinantikan sehingga masyarakat tak lagi memandang sebelah mata dengan istilah ndeso, tapi justru mendatangkan manfaat. Syukur-syukur bisa memiliki nilai jual untuk meningkatkan perekonomian," pungkas Gusti Puger. 

 

__________

Sumber:

Wawancara dengan GPH Puger

__________

Ditulis oleh Achmad Khalik Ali

Editor: Wardani Pradnya Dewi & Tiya S. ​​​​​​

Sumber gambar: Achmad Khalik Ali

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Pulau Ternate, Kota Dagang & Titik Temu Pedagang Nusantara dan Asing

21 Oktober 2020

Pengaruh Perdagangan Rempah dan Akulturasi Budaya dalam Rasa Rendang

3 Januari 2023

Peran Dokter dalam Penjelajahan Bangsa Eropa di Jalur Rempah

4 Februari 2021

Artikel Terbaru

Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 Sukses Menyusuri Tujuh Titik Jalur Rempah Indonesia Bagian Barat dan Malaysia

15 Juli 2024

MBJR Bersama KRI Dewaruci Singgah di Kota Melaka, Perkuat Konektivitas Kultural Indonesia-Malaysia

1 Juli 2024

Muhibah Budaya Jalur Rempah di Sabang, Nostalgia KRI Dewaruci Menyambangi Perairan Aceh 70 Tahun Lalu

23 Juni 2024

Artikel Terkait

...

Peran Dokter dalam Penjelajahan Bangsa Eropa di Jalur Rempah

admin

4 Februari 2021

...

Simpan Kisah Kejayaan Jalur Rempah Nusantara, Surabaya Jadi Titik Awal Muhibah Budaya

admin

1 Juni 2022

...

Benteng Somba Opu Makassar: Enterpot di Nusantara Bagian Timur

admin

25 November 2020