Rebon adalah udang kecil yang hidup di sungai dan muara. Bagi masyarakat Nusantara, udang rebon cukup familiar sebab menjadi bahan utama pembuatan terasi. Sepanjang jalur pantura, mencari rebon tidak begitu sulit, apalagi di Cirebon.
Pada abad ke-15 M, produksi tangkap rebon mulai dikenalkan di Cirebon. Seorang tokoh memprakarsai hal tersebut, yakni Abdullah Iman. Ia Cakrabuana, seorang pangeran dari Kerajaan Padjajaran. Abdullah Iman memiliki nama asli Walangsungsang, seorang raden putranya Prabu Siliwangi.
Rebon menjadi mata pencaharian. Cirebon saat itu adalah perdukuhan (padukuhan), beberapa kelompok rumah yang membentuk perkampungan. Bermula dari sekelompok orang hidup sekitar Pelabuhan Muara Jati, bibit demografi itu tumbuh. Pelabuhan Muara Jati adalah jantung ekonomi bagi masyarakat Sarumban sehingga hidup ketergantungan dari jalur muara. Dihuni sekitar 333 ribu orang, kini Cirebon dikenal sebagai Kota Udang.
Pelabuhan Muara Jati menjadi penanda ekonomi masyarakat perdukuhan Cirebon dan rebon menjadi andalan utama penghasilan. Lambat laun, rebon menjadi bahan utama beberapa olahan, seperti pembuatan terasi dan petis. Dua olahan tersebut sampai kini masih diproduksi masyarakat Cirebon. Dari Pelabuhan Muara Jati, sosiologi ekonomi Cirebon memiliki identitas.
Muara Pesisir Mundu, Cirebon. Di muara ini sebagian masyarakat mencari udang rebon (Sumber: Umar Alwi Muhammad)
Berdasarkan naskah Purwaka Caruban Nagari (1720 M), saat Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuana menjadi seorang kuwu di Cirebon Larang, produksi utama perdukuhan tersebut adalah terasi. Bahkan, saat Cirebon masih di bawah pengaruh Padjajaran, pajak wilayahnya berbentuk olahan tersebut.
Menurut P.S. Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon (1985), nama Cirebon diambil dengan pendekatan terminologi ekonomi, yakni Cai Rebon, yaitu air produksi udang rebon atau terasi. Bahkan, produksi terasi sampai kini masih dipertahankan masyarakat Cirebon terutama di Pesisir Kecamatan Harjamukti dan Mundu.
Rebon merupakan morfologi dari terbentuknya nama Cirebon. Bahkan, dalam studi antropologinya berkembang bahwa Cirebon berasal dari Sarumban. Kata tersebut memiliki arti ‘campuran’, yakni melihat kondisi masyarakat Cirebon yang plural dan heterogen, saat banyaknya penduduk dari berbagai suku dan budaya berdatangan.
Dengan demografi penduduk yang semakin tumbuh, Cirebon menjadi sebuah wilayah mandiri yang tentu tidak lepas dari peran Pelabuhan Muara Jati. Selain sebagai pintu gerbang interaksi antarbudaya, Muara Jati juga sebagai lokomotif ekonomi warga Cai Rebon. Cirebon pada periode awal, denyut nadi ekonominya bergantung dari pelabuhan ini.
Perempuan paruh baya sedang menjemur ikan teri dan udang rebon di Pesisir Mundu, CIrebon. Udang rebon menjadi komoditas utama pengolahan terasi. (Sumber: Umar Alwi Muhammad)
Terbentuknya identitas Cirebon sebagai wilayah kota dan administrasi bermula dari Pelabuhan Muara Jati yang menjadi salah satu titik Jalur Rempah. Dari proses interaksi, komunikasi, dan ekonomi yang bermula di Muara Jati, Cirebon kaya akan perjalanan historis. Namun di balik semua itu, udang rebonlah yang paling berpengaruh dalam membentuk nama Cirebon. Melalui Pelabuhan Muara Jati, komoditas Cirebon adalah olahan rebon, juga hasil laut, dan bumi tanah Sarumban.
RH Unang Sunardjo dalam Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809 (1983) menjelaskan bahwa ketika berkembang, perdukuhan Cirebon memiliki hubungan dengan Demak. Melalui hubungan tersebut, Cirebon memiliki jaringan bilateral dan ekspansi kultural sehingga eksistensi terbangun di pesisir perairan Jawa. Inilah identitas Cirebon sebagai kota penuh budaya dan plural masyarakatnya: membangun dari sebuah pelabuhan kecil dan membentuk peradaban besar.
Sampai kini, sebagian masyarakat Cirebon masih berburu rebon. Dengan karakter wilayah perairan, rebon mudah didapat di Cirebon. Bahkan, di pasar-pasar tradisional, rebon banyak ditemukan, baik hidup, mati, dan dalam bentuk lain, yakni olahan makanan seperti petis ataupun terasi. Tak heran bila hingga kini Cirebon dijuluki Kota Udang.
___________
Sumber Referensi:
—. Purwaka Caruban Nagari. Manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional RI. Alih Bahasa TD Sudjana.
Sulendraningrat, P.S. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka.
Sunardjo Unang, RH. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.
___________
Ditulis oleh Umar Alwi Muhammad, Founder Heuriskein Institute dan Praktisi Sejarah. Ia aktif menulis dan banyak menerbitkannya di media massa. Ia lulusan Prodi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Di dunia maya berinteraksi melalui akun Facebook Umar Alwi Muhammad.
Editor: Wardani Pradnya Dewi & Tiya S.
Sumber gambar: Umar Alwi Muhammad