Artikel

Perlanja Sira, Aktor Penting Perdagangan di Pesisir Timur Sumatra Utara

Multazam| 26 Januari 2023

Kawasan Pesisir Timur Sumatra Utara (Labuhan Deli) sejak dulu merupakan jalur penting bagi perdagangan internasional. Sebelum tembakau jadi komoditas primadona, lada, beras, gambir, pala, maupun tanaman hutan seperti damar dan rotan sudah lebih dulu mendunia. 

John Anderson dalam Mission to the East Coast of Sumatra in 1823 (1971) mencatat bahwa pada 1822, ekspor lada dari Labuhan Deli sudah mencapai 1.000 koyan atau 26.000 pikul. Hal ini menjadikan Deli terkoneksi dalam jalur perdagangan dunia. Komoditas ekspornya berupa hasil pertanian dan hutan.

Menariknya, sejumlah komoditas itu justru berasal dari wilayah pedalaman, jauh dari kawasan pantai tempat pelabuhan berada. Alhasil, proses pendistribusian barang bukan hal mudah, apalagi akses jalan dan moda transportasi belum berkembang seperti zaman sekarang. Itulah mengapa diperlukan seorang perantara yang bertugas mendistribusikan barang menuju bandar-bandar perdagangan. Suku Karo menyebut perantara itu sebagai perlanja sira.  

Dalam bahasa Karo, perlanja berarti memikul, sedangkan sira artinya garam. Dengan demikian, perlanja sira adalah si pemikul garam. Penamaan tersebut mengacu pada komoditas (garam) yang selalu dibawa si perantara untuk diedarkan ke kawasan pegunungan. Ada pelbagai jenis barang yang hanya bisa diperoleh dari kawasan pesisir. Garam adalah salah satunya.

Ringkasnya, setelah mengangkut hasil bumi ke kawasan pesisir, si perantara tadi akan kembali dengan membawa garam. Seluruh aktivitas tersebut dilakukan dengan berjalan kaki, sembari memikul barang yang hendak diperdagangkan.

Sekalipun demikian, berbagai referensi menyebutkan bahwa tidak cuma garam yang diangkut perlanja sira. Barang-barang lain, seperti candu, kain, senapan, ikan asin, dan mesiu turut menjadi barang yang mereka distribusikan ke dataran tinggi karo. Tanpa kontribusi mereka, rantai pasok komoditas dari hulu ke hilir, maupun dari hilir ke hulu otomatis terhenti. Sedemikian besar peran perlanja sira pada masa itu (abad 16–19 Masehi). 

Daniel Perret dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut (2010) secara tegas menyebut masyarakat di pedalaman dan masyarakat di pesisir laut bukan dua satuan etnis yang bertentangan. Namun, keduanya adalah golongan-golongan sosial yang saling bergantung satu sama lain, terutama dalam hal pemenuhan komoditas. Sebuah bukti bahwa hasil bumi ternyata mampu mengikat rasa persaudaraan.

Bentang alam Tanah Karo yang berbukit-bukit dengan semak belukar dan jurang-jurang terjal membuat rute perjalanan para perlanja sira cukup berat. Perlu kekuatan, keberanian, dan jiwa pengembaraan untuk bisa menaklukan rute perjalanan penuh risiko itu. Nilai lain yang tersemat adalah semangat gotong royong dan kekeluargaan. Meskipun berasal dari daerah yang berbeda, perlanja sira saling berkoordinasi dan bertukar informasi mengenai rute yang akan atau telah dilalui. Begitupun saat beristirahat di salah satu lokasi, mereka saling menunggu satu sama lain.

Aktivitas perlanja sira diyakini berkontribusi terhadap proses migrasi sekaligus diaspora masyarakat Karo dataran tinggi ke daerah pesisir. Jauhnya jarak dan sulitnya medan kadang mendorong inisiatif mereka untuk membangun pemukiman baru. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar melintas, tetapi kadang juga menetap dan membentuk kampung-kampung yang berkembang jadi pusat peradaban baru. Sejarah terbentuknya Kota Binjai bisa jadi salah satu contoh.

Suprayitno dalam Bukti-Bukti Karya Ilmiah: Sejarah Kota Binjai (2015) menyebutkan bahwa Binjai berada di pertengahan antara daerah pegunungan dan pesisir. Lokasi ini dulunya sering dijadikan oleh perlanja sira sebagai tempat beristirahat. Perjalanan dari dataran tinggi Karo ke pesisir Langkat memakan waktu berhari-hari sehingga mereka harus singgah bermalam. Begitu juga sebaliknya, kembali dari pesisir Langkat, perlanja sira kembali bermalam di tempat yang sama. Itulah sebab muncul istilah “Ben-Ijai”, bahasa Karo yang artinya ‘singgah di sini’.

Peran perlanja sira yang berdagang dengan memikul garam, menyusur lereng bukit, mengikuti aliran sungai, dan membelah hutan pastinya tidak lagi relevan di zaman sekarang. Profesi ini bahkan punah seiring dengan dibukanya akses jalan raya Medan–Kabanjahe pada dekade awal abad ke-20. Perkembangan teknologi dan geliat industri perkebunan di Tanah Deli kala itu mengharuskan pemerintah kolonial menciptakan beragam moda transportasi untuk mempercepat lalu lintas perdagangan. Peran vital sebagai perantara yang sebelumnya diemban perlanja sira pun berangsur menghilang.

Namun begitu, sekalipun kehilangan peran, perlanja sira tidak lantas kehilangan kisah. Khususnya bagi orang Karo, eksistensi mereka tetap terjaga melalui berbagai cerita rakyat. Tradisi tulisan maupun lisan berupa dongeng (turi-turin), dendang lagu (perkolong-kolong), bahasa halus (cakap lumat), mantra (tabas-tabas), maupun teka-teki (kuning-kuningen) tak jarang menyematkan kisah perlanja sira.

 

_________

Sumber Referensi

Anderson, J. (1971). Mission to East Coast of Sumatera in 1823. London: Oxford University Press.

Perret, D. (2010). Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut.

Suprayitno. (2015) Bukti –Bukti Karya Ilmiah: Sejarah Kota Binjai.

Suprayitno; Ratna; dan Handoko. (2019) Salt Trading in Deli: Relationship between Karo and Coastal Area in 19th Century.

_________

Ditulis oleh Multazam, amin_multazam@yahoo.com

Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Galeri Foto Karo Tempo Dulu (pariwisata.karokab.go.id)

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Sejarah Makassar: Pengekspor Pakaian hingga Pusat Perdagangan

14 Oktober 2020

Peran Dokter dalam Penjelajahan Bangsa Eropa di Jalur Rempah

4 Februari 2021

Aksara Lontara & Hukum Amanna Gappa: Jejak Jalur Rempah Makassar

15 Oktober 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Aksara Lontara & Hukum Amanna Gappa: Jejak Jalur Rempah Makassar

admin

15 Oktober 2020

...

Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita

admin

31 Januari 2022

...

Sastra untuk Rempah dan Nusantara

admin

17 Januari 2022