Selain keindahan lanskap alam, hal yang tidak bisa lepas ketika membicarakan Bali adalah ragam budayanya. Keragaman itu juga bisa kita temui dalam tradisi wastra di bumi dewata ini. Satu contoh yang menarik adalah kain tenun gringsing.
Kain tenun gringsing adalah satu-satunya kain tradisional Indonesia yang menggunakan teknik ikat ganda. Ia kental dengan tiga warna (atau kerap disebut Tridatu) dalam pembuatan motifnya, yakni merah, kuning, dan hitam.
Yang menarik, seluruh warna ini dihasilkan dari pewarna alami dalam pembuatan motif kain gringsing. Bahan-bahannya meliputi ‘babakan’ atau kelopak pohon kepundung putih yang dicampur dengan kulit akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah, minyak buah kemiri dicampur dengan air serbuk/abu kayu untuk menghasilkan warna kuning, dan Pohon Taum untuk menghasilkan warna hitam.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah kemiri yang tidak sembarang dipilih sebagai pewarna. Buah kemiri ini biasanya diambil langsung dari hutan Tenganan dan harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang. Dengan kata lain, hanya kemiri yang jatuh ke tanah yang dapat digunakan untuk pembuatan kain gringsing.
Hal ini sesuai dengan aturan adat yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu tidak boleh dipetik. Ia harus dibiarkan matang di pohon dan jatuh ke tanah. Luh Widiartini, pengrajin kain gringsing yang kami temui di Desa Tenganan beberapa waktu lalu, menjelaskan proses selanjutnya ketika pasca mendapatkan kemiri matang. “Buah kemiri yang sudah matang tersebut kemudian dicincang dan digoreng, lalu diperas sampai mengeluarkan minyak, kemudian ditambahkan air abu.”
“Campuran tersebut,” lanjutnya, “digunakan untuk merendam benang selama kurang lebih 40 hari hingga satu tahun. Selama proses perendaman ini, air rendaman diganti setiap 25-49 hari. Semakin lama proses perendaman, benang yang dihasilkan akan semakin lembut.”
Benang ini kemudian diangkat dan diangin-anginkan. Dan bila sudah mulai kering, dilanjutkan untuk pembuatan motif dengan proses mengikat dan menandai benang menggunakan tali rafia dua warna untuk membentuk motif yang diinginkan.
“Dalam prosesnya, kain tenun gringsing ini sepenuhnya dikerjakan menggunakan tangan. Benang-benang yang digunakan untuk membuat kain berasal dari kapuk berbiji satu yang dipintal menggunakan alat pintal tradisional,” lanjut Luh Widiartini.
Kain tenun yang berwarna gelap alami digunakan masyarakat Tenganan dalam ritual keagamaan dan dipercaya memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk atau bala. Di Bali, berbagai upacara seperti upacara potong gigi, pernikahan dan upacara keagamaan lain dilakukan menggunakan kain Gringsing.
Selain pewarna natural, kain tenun gringsing, atau disebut juga “kain api”, menerapkan teknik yang jarang dipraktekkan, yakni tenun ikat ganda. Teknik yang disebut juga ‘patola’ ini hanya ditemukan di beberapa lokasi, misalnya Patan, Gujarat, India dan Tenganan, Bali, Indonesia. Lokasi spesifiknya, bisa ditemui di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Dengan segala proses yang menghasilkan wastra terbaik, kain tenun Gringsing ini dibandrol dari tiga ratus ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah. Harga ini tergantung dari kerumitan motif dan lamanya proses pengerjaan.
Sumber:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/agrotrop/article/view/27209/17214
https://media.neliti.com/media/publications/291052-kajian-estetik-pengolahan-kain-gringsing-4fa0598f.pdf
Wawancara eksklusif dengan Luh Widiartini, penenun kain Gringsing di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem
Naskah: Sista Sekartaji
Editor: Doni Ahmadi