Artikel

Budaya Cina dan Minangkabau Berkelindan di Kampung Cina Padang

Merry Kurnia| 17 Maret 2023

Etnis Cina telah menjadi bagian dari kebhinekaan Indonesia, mereka hadir jauh sebelum bangsa Barat melakukan pelayaran ke Nusantara. Istilah etnis Cina merujuk kepada orang-orang Cina yang tinggal di luar daratan Tiongkok (Erniwati, 2019: 186). Dulunya, etnis ini secara aktif terlibat dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran bersama dengan orang-orang dari Arab dan India (Asnan, 2007: 43). Pada abad ke-17, etnis Cina telah bermukim di Pariaman yang merupakan pemukiman pertama etnis Cina di sekitar kawasan Pantai Barat Sumatra. Tahun 1660, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), serikat dagang yang dimiliki Belanda menjadikan Padang sebagai pusat ekonomi dan politik. Padang kemudian menjadi magnet niaga di mana para pedagang Cina dan VOC masif menjalin kontak dagang dengan penduduk setempat yang mulanya juga merupakan para pedagang dari daerah pedalaman di Minangkabau. Peningkatan jumlah etnis Cina yang menetap di Padang pada tahun 1682 menyebabkan VOC mengangkat seorang letnan Cina, Lie Pit (Erniwati, 2016: 35). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol dan mengatur etnis Cina yang berada di Padang.  

Secara tidak langsung, aktivitas niagalah yang menjadi jembatan terjalinnya relasi antara etnis Cina dengan pedagang Minangkabau, baik di Padang maupun di daerah pedalaman. Relasi yang terbina bukan saja dalam aspek perniagaan, melainkan juga dalam hal perkawinan. Etnis Cina yang melakukan perkawinan dengan masyarakat setempat, pada umumnya adalah kaum laki-laki yang datang tidak dengan membawa keluarga dari dataran Tiongkok. Keturunan dari hasil perkawinan campuran etnis ini kemudian melahirkan kelompok Cina yang disebut dengan Cina Peranakan. Pada abad ke-19, Padang sudah sangat multikultural yang didiami oleh penduduk asli dan asing.

Keharmonisan hubungan antara orang-orang Cina dengan masyarakat asli yang dipupuk sejak lama terpisahkan oleh jurang tajam yang entah sengaja atau tidak dibangun oleh pihak kolonial Belanda. Kebijakannya adalah memisahkan area residensial orang-orang Cina dengan penduduk asli. Pemisahan ini bertujuan untuk pembangunan ekonomi dengan cara melakukan perubahan tata kota. Kebijakan tersebut berlanjut hingga sektor pendidikan dan birokrasi. Pemerintah kolonial Belanda memberikan akses istimewa dan mengklaim etnis Cina lebih mudah diajak bekerja sama dibanding etnis Minangkabau. Etnis Cina kemudian memperoleh kemudahan dalam melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah Kristen dan birokrasi di pemerintahan kolonial. Kondisi ini berbanding terbalik dengan perlakuan terhadap orang-orang Minangkabau yang dalam tanda kutip di tempatkan di kelas sosial paling bawah. Jurang sosial yang diciptakan oleh pemerintah kolonial antara etnis Cina dan penduduk asli semakin menganga lebar, berbeda jauh dengan sebelum kedatangan kolonial Belanda di mana penduduk pesisir hingga pedalaman Minangkabau memiliki punya kontak baik dengan berbagai etnis yang dilatarbelakangi perniagaan (Laila Kholid Alfirdaus, Eric Hiariej, Farsijana Adeney-Risakotta, 2014: 141).

Meskipun kolonial Belanda memberi sekat antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, akulturasi budaya antara masyarakat pendatang dan asli tetap terjadi. Beberapa budaya dari masyarakat asli dan pendatang berkelindan saling kait mengait, seperti halnya dalam upacara pernikahan masyarakat Cina di Padang dalam prosesi pelemparan beras kunyit yang merupakan adat pernikahan Minangkabau. Tujuan dari upacara ini untuk mengusir roh-roh jahat atau bala agar tidak mengganggu kelancaran acara pernikahan. Dalam pernikahan Cina, ada juga pelemparan manisan saat pihak laki-laki akan masuk ke rumah pengantin perempuan yang bertujuan untuk menghormati para dewa agar pertemuan antara pengantin perempuan dan laki-laki tidak terkendala. Dalam pelaksanaannya, etnis Cina di Padang tidak melemparkan manisan, melainkan beras kunyit yang dicampurkan dengan bitai. Bitai merupakan nyiru bundar milik Cina yang diberikan huruf Suangsi. Bukan hanya itu, tema untuk resepsi pernikahan mencampurkan unsur adat Cina dan Minangkabau yang menggunakan warna emas dan merah sebagai warna asli Minangkabau, serta menghadirkan tari piring, barongsai, dan adat pelemparan beras kunyit (Kezia Natalia Sjofjan, 2018: 15).

Bukan hanya dalam pernikahan, keberagaman etnik juga terlihat dalam kesenian gambang etnis Cina Pondok. Kesenian gambang di kawasan pecinan merupakan hasil perwujudan ekspresi dari berbagai kelompok dan individu sekaligus sebagai simbol identitas kedaerahan tempat etnis Cina itu berdomisili. Satu kelompok kesenian gambang terdiri dari berbagai etnis, di antaranya Minang, Jawa, Nias, keturunan suku Tamil India, Cina totok, dan Cina peranakan. Lagu-lagu yang dibawakan biasanya berupa lagu dengan bahasa Mandarin, Minang, Batak, dan Barat. Perpaduan repertoar lagu-lagu gambang ini juga turut dipengaruhi oleh kreativitas seniman gambang. Kenyataan yang seperti demikian terlihat dari adanya penggabungan beberapa instrumen yang berasal dari musik barat, seperti misalnya brass, saxophone, clarinet, gitar, biola, dan lainnya. Adanya instrumen pendukung ini menjadikan kelompok kesenian tersebut dapat memainkan lagu-lagu yang tidak bisa diiringi oleh instrumen gambang (Rizdki, Nursyirwan, dan Ediwar, 2017: 175-177).

Selain pernikahan dan kesenian, penamaan warung kepunyaan etnis Cina Padang mayoritas menggunakan bahasa Minang, seperti warung kopi “Nan Yo Baru” (yang baru). Bukan hanya warung kopi “Nan Yo Baru”, ada lagi Es Durian “Ganti Nan Lamo” yang pemiliknya merupakan keturunan Cina. Di samping menggunakan simbol-simbol ke-Minangkabauan, etnis Cina Kota Padang juga menyatakan dirinya bagian dari orang Minang asli.  Hal ini terlihat dari kutipan wawancara di jurnal milik Muhammad Nur dengan Lie hen Cun yang merupakan pensiunan guru bahasa Inggris, “Ambo adolah urang minang. Pernah mandanga Minangkiaeu? Itu minang keturunan Tionghoa mah…” (Saya adalah orang Minang, pernah mendengar Minagkiaeu? Itu minang keturunan Tionghoa…)” (Al Muhammad Nur, 2016: 93-94). Ketika memasuki Kampung Pondok, kita juga akan terbiasa mendengar orang-orang Cina ini berbahasa Minang, lengkap dengan logat Tionghoa-nya, jadi budaya asli dan Cina berkelindan melahirkan keragaman yang indah.

 

 

_________

Sumber Referensi

Alfirdaus, Laila Kholid, Hiariej, Eric dan Adeney, Farsijana. (2014). Politik Relasi Etnik: Matrilinealitas dan Etnik Minoritas Cina di Padang Sumatra Barat. Jurnal Komunitas Universitas Semarang. 6(1): 136-150.

Asnan, Gusti. (2007).  Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak.

Erniwati. (2019). Identitas Etnis Cina Padang Masa Pemerintah Hindia Belanda. Jurnal Panjala. 11(2): 185: 202.

Ediwar, Rizdki dan Nursyirwan. (2017). Kesenian Gambang Sebagai Identitas Cina di Kampung Pondok Kota Padang. Jurnal Bercadik Isi Padang Panjang 2(14): 170-181.

Sofyan, Kezia Natalia. (2018). Akulturasi Budaya Minangkabau pada Etnis Cina di Kota Padang. Universitas Tarumanegara: Fakultas Ilmu Komunikasi.

Nur, Al Muhammad. (2016). Relasi Agama, Budaya dan Perilaku Ekonomi Pada Pola Dagang Etnis Cina Kota Padang. Jurnal Turast Penelitian dan Pengabdian. 4(1): 90-97.

_________

Ditulis oleh Merry Kurnia, merrykurnia86@gmail.com

Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Pondok, Padang. Circa 1930. Leiden University Libraries. Digital Collection.

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Simpan Kisah Kejayaan Jalur Rempah Nusantara, Surabaya Jadi Titik Awal Muhibah Budaya

1 Juni 2022

Benteng Somba Opu Makassar: Enterpot di Nusantara Bagian Timur

25 November 2020

Sambutan Kedatangan Arka Kinari di Fort Rotterdam Makassar

4 Oktober 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Sambutan Kedatangan Arka Kinari di Fort Rotterdam Makassar

admin

4 Oktober 2020

...

Gerak Sigap Pemerintah Aceh untuk Program Jalur Rempah

admin

13 Desember 2020

...

Pesisir Utara Jawa dalam Catatan sebagai Simpul Jalur Rempah Nusantara

Muhammad Rizky Pradana

3 Maret 2023