Artikel

Pengaruh Bangsa Asing dalam Ragam Motif Wastra Etnis Betawi

Diyah Wara Restiyati| 5 Januari 2023

Sejak abad ke-18, komunitas di Batavia (Jakarta pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda) terdiri dari berbagai etnis. Menurut Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta Sejarah 400 Tahun yang diterbitkan Masup Jakarta pada Juni 2011, selain pedagang dari China, Arab, India, dan Eropa, juga terdapat pedagang dari negeri lain dan orang-orang yang dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk dijadikan budak atau datang ke Batavia untuk mencari penghidupan. Pada abad tersebut, Batavia merupakan salah satu kota modern, pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, perekonomian, perdagangan, dan pelabuhan terbesar di Asia Tenggara.

Berdasarkan sensus pada tahun 1673, keberagaman etnis di Batavia sudah ditunjukkan dengan komposisi penduduk Batavia dengan hasil sebagai berikut (Blackburn, 2011): Orang Belanda sebanyak 2.024 jiwa, Eurasia sebanyak 756 jiwa, Cina sebanyak 2.747 jiwa, Mardijker sebanyak 5.362 jiwa, Moor dan Jawa sebanyak 1.339 jiwa, Melayu sebanyak 611 jiwa, Bali sebanyak 981 jiwa, dan budak sebanyak 13.278 jiwa.

Keberagaman etnis di Batavia dari berbagai sumber yang dikumpulkan dapat terjadi karena empat alasan. 1. Kebijakan pemerintah yang mendatangkan orang non-pribumi ke negeri Hindia Belanda terutama Batavia untuk meramaikan kehidupan kota dan bekerja pada orang Eropa atau yang lainnya. 2. Keberadaan Batavia sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perdagangan dan ekonomi Hindia Belanda. 3. Adanya para pedagang dari luar Hindia Belanda yang berusaha dan menetap di Batavia. 4. Adanya pernikahan campur antara pendatang dari luar Hindia Belanda dengan penduduk pribumi.  

Merujuk buku Mona Lohanda berjudul Sejarah Pembesar Mengatur Batavia yang diterbitkan pada 2007 oleh Masup Jakarta, pemerintahan kolonial Hindia Belanda melakukan pembagian wilayah di Batavia berdasarkan etnis. Tiap etnis diwajibkan menggunakan pakaian khasnya masing-masing. Hal ini dilakukan agar dapat membedakan etnis satu dengan lainnya, terutama etnis-etnis yang memiliki ciri fisik (warna kulit atau rambut) yang sama. Etnis merupakan suatu golongan sosial yang memiliki ciri-ciri tertentu yang menandakan bahwa seseorang atau suatu komunitas menjadi bagian dari satu etnis (Suparlan, 2004). Salah satunya adalah pakaian. 

Percampuran etnis yang banyak terjadi paling banyak dilakukan melalui pernikahan antara pedagang dengan perempuan lokal. Kedatangan para pedagang ke Batavia utamanya untuk berdagang hasil bumi dari berbagai daerah di Nusantara, seperti sayuran, buah-buahan, hewan serta tumbuhan eksotis, dan tentunya rempah-rempah. Batavia menjadi salah satu kota perdagangan terbesar di kawasan Asia sekaligus merupakan pusat politik dan ekonomi VOC atau kongsi dagang Belanda dan pusat pemerintahan Hindia Belanda. 

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pakaian etnis China berbeda dengan pakaian etnis India atau Arab. Dari pakaian yang berbeda-beda inilah pemerintah kolonial Hindia Belanda dapat membedakan penduduk Batavia, terutama berkaitan dengan urusan hukum, perdagangan, dan lainnya. Pada perkembangannya, pemerintah kolonial Belanda juga membagi masyarakat di Hindia Belanda, termasuk Batavia ke dalam tiga golongan, yaitu golongan I (etnis Eropa dan golongan kulit putih lain), golongan II (etnis India, China, Arab, dan Asia Timur lain), dan golongan III (pribumi atau bumiputra termasuk Jawa, Sunda, dan etnis yang dianggap ‘pribumi’ di Hindia Belanda). Meskipun demikian, percampuran antaretnis tetap tidak bisa dihindari lagi, dan jejak keberagaman etnis tersebut pun dapat terlihat di berbagai benda kebudayaan, seperti pakaian.

Pada pakaian Betawi sehari-hari, laki-laki umumnya menggunakan celana pangsi, yaitu celana panjang yang lebar dan biasanya terbuat dari bahan batik atau berwarna hitam, dengan lipatan di bagian pinggang untuk mengencangkan celana seperti memakai sarung. Kebiasaan menggunakan celana pangsi ini diadopsi dari kebiasaan masyarakat Eropa dan China. Selain celana pangsi, laki-laki etnis Betawi juga menggunakan celana panjang pantalon yang diadopsi dari kebiasaan masyarakat Eropa. Celana pangsi dan pantalon mulai dipakai sejak tahun 1900-an. Celana pantalon biasanya digunakan pada saat-saat khusus, seperti pergi bertemu dengan orang penting atau pejabat dan saat pernikahan.

Pada saat pernikahan, laki-laki Betawi akan menggunakan pakaian bergaya Eropa, yaitu celana panjang pantalon dan kemeja putih, yang dilapisi dengan jubah panjang dan kopiah yang diadopsi dari pakaian etnis Arab. Untuk bagian atas, etnis Betawi terbiasa tidak menggunakan pakaian di kehidupan sehari-hari dan hanya menggunakan pakaian kemeja putih atau baju koko pada waktu khusus. Baju yang disebut baju koko berupa baju dengan kerah tinggi dan umumnya dikenakan oleh etnis China. Oleh sebab itu, baju tersebut disebut baju koko (koko berasal dari kata ‘engkoh’ atau ‘kokoh’ yang berarti kakak laki-laki dalam bahasa Hokkien). Saat ini, pakaian pengantin laki-laki etnis Betawi lebih sering menggunakan baju koko, celana pantalon, serta kopiah. Untuk alas kaki, pengantin laki-laki akan memakai sepatu berwarna hitam seperti orang Eropa. 

Untuk pakaian sehari-hari kaum perempuan etnis Betawi, biasa menggunakan baju kurung atau baju panjang dan kebaya. Baju kurung, baju panjang, dan kebaya ini diadopsi dari baju yang dipakai oleh perempuan Eropa (terutama Belanda) di Hindia Belanda dan perempuan China. Perbedaan baju kurung, baju panjang, dan kebaya yang dipakai oleh perempuan Eropa dan China, yaitu pada motif dan warna. Baju kurung, baju panjang, dan kebaya yang dipakai perempuan Eropa biasanya berwarna putih atau biru dengan motif bunga seruni atau benda-benda yang ada di Eropa, sedangkan perempuan China menggunakan baju dan kebaya yang lebih berwarna, seperti merah, kuning, hijau, dan lainnya.

Untuk kebaya berwarna putih, perempuan China akan menambahkan motif bunga peony, persik, burung phoenix, bangau, atau motif lainnya yang dianggap membawa keberuntungan dan nasib baik. Hal ini disebabkan karena masyarakat China percaya bahwa warna putih merepresentasikan kedukaan atau kesedihan serta nasib buruk. Pada bagian bawah, batik berupa sarung atau kain banyak dipakai, baik oleh perempuan Eropa maupun China. Baju kurung, baju panjang, dan kebaya biasa digunakan sehari-hari oleh kedua etnis. Sebelum kebaya, baju panjang atau baju kurung diperkenalkan oleh etnis non-pribumi, perempuan etnis pribumi yang ada di Hindia Belanda tidak mengenakan baju dan hanya mengenakan selembar kain menutupi bagian bawah tubuhnya. Hal ini diceritakan dalam catatan Kaisar Tai Zu, dari Dinasti Ming yang memerintah China pada abad ke-14-15, disebutkan bahwa dalam kunjungan utusan kekaisaran China ke Jawa ditemukan bahwa para perempuan di Jawa hanya memakai selembar kain, baik dari sutra maupun pintalan kapas untuk menutupi tubuhnya (Liji, 2012).

Kebaya yang dipakai perempuan etnis Betawi sehari-hari sering disebut dengan kebaya encim (encim atau bibi dari bahasa Hokkien), sedangkan untuk waktu khusus memakai kebaya kerancang. Kebaya kerancang memiliki ciri lengan kebaya yang pas di tangan dan ujung kebaya meruncing ke bawah dengan model seperti kebaya kartini. Pada perkembangan pakaian etnis Betawi, baju panjang disebut dengan kebaya panjang Nyak Betawi. Motif pada kebaya etnis Betawi juga banyak mengadopsi dari motif China, seperti bunga atau burung. 

Untuk pernikahan, perempuan etnis Betawi akan menggunakan pakaian dan aksesoris yang disebut “Rias Gede Dandanan Care None Penganten Cine”, terdiri dari roban tipis (penutup kepala), tuaki (baju bagian atas yang terbuat dari bahan yang gemerlap), kun (rok bagian bawah yang dibuat agak lebar), teratai Betawi, yaitu hiasan penutup dada bertahtakan emas yang dibuat mengelilingi leher dan berkancing di belakang dan disebut “delime” (delapan bentuk dirangkai menjadi satu sehingga menyerupai delima), serta alas kaki memakai selop bermanik-manik bernama Selop Kasut. 

Pengantin perempuan akan memakai konde berbentuk bulat seperti keong dengan tusuk konde berbentuk burung hong dan memakai Siangko atau penutup wajah. Pakaian pengantin perempuan etnis Betawi diadopsi dari pakaian China, merujuk pada pakaian pejabat dan istri pejabat masa Dinasti Qing yang berkuasa di China pada 1644–1911. Bentuk teratai merupakan representasi dari ketulusan dan kejujuran, sedangkan delima merupakan representasi dari harapan memiliki keturunan. Bentuk burung hong melambangkan keabadian, kebahagiaan, dan kesetiaan sehingga harapannya pernikahan tersebut abadi atau tidak terpisahkan, saling jujur, dan setia.

Pakaian selain sebagai budaya untuk identitas suatu etnis, juga merepresentasikan pandangan atau nilai-nilai yang dianut suatu etnis. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pakaian digunakan untuk membedakan satu etnis dengan etnis lainnya dan sebagai hasil dari perubahan hidup masyarakat di Hindia Belanda, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Pakaian suatu etnis kemudian dianggap tradisional, unik, dan eksotis sehingga ditampilkan untuk dipamerkan atau dipajang kepada masyarakat Eropa yang dianggap lebih modern.

Komunitas yang ada dalam masyarakat majemuk berinteraksi secara intens dalam konteks kepentingan ekonomi atau perdagangan dan politik di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Interaksi ini ternyata menurut Furnivall (1939) dalam buku Hubungan Antar-Suku Bangsa yang ditulis Parsudi Suparlan dan diterbitkan pada tahun 2004, tidak menyebabkan hilangnya budaya satu komunitas atau etnis yang ada di negara jajahan tersebut, malahan beradaptasi dan berakulturasi sehingga melahirkan budaya yang lain dari sebelumnya, seperti budaya Betawi. 

Budaya ini tidak hanya dipengaruhi satu pandangan atau nilai kepercayaan tertentu, tapi percampuran dari berbagai pandangan atau nilai kepercayaan yang ada di Batavia dan Jakarta. Budaya Betawi sebagai suatu budaya asli dengan nilai keberagaman yang tercermin dalam pakaian adatnya kemudian terlupakan oleh sebagian besar generasi muda Jakarta, baik yang berasal dari etnis Betawi ataupun yang bukan. Pada perkembangannya, justru cenderung menampilkan etnis Betawi identik dengan golongan kepercayaan tertentu.

 

_________

Sumber Referensi:

Achjadi, Judi Knight dan Asmoro Damais. 2005. Butterflies and Phoenixes, Chinese Inspirations in Indonesia Textile Arts. Jakarta: Mitra Museum Indonesia

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2018. Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 Buku Satu. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Liji, Prof.Liang. 2012. Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Depok: Masup Jakarta.

Sumarsono, Hartono, Helen Ishwara, L. R. Supriyanto Yahya, Xenia Moeis. 2017. Batik Betawi Koleksi Hartono Sumarsono. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Suparlan, Parsudi. 2004. Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

_________

Ditulis oleh Diyah Wara Restiyati (diyahrestiyati@gmail.com)

Editor: Editor: Wardani Pradnya Dewi & Tiya S.

Sumber gambar: Pemukiman di Batavia tahun 1910 (KITLV)

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Laskar Rempah Pelajari Pelestarian Tenun dan Pentingnya Pohon Cendana

26 Juni 2022

Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022, Menyusuri 6 Titik Pelayaran bersama KRI Dewaruci

19 April 2022

Sejarah Ambon dan Hitu, Jejak Jalur Rempah di Maluku

19 Oktober 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Sejarah Ambon dan Hitu, Jejak Jalur Rempah di Maluku

admin

19 Oktober 2020

...

Untold Story: Burung Cenderawasih dalam Perdagangan Rempah Masa Silam

Jeane Prisilia Pombaela

25 Oktober 2022

...

Kejayaan Komoditas Gula pada Masa Perdagangan Rempah

EKO SETYO NURKHAMDANI

11 Januari 2023