Rempah-rempah pernah menjadi daya tarik yang mampu mengubah sejarah dunia. Karena rempah, terjadi pelayaran niaga lintas dunia di mana kapal-kapal pelaut Arab, Cina, Eropa, dan bangsa lainnya untuk menelusuri Nusantara.
Singgih Tri Sulistiyono (dalam Zuhdi (ed.) 1996: 116-118) menyebut Tomé Pires, penjelajah Portugis, menuliskan bagaimana ramainya perdagangan di kawasan Asia pada paruh pertama abad ke-16. Berawal dari Malaka, ia menuju Lampung, Banten, dan kota-kota pelabuhan lainnya, salah satunya Cirebon. Pires menyebut Cirebon merupakan pelabuhan yang bagus dan ramai dengan banyak kapal berlabuh, di antaranya tiga atau empat jung dan beberapa lancana. Pada masanya, kapal jung dan lancana merupakan jenis kapal besar.
Saat itu, Cirebon sudah menjadi salah satu bandar niaga internasional yang menyalurkan komoditas rempah-rempah berupa lada dari pedalaman Jawa Barat menuju Eropa, melalui Malaka (Lombard, 2008). Cirebon dikelilingi wilayah geografis yang subur. J.A. van der Chijs dalam Inventaris van’ s Lands Archief te Batavia, 1602-1816, mencatat dalam Res.26/1211166 bahwa terdapat perkebunan lada di Sukapura (kini wilayah Kejaksan) (Leirissa dalam Zuhdi (ed.) 1996: 81).
Potensi
Hasil rempah-rempah ini mampu membuat Cirebon berniaga dengan daerah lain semisal dengan Tiku, Sumatra Barat. Dari Dagh-Register 28 Maret 1633, disebutkan bahwa di Tiku terdapat dua buah perahu dari Cirebon yang membawa lebih kurang 1000/5000 pikul lada. Pada tanggal 19 Desember 1633, diberitakan adanya kapal-kapal yang datang dari Cirebon ke Batavia membawa rempah-rempah asam, gula, dan beras. Dari Dagh-Register 5 Januari 1682, disebutkan pula penyerahan keuntungan penjualan rempah-rempah lada, beras, gula, minyak kelapa dari Cirebon ke Batavia (Tjandrasasmita dalam Zuhdi (ed.) 1996: 208-210).
Hal ini membuktikan bahwa rempah-rempah tidak hanya bersumber dari Indonesia bagian timur, tapi Cirebon (juga Lampung dan Banten) merupakan penghasil lada yang penting di Nusantara. Peran penting Cirebon juga disebut oleh Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java: “Tidak ada kapal-kapal yang dapat melewati Malaka menuju Siak, kecuali yang diberikan izin oleh VOC satu tahun sekali pada tiga kapal dari Batavia, dua dari pantai Jawa, dan satu dari Cheribon.”
Dengan potensi yang dimilikinya, VOC kemudian menguasai Cirebon melalui perjanjian 7 Januari 1681 dengan memonopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor rempah-rempah, seperti lada, kopi, serta kayu, gula, beras, dan produk lain tanpa pajak. (Sulistiyono dalam Zuhdi (ed.), 1996: 121).
Cirebon menjadi pusat “emas” Nusantara. Itu sebabnya pelabuhan Cirebon sempat diberi nama Pelabuhan Tanjung Mas oleh VOC. Sudjana (dalam Zuhdi (ed.), 1996: 190) catatan pemerintah Hindia Belanda dal van cheribon dan Gedeng Book van cheribon yang diterbitkan pada pendirian Bergemister van cheribon menyebut penamaan ini diberikan karena Cirebon mampu mengeluarkan produk rempah-rempah, kopi, dan gula pasir yang melimpah di pasar Eropa dengan kualitas baik. Cirebon menjadi pelabuhan utama yang mampu memberikan keuntungan besar bagi pemerintah Hindia Belanda untuk di Pulau Jawa, sesudah itu Surabaya dan baru Batavia.
Toponimi
Tidak hanya sebagai memori kolektif mengenai hasil alamnya, jejak rempah-rempah juga terdapat di toponimi kota. Penggunaan rempah-rempah dalam kehidupan masyarakat Cirebon sejak dulu membuktikan di balik nama suatu daerah, ada sejarah tentang pengetahuan lokal yang tersirat.
Seperti Kebon Kunir, fakta sejarah menyebut perkampungan di kawasan Kedung Jaya, Kedawung, ini memiliki pertalian historis dengan kunir. Sebagai jenis rempah-rempah, kunir atau kunyit (Curcuma longa) dalam dunia perdagangan masa lalu juga dibawa ke Belanda. Bersama kapulaga dan jahe, kunir termasuk dalam komoditas yang dipajaki guna mengisi kas VOC (Stockdale, 2017: 430). Selain digunakan untuk memasak atau sebagai komoditas di pasar, kunir juga dipakai untuk kepentingan upacara tradisi.
Berikutnya, Karangasem di Kecamatan Karangwareng. Nama Karangasem berasal dari kata karang (dari “pekarangan”) dan asem. Kawasan ini dulunya merupakan pekarangan yang ditumbuhi pohon asam. Pohon asem atau asam (Tamarindus indica) tercatat sebagai jenis rempah-rempah meski tidak sepopuler lada dan cengkeh (Satiadiredja, 1950: 138).
Lalu Jetis, yang menjadi identitas kampung di Kecamatan Talun, masih berhubungan dengan rempah-rempah. Kamus Bausastra Jawa susunan Poerwadarminta menyebut jethis sinonim dengan siyung sebagai untu lancip (antarane bam karo untu ngarêp); irah-irahan (perangan) ing bawang. Darinya, kita bisa menafsirkan bahwa daerah tersebut di masa lampau ditumbuhi bawang.
Tanaman bawang atau bawang putih (Allium sativum) sudah lama digunakan untuk urusan dapur dan pengobatan tradisional. Cirebon sendiri terkenal sebagai sentra produsen bawang hingga kini. Bawang putih juga digunakan sebagai bahan jamu atau pengobatan tradisional. Seperti mengobati sakit gigi, dimakan mentah menurunkan tekanan darah tinggi, pembuatan pupuk tapal untuk bayi, obat sakit perut (masuk angin), campuran minyak urut untuk keseleo, dan lainnya. Bawang putih juga dipercaya menangkal gangguan roh jahat. Bawang dibungkus bersama jarum atau peniti dibawa ibu hamil atau ditaruh dekat tempat tidurnya bayi. Dari aneka fungsi bawang bagi penduduk Cirebon dan dijumpai tanaman bawang putih yang berkualitas, toponim Jetis menjadi fakta hubungan sejarah yang sulit dibantah berkaitan rempah-rempah.
Rempah-rempah juga disebut dalam interaksi dengan Cina. Uka Tjandrasasmita (dalam Zuhdi (ed.) 1996: 201) menyebut bahwa:
“Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari diceritakan bahwa pada waktu itu, Muhara Jati didatangi kapal-kapal dari Cina di bawah pimpinan panglimanya yang bernama Wai Ping dan laksamananya Te Ho dengan pengikutnya yang tidak terbilang banyaknya. Mereka singgah di Pasambangan dalam perjalanannya ke Majapahit. Pada waktu itu, mereka mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Mereka dijamu oleh Ki Gedeng Jumajan Jati selama tujuh hari tujuh malam dan mercusuar yang telah selesai diberi imbalan oleh Juru Labuhan dukuh Pasambangan dengan garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, serta kayu jati.”
Te Ho yang dimaksud adalah Laksamana Cheng Ho, pemimpin misi muhibah Cina yang membawa misi unjuk kekuatan militer kaisar Chuti dari Dinasti Ming sebagai negara adidaya serta kaya. Interaksi ini menumbuhkan Kampung Pecinan, yang tidak hanya sebagai wilayah tinggal, tetapi juga menjadi faktor pendorong terjadinya pertemuan dan persilangan budaya karena rempah-rempah.
Batik
Selain pada kuliner, arsitektur, dan bahasa, akulturasi juga terjadi pada karya seni, khususnya batik. Seperti diketahui, motif batik khas Cirebon adalah motif awan-awanan atau megamendung. Pada dasarnya, motif ini mendapat pengaruh budaya Oriental dari Cina. Hal ini terlihat dari penggunaan motif baru serta kombinasi warna yang cenderung lebih cerah.
Prasetianingtyas (2011) menjelaskan bahwa pengaruh dari Cina tidak bisa lepas dari peranan Sunan Gunung Jati yang menikah dengan putri Cina bernama Ong Tien. Putri sangat menyukai kesenian sehingga motif-motif pada keramik yang dibawa dari Cina memengaruhi motif-motif batik Cirebon sehingga terjadi perpaduan antara kedua kebudayaan.
Selanjutnya dikatakan, megamendung memiliki warna gradasi dari biru tua sampai biru muda yang kadang mencapai sembilan sampai 11 nuansa. Warna biru tua menggambarkan awan gelap mengandung air hujan yang memberi penghidupan, sedangkan perubahan nuansa ke arah warna biru muda menggambarkan semakin cerahnya kehidupan.
Megamendung telah ada sejak sekitar abad ke-14 dan hanya digunakan oleh kalangan keraton. Seiring dengan perkembangan sekitar tahun 1980-an, megamendung dapat digunakan oleh berbagai kalangan. Warna megamendung kini lebih cenderung mengikuti selera konsumen sehingga warna motifnya lebih atraktif dengan menggunakan banyak warna yang cerah dan kontras. Motif ini juga mengalami perkembangan dengan kombinasi aneka ragam flora dan fauna.
Motif batik Cirebon pada dasarnya dapat digolongkan menjadi jenis wadasan, geometris, pangkaan, semarangan, dan jenis byur.
1. Wadasan
Jenis ini ditandai dengan adanya beberapa ornamen dan benda-benda yang bersumber dari keraton Cirebon sehingga disebut juga batik Keraton. Nama-nama motif yang termasuk jenisnya, di antaranya singa payung, naga saba, taman arum, megamendung, dan sebagainya.
2. Geometris
Jenis motif ini ditandai dengan lebih banyak garis. Nama-nama motifnya adalah tambal sewu, liris, kawung, lengko-lengko, dan sebagainya.
3. Pangkaan
Batik dengan motif pangkaan menampilkan pelukisan pohon atau rangkaian bunga-bungaan yang lengkap dengan ujung pangkalnya dan sering dilengkapi burung atau kupu-kupu. Nama-nama motif ini, di antaranya pring sedapur, kelapa setundun, soko cina, kembang terompet, dan sebagainya.
4. Semarangan
Motif ini menampilkan penataan secara ceplok-ceplok dengan ornamen yang sama atau motif ulang yang ditata agak renggang. Sebagian contoh motif ini adalah motif piring selampad dan kembang kantil.
Batik Cirebon motif kembang cengkeh (Sumber: Dokumentasi Penulis)
5. Byur
Motif jenis byur ditandai dengan penuhnya ornamen bunga-bungaan dan daun-daunan kecil yang mengelilingi ornamen pokok, sebagian contoh motif ini adalah karang jahe, mawar sepasang, dara tarung, banyak angrum, dan sebagainya (www.sanggarbatikkatura.com). Karang jahe menjadi contoh rempah-rempah (jahe) yang menjadi sumber ide kreatif batik Cirebon.
Batik Cirebon motif byur karang jahe (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Persentuhan kreatif lainnya terwujud dalam isen motif batik, yaitu hiasan berupa titik-titik, garis-garis, gabungan antara titik dan garis, yang fungsinya sebagai penambah keindahan dari suatu kain batik dan untuk mengisi ornamen-ornamen dari motif. Isen kembang cengkeh dan jaen (jahe) membuktikan rempah-rempah sebagai sumber ide kreatif lainnya.
Persentuhan kreatif antara rempah-rempah terwujud dalam penggunaan warna bagi kain, dalam hal ini dengan menggunakan warna alam. Selain warna sintetis, warna alam yang digunakan adalah warna yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di sekitar kita, yang diambil dari akar, batang, kulit, daun, dan bunga. Di antaranya:
Zat Warna Alam
Nama Tumbuhan |
Penghasil Warna |
Jenis Warna |
Pohon Nila |
Daun |
Biru |
Mengkudu |
Kulit akar |
Merah Merah cokelat |
Kunir/Kunyit |
Bubuk, akar mentah |
Kuning |
Secang |
Kayu |
Merah |
Pohon Soga Tingi |
Kulit |
Merah |
Pohon Soga Tenggeran |
Kayu |
Kuning |
Pohon Soga |
Kulit Jambal |
Merah Cokelat |
Pohon Soga Jawa |
Kayu |
Merah |
Pohon Soga Kenet |
Kulit |
Merah |
Pohon Soga Tekik |
Kulit |
Cokelat |
Terlihat pewarna berbahan alami sejenis rempah, yaitu kunir/kunyit, kayu secang, dan soga yang menghasilkan warna-warna khas dari batik Cirebon.
Hal ini membuktikan bahwa rempah-rempah tidak hanya mewujud sebagai komoditas perdagangan, tetapi menjadi suatu penanda kebudayaan. Tidak hanya sebagai rute ataupun jalur yang meninggalkan jejak, tetapi juga menyusun tinggalan budaya dalam berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari sandang, pangan, arsitektural, bahasa, hingga kesenian.
Cirebon kini tidak hanya sebuah kota perbatasan dua provinsi. Cirebon harusnya bisa dibaca sebagai sebuah aset penting bangsa, terutama dalam menyusun strategi kebudayaan bagi revitalisasi dan rekontekstualisasi Jalur Rempah.
_______
Daftar Pustaka
Leirissa, RZ. 1996. “Cirebon Dalam Arsip VOC” dalam Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah. (Susanto Zuhdi (Ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Poerwadarminta. 1939. Bausastra Jawa. Batavia: Groningen
Prasetianingtyas. 2011. “Perkembangan Warna dan Warna Batik Mega Mendung di Kawasan Sentra Batik Trusmi Cirebon Jawa Barat”. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Seni Kerajinan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
Raffles, Thomas Stamford. 2017. The History Of Java. Yogyakarta: Narasi
Satiadiredja, Soeparma. 1950. Tjara Menanam dan Mempergunakan Sajuran Indonesia dan Rempah-Rempah. Djakarta: J.B.Wolter
Stockdale, John Joseph. 2017. The Island Of Java: Sejarah Tanah Jawa. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi
Sudjana, T.D. 1996. “Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang” dalam Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah. (Susanto Zuhdi (Ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
Sulistiyono, Singgih Tri. 1996. “Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX” dalam Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah. (Susanto Zuhdi (Ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
Tjandrasasmita, Uka. 1996. “Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia” dalam Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah. (Susanto Zuhdi (Ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
www.sanggarbatikkatura.com, diakses pada 4 September 2021 www.uzbatik.com/blog/5-ciri-khas-motif-batik-cirebon/, diakses pada 4 September 2021
_______
Naskah ini merupakan karya pemenang kedua dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021 kategori Pelajar. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini.
_______
Penulis: Wulan Siti Purnamasari
Editor: Tiya S.
Sumber gambar: Pemerintah Kabupaten Cirebon (cirebonkab.go.id)