Artikel

Merayakan Sejarah Jalur Rempah di Balik Hidangan Lebaran

admin| 10 Januari 2022

Tidak sulit untuk menyetujui bahwa hidangan-hidangan lebaran seperti rendang, opor, gulai, dan kari berasal dari Arab atau India. Jika masakan Arab dan India seperti tharid dan korma disandingkan jajar-berjajar dengan piring-piring berisi rendang dan gulai, kita mungkin akan kesulitan membedakannya tanpa mencicipi. Namun, aspek kemiripan saja tidak cukup untuk menduga hidangan Lebaran di Indonesia berasal dari sebelah barat Samudra Hindia adalah valid, tanpa perlawanan. 

Ada banyak sekali pertanyaan yang bisa dengan mudah menepis dugaan tersebut. Misalnya, dari semua pengaruh asing yang pernah diterima orang-orang di kepulauan Indonesia, mengapa harus hidangan dari Arab dan India, yang jumlah populasinya di sini sangat terbatas, yang menjadi hidangan di hari rayanya sebagian besar orang Indonesia? Kemiripan meja kita ketika lebaran dengan meja-meja makan di Mumbai dan Baghdad memang tidak diragukan, tapi kalau pun asalnya dari sana, bagaimana prosesnya hidangan-hidangan tersebut bisa sampai ke sini? Terakhir, yang juga tidak kalah penting, menurut Anthony Reid orang Asia Tenggara itu sumber protein utamanya ikan, jadi kenapa kita bisa berlomba-lomba membeli daging menjelang lebaran hingga kenaikan harga barang ini selalu terjadi? 

Tulisan ini melihat hidangan-hidangan lebaran sebagai potongan yang tersisa dari memori kolektif kita tentang periode makmur perdagangan maritim Jalur Rempah di abad ke-15 dan 16. Seiring dengan berjalannya waktu, ceritanya terkikis jadi hanya tinggal resep masakannya yang tersisa. Rendang, opor, dan gulai yang biasa disajikan di hari Lebaran adalah tanda bahwa kari-karian ini, terutama yang berbahan dasar daging, adalah hidangan yang istimewa di Indonesia karena ia berasal dari periode makmur yang membawa banyak perubahan mendasar yang tidak tergoyahkan sampai saat ini. 

Kenang-kenangan dari Periode Makmur

Jalur rempah tidak hanya menuntun orang Eropa untuk menguasai lahan-lahan subur di Asia, tetapi juga pernah menjadi berkah yang memakmurkan bagi orang-orang Asia. Sejak abad ke-10 hingga sekitar abad ke-18, bagian maritim Jalur Rempah di Samudera Hindia dihidupkan oleh jaringan perdagangan pedagang muslim yang erat dan memakmurkan. Saking makmurnya, oleh Jack Goldstone (2009: 4) wilayah ini disebut pusat dunia saat itu.

Hidangan lebaran seperti opor, kari, rendang, dan gulai termasuk dalam jenis yang dikenal sebagai kari yang menurut Kirti N. Chaudhuri (1990: 173-174) merupakan hidangan khas di bekas kota-kota dagang dan Kerajaan Muslim di jalur ini. Kontak erat antar masyarakatnya berpotensi menciptakan selera atas makanan yang mirip. Kari adalah hidangan berkuah kental yang cara membuatnya dimulai dengan menumis bumbu rempah, memasukkan daging ke dalamnya sehingga ia sedikit tergoreng dengan bumbu, lalu melarutkannya dengan banyak air dan pengental. Pengental ini bervariasi di setiap wilayah. Di Afrika biasanya ia merupakan bubuk chickpea, di India Utara dan di semenanjung Arabia biasanya susu atau yogurt, sementara itu di India Selatan dan Asia Tenggara biasanya berupa santan.

Masyarakat di Samudera Hindia bisa berkontak erat dalam hubungan perdagangan begitu lama karena memiliki kombinasi dua fasilitas pendukung yang tidak ada di tempat lain di dunia, yakni angin muson dan Islam. Angin muson sejak lama merupakan fasilitas alami pelayaran di Samudera Hindia. Sifatnya yang berulang setiap tahun membuat pelayar di Samudera Hindia bisa menggunakan tenaga angin ini untuk berangkat sekaligus pulang, dengan syarat mereka harus menyesuaikan siklus angin. Karena itu, biasanya mereka harus berdiam lama di suatu tempat, atau berdagang keliling ke banyak tempat menyesuaikan arah angin (Lombard, 2005: 32). Selain itu, angin muson juga membentuk hubungan dagang yang damai. Kontak erat selama berabad-abad membuat perdagangan tidak didasari semangat saling menguasai, tapi saling ketergantungan (Lombard, 2005: 5). Tiap wilayah memiliki komoditi andalannya sendiri seperti cengkeh dan pala dari Maluku, lada dari India, Aceh, Banjarmasin dan Banten, beras dari Jawa, Sulawesi, dan Siam, katun dari India, kayumanis dari Srilanka, dan porselen dari Tiongkok. 

Perdagangan maritim dengan bantuan angin muson sudah ada sejak lama, tapi semakin semarak sejak adanya pengaruh Islam. Islam sangat suportif terhadap perdagangan jika dibanding dengan agama-agama sebelumnya (Risso, 1995:5). Dalam ajaran Hindu dan Kristen, pedagang dan pemuka agama adalah kelompok yang terpisah, bahkan saling bertolak belakang kepentingannya. Jika pedagang cenderung menghormati atau bahkan tidak segan untuk merendah di hadapan orang asing demi kelancaran bisnis, pemuka agama cenderung melihat orang asing sebelah mata. Ketika bertemu orang asing, yang menjadi motif utama pemuka agama adalah menjadikan mereka pengikut agamanya. Padahal ini rentan menyinggung harga diri calon rekan bisnis. Sebaliknya, dalam Islam tidak ada pemisah berarti antara golongan pedagang dan pemuka agama. 

Pada kasus di Samudera Hindia abad-abad modern awal (abad ke-15 sampai 18), seorang pedagang muslim seringkali merupakan pemuka agama sekaligus cendekiawan. Bahkan pemimpin besar kaum muslim, Muhammad juga merupakan pedagang (Czarra, 2009: 40). Pendirian kota-kota dagang di pantai Utara Jawa pada abad ke-15 dan 16 juga diinisiasi oleh tokoh-tokoh yang sekaligus merupakan pedagang dan pemuka agama (Ricklefs, 2001 : 80-95). 

Peran pedagang Islam sangat penting dalam hal pertukaran budaya boga maupun kreasi budaya baru, seperti dalam kasus kari. Periode modern awal ini adalah periode ketika pedagang di Samudra Hindia memiliki privilese luar biasa. Menurut Engseng Ho (2006: 100), Samudera Hindia adalah ruang transcultural yang di dalamnya negara-negara muslim kuat saling berkomunikasi dengan baik, sehingga orang Islam secara umum bisa pesiar dan mencari nafkah di dalamnya dengan bebas dan aman. Iklim inilah yang menjadi wadah subur bagi kari untuk tumbuh. 

Menurut Elizabeth Collingham (2006: 27), kari lahir di bagian utara India pada sekitar abad ke-11. Waktu itu, penguasa kesultanan Mughal yang berdarah Persia-Mongolia membawa kecintaannya terhadap kuliner nenek moyangnya ke anak benua India. Kari lahir dari percampuran antara rebusan daging dan susu dari utara dan rempah-rempah pedas dari selatan. 

Teori Collingham adalah kasus khusus di India, tapi kari juga sebetulnya sedang tumbuh di area yang lebih luas. Di semenanjung Arabia, terdapat pula masakan yang mirip rebusan daging Persia bernama hawamid. Hawamid adalah sebuah golongan dalam masakan Arab abad pertengahan yang bisa diartikan sebagai rebusan masam (sour stew). Mereka membuatnya dengan merebus daging dan sayuran ke dalam larutan kental yogurt atau susu (Lewicka, 2011: 191). Pada jenis hawamid tertentu, seperti tharid, yang merupakan makanan favorit Nabi Muhammad, biasanya digunakan sedikit kayumanis. Setelah ledakan ekonomi dinasti Abbasiyah pada abad ke-9, terutama di pusat kebudayaan Muslim waktu itu di Baghdad, ditemukan bukti-bukti tentang modifikasi resep tharid yang mengandung lebih banyak rempah (Fredman, 2007: 139-149). 

Pada saat yang sama di ujung timur Samudera Hindia, orang-orangnya terbiasa makan-makanan pedas tapi tidak biasa makan daging, terutama daging ruminansia atau daging merah. Menurut Anthony Reid (2014: 37), sumber protein masyarakat Asia Tenggara adalah ikan. Di Asia Tenggara, air ada di mana-mana sehingga ikan sangat mudah didapat. Sementara itu, daging merah atau unggas harus didapatkan dengan cara berburu di hutan. Penggembalaan yang memungkinkan melimpahnya ketersediaan daging seperti di kawasan Arabia, di Asia Tengah, dan di Eropa, tidak bisa dilakukan karena Asia Tenggara tidak memiliki padang rumput luas. Karena sulitnya mendapatkan daging, orang Asia Tenggara sangat mengistimewakan daging dan memakannya hanya pada saat-saat perayaan (Reid, 2014: 38). 

Ketika beberapa bagian dari wilayah ini, terutama kedua sisi Selat Malaka mulai masuk ke dalam jejaring pedagang Muslim dan menganut Islam pada abad ke-13, mereka mulai mengembangkan versi kari mereka sendiri yang menggunakan bahan baku berupa daging merah. Bukti paling awal tentang rendang ditemukan dari Hikayat Amir Hamzah dari abad ke-16 (Hanifah, 2017). Pada abad ke-18, seorang pelancong Inggris bernama William Marsden (1811: 62) menceritakan bahwa kari sudah merupakan jenis masakan yang umum di Sumatera. 

Menariknya, kari ini tidak hanya disajikan di hari-hari istimewa meski dibuat dari daging. Rendang, misalnya, adalah menu sehari-hari para pedagang. Teknik memasaknya yang dikeringkan membuatnya tahan lama sehingga cocok dijadikan bekal berlayar. Pertumbuhan aktivitas perdagangan telah memancing pertumbuhan kota-kota yang memunculkan usaha-usaha baru seperti peternakan (Reid, 2014: 40). Dengan ini, pertumbuhan perdagangan di Samudera Hindia terlihat jelas memakmurkan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Para pedagang Arab dibuat dapat mengkonsumsi lebih banyak rempah dan orang Sumatera jadi terbiasa memakan daging karena mereka lebih terhubung dan lebih kaya daripada sebelumnya. 

Kari, maju menjadi tren di antara semua budaya boga yang ada di lanskap multikultur Samudera Hindia karena ia merupakan budaya dari pusat-pusat dagang muslim awal, yakni Arab dan India. Pedagang Arab telah berlayar ke penjuru Samudera Hindia sejak pengaruh Islam belum kuat. Pada abad ke-9, banyak pedagang Arab telah ditemukan di Kanton (Lombard, 2005: 23). Pada abad ke-11, India yang telah dikuasai Mughal turut jadi kekuatan ekonomi dan politik muslim berpengaruh di Samudera Hindia. Sementara itu, pusat-pusat dagang di Afrika, Teluk Bengal, dan Asia Tenggara muncul setelah abad ke-13 (Ho, 2006: 100). Ketika orang-orang ini mulai masuk ke dalam komunitas pedagang muslim Samudera Hindia, terjadi yang dinamakan Felipe Fernandez-Ernesto (2002: 138) sebagai cultural magnetism. Para pendatang baru melihat budaya para pendahulunya sebagai hal yang superior dan mulai mereplikasinya.

Bertahan Melalui Periode Sulit

Kemakmuran yang pernah dirasakan kepulauan Indonesia pada abad ke-15 dan 16 hampir tidak pernah terulang untuk seluruh wilayah sampai saat ini. Tingkat kemakmuran yang sama juga belum bisa terulang untuk banyak bekas pusat dagang di Samudera Hindia. Tragisnya, mayoritas negara pusat dagang masa lalu ini justru menjadi bagian negara dunia ketiga dalam sudut pandang orientalis barat. Kesulitan di tempat-tempat yang pernah menjadi pusat ekonomi dunia ini disebabkan oleh gangguan-gangguan dari kongsi-kongsi dagang Eropa, hingga kolonialisme di abad ke-19 dan 20. Meskipun begitu, kari membuktikan diri sebagai warisan budaya yang kokoh, karena mampu bertahan hingga saat ini.

Hubungan perdagangan yang menguntungkan berakhir pada abad ke-17 di kepulauan Indonesia (Reid, 2015: 312-313). Pada abad ke-17, VOC memulai monopoli rempah dan melanjutkannya dengan penghancuran sistematis terhadap jejaring perdagangan yang tersisa untuk mengamankan monopolinya. Rempah adalah komoditas penggerak perdagangan Samudera Hindia. Meski juga terdapat berbagai komoditi lainnya, rempah-rempah adalah komoditi paling berharga. Di balik harga cengkeh atau pala yang naik berkali-kali lipat dari tempat asalnya di Maluku menuju tempat mereka dikonsumsi, terdapat hingga ribuan pedagang perantara yang diuntungkan. Monopoli VOC memotong habis rantai perantara ini agar seluruh keuntungan dari perbedaan harga beli di Maluku dan harga jual di Eropa hanya menjadi milik mereka. 

Untuk mengamankan monopolinya, VOC menaklukkan Sunda Kelapa, Malaka, Makassar, dan Banten pada abad ke-17 lalu semua kota-kota pantai di sepanjang Pantai Utara Jawa pada abad ke-18. Sejak tahun 1677, VOC juga melarang pedagang asing selain pedagang Tionghoa untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan yang telah dikuasainya (Nagtegaal, 1996: 48). Benang emas jejaring perdagangan Samudera Hindia akhirnya lenyap sama sekali.

Agresi-agresi kongsi dagang Eropa berkembang menjadi kolonialisme resmi pada abad ke-19. Berbeda dengan masa VOC, Belanda sebagai negara induk kini mengeklaim memiliki landasan hukum untuk melakukan ekstraksi secara sistematis. Masa kolonial adalah masa ketika Indonesia dijadikan pelampung tempat Belanda berpijak agar tidak tenggelam. Selama kekuasaan kolonial terjadi eksploitasi besar-besaran yang membawa perubahan-perubahan drastis pada alam dan demografi kepulauan Indonesia.

Dampak paling berpengaruh dalam hal perkembangan boga di Nusantara yang terjadi selama masa kolonial menurut saya adalah pertumbuhan penduduk. Menurut Jan Breman (via Boomgaard, 1989: 1-2), kecepatan pertumbuhan penduduk selama abad ke-19 di kepulauan Indonesia adalah 1,6%. Angka tersebut jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 0,5% dan Asia yang hanya 0,4%. Pertumbuhan penduduk menurut Clifford Geertz (1983) disebabkan oleh meningkatnya beban kerja penduduk pribumi oleh eksploitasi kerja dari pemerintah kolonial. Karena harus bekerja dua kali lipat tanpa kompensasi yang pantas, orang-orang ini memiliki banyak anak untuk meringankan pekerjaan mereka. Karena didasari untuk mengompensasi beban kerja tanpa pertumbuhan pendapatan, dengan cepat jumlah penduduk melampaui ketersediaan pangan. Inilah mengapa pada sepanjang abad ke-19 terjadi banyak bencana kelaparan dan wabah penyakit. Pemerintah kolonial kemudian bertanggung jawab dengan menggalakkan budidaya sumber karbohidrat tambahan seperti singkong, tapi tidak dengan sumber protein dan vitamin (Boomgaard, 2003: 585). Dari masa kolonial memang ditemukan bukti-bukti bahwa konsumsi daging sapi meningkat, tetapi alasan dibalik itu tentu adalah meningkatnya populasi Eropa di kepulauan Indonesia (Rahman, 2016: 77). 

Periode kolonial adalah periode runtuhnya keseimbangan gizi masyarakat pribumi. Dari sumber-sumber sejarah yang dikumpulkan oleh Anthony Reid (2014: 55), orang Jawa dan Asia Tenggara pada umumnya ada pada kondisi gizi yang sangat baik pada abad ke-15 hingga 17. Tinggi badan mereka waktu itu bahkan sama dengan orang Eropa. Keadaan ini tidak serta merta runtuh pada masa VOC. Meski menghancurkan ekonomi di banyak tempat, destruksi yang dibawa VOC belum cukup untuk menghancurkan keseimbangan gizi, kecuali di tempat di mana mereka bertindak seabsolut sebuah negara, seperti di Pantai Utara Jawa. Di dalam laporan pelancong seperti Thomas S. Raffles, John Crawfurd, W. H. van Ijsseldijk, dan M. Waterloo, Yogyakarta yang tidak dikuasai VOC digambarkan makmur dan anti kelaparan di awal abad ke-19 (Carey, 1986: 65-67). Mereka bagaimanapun sangat menggarisbawahi bagaimana nasib orang-orang Jawa di bawah kesultanan ini berbeda dengan tetangganya di wilayah VOC yang harus menanggung beban ekstraksi berat. Karena kekuasaan negara kolonial jauh lebih merata dibanding VOC, kita bisa membayangkan situasi menyedihkan di Pantai Utara Jawa meluas ke seluruh Hindia Belanda. 

Pada masa sulit ini, kari dipreservasi oleh institusi kebudayaan warisan masa puncak perdagangan Samudera Hindia, yakni kerajaan-kerajaan Islam dan perayaan Islam. Meski kerajaan Islam telah kehilangan fungsi politik dan ekonominya, mereka tetap menjalankan fungsi budaya. Jadi, meski tingkat kesejahteraan yang menurun membuat kari tidak lagi dikonsumsi secara luas, ia tetap lestari di dapur-dapur kerajaan. Misalnya, ikan masak kering kayu yang dulunya adalah bekal melaut seperti rendang belakangan menjadi masakan istimewa di kesultanan Ternate (Tajudin dkk., 2015: 14). Di masyarakat luas, fungsi kari yang tadinya merupakan makanan sehari-hari beralih menjadi makanan istimewa yang hanya disajikan di perayaan seperti Idulfitri, akikah, dan pernikahan. Gulai korma di Sumatera Barat yang sangat mirip dengan korma di India misalnya, spesifik disajikan untuk akikah (Tajudin dkk., 2015: 56). Runtuhnya perdagangan Samudera Hindia meruntuhkan pula masyarakat pantai yang didominasi kelas pedagang yang menjadi konsumen utama kari. Negara pelabuhan Muslim penting seperti Aceh, Banjarmasin, dan Banten sama-sama berubah orientasi ke dalam untuk mengembangkan tanaman pangan ketika perdagangannya mulai diusik oleh monopoli VOC (Reid, 2015: 347-348). Akhirnya kari teradaptasi ke dalam budaya lama Asia Tenggara yakni mengonsumsi daging pada hari istimewa. Penafsiran masyarakat Indonesia terhadap hidangan istimewa dari masa pra-Islam yang hanya sekedar daging tanpa peduli cara memasaknya berubah lebih spesifik menjadi daging yang dimasak kari. Masyarakat ini menganggap kari dari abad perdagangan Samudera Hindia istimewa, karena mereka tetap merupakan pemeluk Islam dan tetap menghormati kerajaan lokalnya.  

Bertahannya Islam didukung oleh gaya penjajahan Belanda yang tidak terlalu ikut campur dalam urusan budaya dan agama, tidak seperti Spanyol dan Portugis. Agama katolik punya basis kuat dan menjadi mayoritas di Filipina karena pengaruh Spanyol. Portugis pun, di wilayah taklukannya cenderung untuk membaur dengan masyarakat. Bahkan, komunitas Tugu yang diboyong Belanda dari wilayah-wilayah jajahan Portugis ketika ditempatkan di Batavia menjadi kelompok masyarakat yang menonjol dan berbeda secara budaya sampai sekarang. Sementara itu, dalam kasus penjajahan Belanda, hanya segelintir orang yang terpengaruh budaya Belanda (Lombard, 2008: 94-127). Islam tetap menjadi mayoritas agama orang Indonesia sejak masa perdagangan Samudera Hindia sampai sekarang. 

Kari-karian baru keluar dan dikenal masyarakat Indonesia dari situs preservasinya di dapur-dapur kerajaan, maupun resep-resep istimewa di kalangan keluarga di Sumatera, beberapa dekade belakangan. Sumber-sumber sejarah kuliner sangat jarang dan tidak berkesinambungan untuk bisa disusun menjadi riwayat lengkap sebagai kronik dari waktu ke waktu. Kendatipun demikian, sepertinya sampai abad ke-20 kari-karian masih menjadi makanan yang umumnya ditemukan di Sumatera daripada di wilayah lain. Perkembangan jenis kari-karian seperti opor, rendang, dan gulai menjadi hidangan Lebaran yang sifatnya nasional terjadi pada masa kemerdekaan. Setelah Indonesia terbentuk sebagai negara dan ekonomi membaik, perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain di secara nasional menjadi semakin masif. Mereka terutama tersedot oleh pusat ekonomi seperti Jakarta sehingga di melting pot ini pula rendang, opor, dan gulai pertama-tama menjadi hidangan Lebaran nasional. 

Penutup

Melalui kari-karian yang disantap ketika Lebaran, kita bisa melihat bahwa Islam, agama paling berpengaruh di Indonesia, didapatkan dari keterlibatan aktif orang Indonesia dalam jejaring perdagangan Samudera Hindia. Budaya kuliner India-Arab ini menjadi tren di Samudera Hindia karena mereka merupakan para pedagang yang berpengaruh di tempat ini. Ikatan jaringan para pedagang Muslim ini juga diketahui begitu erat hingga membentuk dan tersebar di berbagai belahan dunia. 

Anggapan kari sebagai hidangan Sumatera yang menasional terjadi ketika Indonesia baru merdeka tentunya bisa dengan mudah ditepis. Terlebih bila dilihat dari sudut pandang global dengan menelusuri Jalur Rempah, kita akan mengerti bagaimana melalui kari, kita adalah bagian dari pusat dunia di abad ke-15-16. 


_______

Daftar Pustaka

Boomgaard, Peter. (1989). Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java,1795-1880. Amsterdam: Free University Press.

____. (2003) “In the Shadow of Rice: Roots and Tubers in Indonesian History, 1500-1950”. Agricultural History, Autumn, 2003, vol. 77, no. 4: 582-610.

Carey, Peter. (1986). “Waiting for the „Just King‟: The Agrarian World of South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java War (1825-1830).” Modern Asian Studies. Vol. 20, No. 1. p.59-137.

Chaudhuri, Kirti N. (1985). Trade and Civilisation in the Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750. Cambridge: University Press.

Collingham, Elizabeth M. (2006). Curry: A Tale of Cooks and Conquerors. New York: Oxford University Press.

Czara, Fred. (2009). Spices: A Global History. London: Reaktion Books.

Fernandez-Ernesto, Felipe. (2002). Near A Thousands Tables: A History of Food. New York: The Free Press.

Fredman, Paul. (ed.). (2007). Food: The History of Taste. London: Thames and Hudson.

Geertz, Clifford. (1983). Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Goldstone, Jack. (2009). Why Europe? The Rise of the West in World History, 1500-1850. New York: McGraw Hill.

Hanifah, Hana. (2017). Rendang, merantau, dan Minangkabau: relevansi masakan rendang dengan filosofi merantau Orang Minangkabau. Bandung: Bitread.

Ho, Engseng. (2006) The Graves of Tarim Genealogy and Mobility across the Indian Ocean. California World History Library 3. Berkeley: University of California Press.

Lewicka, Paulina B. (2011). Food and Foodways of Medieval Cairenes: Aspects of Life in an Islamic Metropolis of the Eastern Mediterranean. Leiden and Boston: Brill.

Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa: silang budaya : kajian sejarah terpadu. Bag. 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama : Forum Jakarta-Paris : École française d’Extrême-Orient EFEO.

_____. (2008). Nusa Jawa: silang budaya : kajian sejarah terpadu. Bag. 1: Batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama : Forum Jakarta-Paris : École française d’Extrême-Orient EFEO.

Marsden, William. (1986). The History of Sumatra. Singapore: Oxford University Press.

Nagtegaal, Luc. (1996). Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company and the Northeast Coast of Java 1680-1743. Leiden: KITLV Press.

Rahman, Fadly. (2016). Jejak rasa Nusantara: sejarah makanan Indonesia. Jakarta: Gramedia

Reid, Anthony. (2014) Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

_____. (2015). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ricklefs, M.C. (2001). Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Risso, Patricia. (1995). Merchants and Faith: Muslim Commerce and Culture in the Indian Ocean. Oxford: Westview Press.

Tajudin, Qaris, dkk. (ed.). (2015). Antropologi Kuliner Nusantara: Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. Seri Buku Tempo. Jakarta: KPG.

_______

Naskah ini merupakan karya pemenang kedua dalam Lomba Penulisan Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia 2021. Naskah telah melewati proses penyuntingan untuk kepentingan publikasi di laman ini.

_______

Yuanita Wahyu Pratiwi merupakan Peneliti sejarah. Asli Bekasi, Jawa Barat. Mahasiswi Colonial & Global History Leiden University

Editor: Doni Ahmadi

Sumber gambar: ismedhasibuan/depositphotos

Bagikan:

Artikel Populer

Jejak Perdagangan Lada di Sungai-Sungai Palembang di Masa Lalu

31 Maret 2023

Karaeng Pattingalloang: Tokoh Intelektual di Jalur Rempah Nusantara

31 Januari 2021

Jalur Rempah 2020: Puncak Acara Apresiasi Karya Budaya Rempah Nusantara

10 Desember 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Jalur Rempah 2020: Puncak Acara Apresiasi Karya Budaya Rempah Nusantara

admin

10 Desember 2020

...

Pelajaran Toleransi dari Batik Tiga Negeri

admin

28 Februari 2022

...

Jejak Jalur Rempah dalam Sepotong Rendang Daging

Muhammad Zukri Arsyad

10 Maret 2023