Artikel

Rempah, Cengkeh, dan Terbentuknya Kota Pelabuhan di Asia

admin| 7 Februari 2021

Membicarakan rempah Nusantara membawa kita dalam penjelajahan yang terbentang luas menuju waktu dan tempat yang jauh. Sejak awal abad masehi, rempah telah menjadi komoditi perdagangan hingga mencapai pasar Asia Tengah. Beragam kegunaannya seperti untuk pengobatan, makanan atau wewangian menyebabkan tingginya nilai dan harga rempah. 

Pada awalnya berbagai catatan pada pedagang Asia dari naskah-naskah klasik Tiongkok atau India menyebutkan rempah-rempah tersebut berasal dari negeri di Timur dengan penggambaran lokasi sulit ditelusuri, terutama disebabkan karena keterbatasan pengetahuan akan tempat asal rempah-rempah tersebut. Seiring dengan berkembangnya perdagangan jalur laut pasca abad ke-5, rute-rute pelayaran yang melewati kepulauan Nusantara seperti Sumatera dan Jawa semakin dikenal para pedagang ini.

Dalam catatan Tiongkok, cengkeh dan Maluku telah ditulis sekurangnya sejak masa dinasti Song 宋 (960-1279) dan Yuan 元 (1271-1368). Catatan Tiongkok ini menyebutkan cengkeh sebagai barang hadiah atau komoditi dagang yang dibawa pedagang-pedagang Champa, Jawa, Sriwijaya, Timur Tengah, Chola dan Butuan. Dalam catatan yang berjudul Dade Nanhai zhi 大德南海志, ditulis sekitar abad ke-14, menyebutkan bahwa cengkeh terdapat di antara sari obat-obatan yang dibawa dari Guangzhou dalam kapal milik pedagang asing. Meskipun begitu, justru kepulauan Maluku baru muncul lebih belakangan dibandingkan nama cengkeh yang tertulis dalam sumber-sumber Tiongkok. 

Orang Eropa yang mencoba menelusuri tempat asal rempah cengkeh menyelidiki melalui nama komoditas ini. Mereka mengalami kesulitan karena cengkeh yang mereka dapatkan melalui orang Arab dan Persia, tidak diketahui asal-usulnya dan dari mana rempah ini berasal. 

Dari sejarahnya, rempah cengkeh dalam bahasa latin diberi nama cariofilum karena orang muslim (Moor) yang membawanya menyebutnya Calafur. Saat pedagang Portugis dan Spanyol berhasil menemukan tempat asal cengkeh, Spanyol menyebutnya sebagai Gilope karena mereka membawanya dari pulau Gilolo. Sedangkan bagi orang Portugis, karena melihat dari bentuknya yang seperti paku (clou) maka disebut clou de girofle. 

Orang Maluku sendiri menyebutnya dalam bahasa melayu, yakni cengkeh. Orang India menyebutnya lavanga. Variasi nama cengkeh ini, menjadi satu dari sekian banyak bukti lain yang menandakan bagaimana komoditas asal nusantara ini memberi pengaruh bagi beragamnya penggunaan bahasa, hingga terbentuknya jalur dagang yang disebut sebagai jalur rempah.

Perkembangan perdagangan laut di abad pertengahan meningkatkan akses para pedagang ke tempat asal rempah-rempah ini dan pada gilirannya melahirkan terbentuknya pelabuhan yang pada mulanya kecil dan terbatas, hingga menjadi besar dan membentuk kota kosmopolitan dengan jaringan perdagangan yang membentang luas di sepanjang pesisir Asia Selatan, teluk Bengala hingga teluk Siam dan kepulauan Nusantara. Seiring dengan menguatnya kehadiran kerajaan Islam di periode menjelang akhir abad pertengahan, pertumbuhan kota-kota dagang meningkat pesat antara lain Gowa, Koromandel, Melaka, AcehBanten hingga Makassar. 

Para pedagang jarak jauh, misalnya seperti orang Gujarat, Persia atau Tionghoa dan pedagang-pedagang Nusantara, yang di antaranya terdiri dari orang Jawa, Melayu, Buton, menjadi penopang utama jaringan kota-kota dagang tersebut. Perjalanan laut yang jauh mengharuskan mereka untuk singgah di kota-kota pelabuhan ini untuk beristirahat, menunggu angin sembari mengisi bekal kapal-kapalnya dengan air bersih.

Di kota-kota pelabuhan Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17, terutama Banten dan Makassar, para pedagang ini singgah membeli beras untuk kemudian ditukarkan dengan rempah-rempah di kepulauan Maluku.  

Meskipun para pedagang umumnya tinggal di perkampungan bersama pada pedagang pelaut daerah asalnya, namun secara perlahan pemukiman-pemukiman tersebut membentuk sifat kosmopolitan di kota-kota tersebut sehingga melahirkan keragaman budaya, terutama dalam aspek kuliner dan bahasa Melayu seperti yang kita bisa saksikan jejaknya sampai hari ini.

jalur rempah, rempah cengkeh, spice routes, cloves

Lukisan pintu gerbang istana Banten yang dibuat oleh seorang Denmark pada tahun 1676. Disalin dari Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-1682)”, Archipel no 50, 1995, h. 91).

Bahasa Melayu menjadi lingua franca yang sangat penting bagi para pedagang ini untuk dapat berkomunikasi. Selain itu, para pedagang dan pelaut yang umumnya diisi para pria ini juga membentuk ikatan perkawinan dengan perempuan setempat sehingga terbentuk keluarga-keluarga dari asal muasal yang jauh berbeda, dan menghasilkan keragaman budaya. 

Tak hanya terjadi di Indonesia, di Filipina pencampuran masyarakat tersebut melahirkan budaya Mestizo sementara di Semenanjung Malaya dan sebagian besar Nusantara lahir budaya Peranakan. 

Meskipun kita perlu mengingat bahwa kota-kota ini tetap terikat dalam ciri khas sesuai sistem sosial politik kerajaan atau kesultanannya masing-masing, namun dengan keberadaan para pedagang asing di pelabuhan dan pasar, aspek-aspek kebudayan dari luar turut mewarnai kehidupan kota. Jaringan kota dagang ini diikat oleh barang dagangan, kapal-kapal dagang, laut dan bahasa. Di sinilah gambaran menarik jaringan kota-kota dagang tersebut, yaitu kota-kota dagang yang mampu menghadirkan keunikan masing-masing sekaligus menyajikan kemiripan dengan kota-kota lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Gambaran kota-kota dagang pesisir ini mengingatkan kita pada kawasan Mediterania atau Laut Tengah di Eropa Selatan dan Afrika Utara.

Perlu dicatat, kehadiran bangsa Eropa dalam jejaring perdagangan rempah ini relatif lebih belakangan dibandingkan pedagang-pedagang Asia. Para pedagang dan pengelana asal Portugis yang pertama kali berhasil mengetahui keberadaan pusat rempah-rempah di wilayah Timur Nusantara. Catatan-catatan mereka menjadi sumber informasi bagi pedagang dan pengelana bangsa Eropa lainnya, terutama Spanyol, Belanda, dan Inggris, untuk berdatangan ke Nusantara. 

Semakin padat dan ramainya jumlah pedagang yang tidak seimbang dengan ketersediaan pasar serta permintaan rempah-rempah mulai dirasakan dampaknya secara perlahan, di mana dengan munculnya kebutuhan bangsa penguasa untuk memonopoli perdagangan rempah. Hal ini juga yang menjadi sebab berdirinya banyak kota-kota dagang yang diinisiasi oleh bangsa Eropa, beberapa contohnya, Manila pada tahun 1571 oleh Spanyol, Belanda mendirikan Batavia pada 1619 dan Inggris mendirikan Singapura pada 1819, hal yang sekaligus menandai episode baru dunia perdagangan rempah-rempah di Nusantara.

Yerry Wirawan, merupakan seorang staf pengajar di Universitas Sanata Dharma

 

Naskah: Yerry Wirawan

Editor: Doni Ahmadi

Bagikan:

Artikel Populer

Kekayaan Rimpang-rimpangan di Kota Salatiga sebagai Warisan Rempah Nusantara dan Pemanfaatannya Selama Pandemi Covid-19

29 Desember 2022

Muhibah Budaya Jalur Rempah Resmi Berlayar pada Hari Lahir Pancasila

1 Juni 2022

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

9 Juni 2022

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Pentingnya Kaum Muda Menapaki Jejak-jejak Rempah di Nusantara

admin

9 Juni 2022

...

Aksara Lontara & Hukum Amanna Gappa: Jejak Jalur Rempah Makassar

admin

15 Oktober 2020

...

Kepulauan Banda: Dari Rempah Pala dan Apa-apa yang Terjadi Setelahnya

admin

5 Oktober 2020