Artikel

Jejak Jalur Rempah dalam Sepotong Rendang Daging

Muhammad Zukri Arsyad| 10 Maret 2023

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan kuliner yang tersebar di setiap sudut wilayahnya. Salah satunya adalah rendang dari Sumatra Barat yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia saja, tetapi juga oleh warga dunia. Pada tahun 2011 hingga 2017, masakan tradisional yang berasal dari Minangkabau ini terpilih sebagai makanan terlezat nomor satu di dunia berdasarkan pilihan pembaca dalam survei yang dilakukan oleh Cable News Network (CNN). Rendang sendiri adalah masakan berbahan dasar daging kerbau yang merupakan hewan penting dalam kebudayaan Sumatra Barat dengan berbagai macam campuran bumbu yang sudah dihaluskan, seperti jahe, kunyit, lengkuas, cabai, bawang, dan rempah lainnya. Masakan tradisional ini juga menggunakan santan sebagai pengental dan dimasak dalam waktu yang cukup lama.

Dalam sebuah acara pameran kuliner Village International de la Gastronomie (VIG) yang diadakan oleh pemerintah Prancis pada tahun 2017, rendang menjadi primadona para pengunjung yang datang. Menurut mereka, dari berbagai macam jenis masakan asal Indonesia yang ada di pameran tersebut, rendang adalah hidangan yang paling dinikmati. Bercermin dari hal tersebut, dapat kita ketahui betapa baiknya reputasi rendang di mata dunia. Namun, di luar itu semua, tahukah kalian sejarah asal muasal rendang ini? Apa hubungan rendang dengan budaya yang ada di Minangkabau? 

Bagi masyarakat Sumatra Barat, rendang sudah menjadi bagian dari kehidupan kuliner mereka sejak zaman nenek moyang terdahulu. Sayangnya, tidak diketahui kapan tepatnya rendang pertama kali dibuat karena kurangnya penemuan bukti tertulis yang menjelaskan tentang hal tersebut. Hingga saat ini, para peneliti menduga bahwa rendang muncul sejak masyarakat Minang mengadakan acara adat mereka untuk pertama kalinya, di mana pada saat acara adat ini berlangsung, mereka menyajikan rendang sebagai jamuan untuk para tamu yang hadir. 

Salah satu literatur yang membahas tentang rendang sebagai masakan tradisional dari Minangkabau ditemukan pada awal abad ke-19. Namun, menurut Gusti Anan, seorang sejarawan dari Universitas Andalas, rendang sudah muncul sejak abad ke-16. Kesimpulan ini didapatinya berdasarkan catatan yang ditemukan pada awal abad ke-19 tersebut yang menjelaskan bahwa dahulu masyarakat Minang sering merantau menuju Selat Malaka hingga ke Singapura. Perjalanan panjang tersebut mereka tempuh melalui jalur air selama kurang lebih satu bulan perjalanan. Tidak adanya perkampungan di sepanjang jalur perjalanan dan jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui membuat para perantau ini menyiapkan bekal makanan yang dapat bertahan untuk waktu yang lama, dan makanan yang cocok untuk kondisi tersebut adalah rendang. Selain itu, Gusti Anan menduga bahwa pembukaan kampung baru pada abad ke-16 di wilayah pantai timur Sumatra hingga Singapura, Malaka, dan Malaysia oleh masyarakat Minang juga sudah memanfaatkan rendang sebagai bekal makanan mereka karena lamanya waktu perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai tempat-tempat tersebut. Kebiasaan membawa bekal makanan inilah yang membuat rendang mulai dikenal oleh orang-orang di luar wilayah Sumatra Barat dan semakin dikenal karena rasa rempahnya yang khas. Selain dari literatur sejarah yang ditemukan pada awal abad ke-19, sejarah rendang dari Minang juga tertulis dalam catatan seorang penulis kuliner dan sastra yang bernama Kolonel Stuers pada tahun 1827. Dalam catatan tersebut, tertulis istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan. Istilah tersebut kemudian diduga mengarah pada rendang. Menurut Gusti Anan, hal ini merupakan salah satu metode pengawetan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Minang untuk memperpanjang masa simpan makanan. Rendang sendiri berasal dari kata marandang yang dalam bahasa Minang berarti memasak santan kelapa hingga mengering secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama sampai berwarna cokelat kehitaman seperti warna makanan yang hangus. 

Berbicara tentang sejarah rendang juga tidak dapat kita lepaskan dari orang-orang India yang mulai datang dan tinggal di daerah Minang pada awal abad ke-14 untuk melakukan kontrak perdagangan. Kedatangan pedagang India di tanah Minang inilah yang menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, termasuk pengenalan bumbu dan rempah-rempah yang digunakan dalam memasak. Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa masakan kari yang merupakan makanan khas India merupakan asal muasal dari pembuatan rendang. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan santan kelapa atau karambia dalam bahasa Minang sebagai pengental rendang sama dengan India yang menggunakan santan kelapa sebagai pengental dalam pembuatan masakan karinya. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya pernyataan dari ahli waris Kerajaan Pagaruyung yang mengatakan adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan masakan kari yang diproses lebih lanjut sehingga memiliki sifat yang lebih kering dan tahan lama dibandingkan kari yang masih berkuah. 

Bagi masyarakat Minang, rendang bukan hanya sebuah masakan saja, tetapi juga sebagai identitas mereka sebagai orang Minang itu sendiri. Bagi mereka, rendang merupakan kebanggaan dan makanan terhormat karena biasanya disajikan dalam acara-acara adat yang sakral, seperti upacara penobatan datuk, pernikahan, makan bajamba, dan acara adat lainnya. Namun, satu hal yang unik di sini adalah jenis rendang yang disajikan dalam berbagai acara adat akan berbeda-beda, disesuaikan dengan fungsinya. Rendang untuk acara batagak pangulu (datuak) akan berbeda dengan rendang untuk acara sunatan dan atau rendang untuk acara manjalang bako akan berbeda dengan rendang untuk pesta biasa.

Menurut ilmu gastronomi, rendang merupakan manifestasi dari filosofi masyarakat Minangkabau, yaitu kesabaran, kebijaksanaan, dan ketekunan. Hal ini digambarkan dari proses memasak rendang yang lama tersebut membutuhkan kesabaran, ketekunan dalam mengaduk rendang hingga santan mengering, dan kebijaksanaan dalam mengatur api pada saat proses memasak rendang berlangsung. Selain itu, juga ada filosofi dari setiap bahan yang digunakan dalam pembuatan rendang, seperti daging kerbau yang melambangkan prosperity (kesejahteraan), rempah-rempah melambangkan enhancement (peningkatan), santan kelapa melambangkan integrity (persatuan), dan cabai merah melambangkan good lesson (pelajaran baik). Menurut masyarakat Minang, rendang memiliki filosofi yang lebih mendalam, seperti daging kerbau yang merupakan bahan utama melambangkan orang yang dituakan atau niniak mamak dan bundo kanduang dalam bahasa Minang yang akan memberikan pemahaman baik dan kemakmuran bagi generasi-generasi berikutnya. Selanjutnya, ada karambia (kelapa) yang melambangkan cadiak pandai (kaum intelektual) yang akan menjadi pemersatu antarkelompok ataupun individu dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Ketiga adalah lado (cabai) yang melambangkan alim ulama yang tegas dalam mensyiarkan agama dan memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat. Terakhir, bumbu dari rempah-rempah yang beragam jenisnya melambangkan persatuan setiap individu yang tinggal di Minangkabau yang memiliki perannya masing-masing untuk memajukan kehidupan sosial masyarakat.

Penyebaran pertama rendang di Sumatra Barat berawal dari tiga daerah yang dikenal dengan nama Luhak nan Tigo (tiga pegunungan), yaitu Luhak Agam, Luhak Limo Puluah, dan Luhak Tanah Data. Dari ketiga daerah inilah kemudian rendang menyebar semakin cepat ke daerah-daerah lainnya di Sumatra Barat. Rendang memiliki berbagai macam variasi yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan dan keadaan lingkungan masing-masing daerah. Berdasarkan data sementara dari Nusantara Marandang, hingga saat ini terdapat sekitar 400 jenis rendang yang tersebar di Sumatra Barat. Hal ini dikarenakan masing-masing wilayah, nagari, suku, jorong, kabupaten, ataupun kota memiliki rendang dengan ciri khasnya masing-masing. Beberapa contohnya adalah randang lokan (rendang kerang) dari Painan atau Pariaman, randang itik (rendang bebek), dan randang jariang (rendang jengkol) dari Bukittinggi, randang sapuluik itam (nasi ketan putih) dari Payakumbuh, dan randang pensi (rendang kerang) dari wilayah Maninjau. 

Meskipun memiliki jenis yang sangat beragam, rendang dari Sumatra Barat tetap memiliki kesamaan dalam proses memasak dan alat yang digunakan, seperti batu lado (batu penggiling) untuk menghaluskan rempah-rempah, kacik untuk memeras santan kelapa, dan kancah (wajan besar) untuk memasak rendang. Cara paling umum untuk memasak rendang adalah dengan menumis semua bumbu hingga harum, kemudian masukkan daging, tambahkan air, dan masak hingga volume air sedikit menyusut. Selanjutnya, masukkan santan, gula, dan garam lalu diaduk secara perlahan hingga santan mengental dan mengering kurang lebih selama 5 sampai 7 jam dengan api kecil. Rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan rendang adalah lengkuas, jahe, kunyit, merica, serai, cabai, bawang merah, bawang putih, adas bintang, asam kandis, daun jeruk, daun salam, dan daun kunyit. Perpaduan dari berbagai macam jenis rempah yang memiliki rasa khas berbeda-beda ini menghasilkan sebuah masakan yang sangat luar biasa dan dikenal di seluruh dunia. 

 

__________

Sumber Referensi: 

Nurmufida, Muthia, et al. Rendang: The Treasure of Minangkabau. Journal of Ethnic Foods. 2017.

__________

Ditulis oleh Muhammad Zukri Arsyad, Laskar Rempah Jambi, zukriarsyad12092001@gmail.com

Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Ikarahma/Freepik

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Malam Puncak Festival Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia

30 Oktober 2021

Kekayaan Rimpang-rimpangan di Kota Salatiga sebagai Warisan Rempah Nusantara dan Pemanfaatannya Selama Pandemi Covid-19

29 Desember 2022

Produk Perawatan Kulit Glowing dengan Bahan Alami Rempah Nusantara

1 April 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Produk Perawatan Kulit Glowing dengan Bahan Alami Rempah Nusantara

admin

1 April 2022

...

Base Genep: Mencecap Sepiring Filosofi Rempah di Bali

admin

29 Juli 2021

...

Jejak Perdagangan Lada di Sungai-Sungai Palembang di Masa Lalu

Nanda Julian Utama

31 Maret 2023