Artikel

Di Balik Kemiri Bali, Ada Pedagang dari Ujung Hyang yang Berlayar hingga ke Jawa

Muhamad Satok Yusuf| 16 Februari 2023

Kita sering kali mengenal masyarakat Bali sebagai petani yang unggul. Ada pula segelintir dari kita yang mengenal orang Bali sebagai nelayan dan petambak garam. Profesi tersebut didasarkan atas kelimpahan sumber daya alam Bali yang luar biasa. Pulau seluas 5.780 km² ini dibekali dengan tiga gunung api aktif yang menyuburkan tanah dan sumber air melimpah, kemudian diolah oleh masyarakat Bali dengan segala kearifannya, termasuk subak yang kini telah menjadi warisan dunia. 

Lantas, bagaimana reaksi sebagian orang jika mendengar orang Bali sebagai pedagang? Ini bukan tentang pedagang yang di Pasar Sukawati atau sepanjang pertokoan di Kuta dan Sanur, melainkan pedagang rempah yang sudah melanglang buana di negeri sendiri hingga negeri seberang pada masa kuno.

Pria memikul barang dagangan pada Relief Yeh Pulu (sumber: ubud.id)

Pedagang merupakan profesi yang lazim di Bali sejak masa kuno. Banyaga atau wanyaga merupakan sebutan untuk pedagang di Bali masa kuno secara umum. Sebutan tersebut disematkan untuk pedagang yang melakukan transaksi hingga lintas pulau dan lintas benua. Adapun para pedagang eceran yang menjajakan dagangannya di dalam negeri, lazim disebut atanja, manghalu, atau adagang.

Barang dagangan masyarakat Bali Kuno bervariasi. Ada kapas, bawang merah, dan bawang putih yang merupakan produk dari Kintamani. Raja Ekajaya Lancana melalui Prasasti Kintamani E (1122 Saka) mengatur regulasi perdagangan komoditas tersebut hanya boleh dilakukan di Bali Utara saja, meliputi daerah Kintamani, Sukawana, Panursuran, dan Balingkang. Selain itu, diperdagangkan pula kain, barang pecah belah, serta beberapa bahan pokok, dan rempah-rempah.

Buah kemiri (sumber: Wibowo Djatmiko/WIkipedia)

Salah satu rempah yang laris diperdagangkan pada masa Bali Kuno adalah kemiri (Aleurites moluccana). Rempah ini tumbuh subur di daerah Batuan (Gianyar), Tengkulak (Gianyar), Bila (Buleleng), dan Ujung (Karangasem). Bahkan, Raja Marakata melalui Prasasti Baturan (941 Saka), Tengkulak (945 Saka), Sawan AI (945 Saka), dan Ujung (962 Saka) mengeluarkan kebijakan pelestarian sejumlah tanaman keramat, termasuk salah satunya adalah kemiri. Inti dari peraturan tersebut adalah warga desa dilarang menebang pohon larangan, kecuali dalam kondisi khusus. Apabila peraturan tersebut dilanggar, maka si pelaku akan menerima hukuman raja dengan kesepakatan warga. Sejatinya, peraturan tersebut dibuat untuk melestarikan eksistensi sejumlah tanaman penting, termasuk kemiri. Kemiri hingga saat ini masih digunakan sebagai salah satu bumbu khas masakan Bali (bagian dari bumbu base genep), racikan jamu, serta perwarna tulisan pada lontar.

Mengenai fungsi kemiri yang terakhir, membuat kemiri sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya berkenaan dengan dunia literasi. Lontar merupakan media tulis dari masa Hindu-Buddha yang lestari hingga masa kini. Sebelum raja menetapkan keputusan di atas media logam atau batu, ia terlebih dahulu memerintahkan sekretaris kerajaan untuk menuliskan titah tersebut di atas daun lontar. Guratan-guratan tulisan dari pisau pengrupak di atas daun nipah kering tidak akan bisa dibaca jika permukaannya belum diolesi minyak kemiri. Hingga saat ini, hanya minyak kemiri lah satu-satunya bahan yang membuat guratan tulisan pada lontar menjadi berwarna hitam dan dapat dibaca. Hal itu mempertegas betapa berharganya kemiri sehingga raja membuat peraturan khusus mengenai penanaman pohon kemiri.

Lontar Koleksi Museum NTB (sumber: koleksi pribadi)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu tanaman penghasil kemiri pada masa Bali Kuno adalah Desa Ujung Hyang (saat ini bernama Desa Ujung, Karangasem). Desa yang berada di ujung timur Pulau Bali tersebut dikaruniai alam yang subur sehingga kemiri dapat berbuah lebih banyak hingga surplus. Kelebihan produksi kemiri di Desa Ujung Hyang menarik minat para pedagang. Oleh karenanya, kemiri kemudian diperdagangkan.

Perdagangan kemiri di Desa Ujung Hyang tidak hanya dilakukan di dalam pulau, melainkan hingga ke pulau seberang. Prasasti Ujung (962 Saka) memberitakan bahwa para pedagang dari Ujung Hyang yang berlayar ke Jawa dan gurun tidak dikenai pajak. Konsep pembebasan pajak terhadap pedagang yang menggunakan moda perahu merupakan hal yang lazim pada masa lalu. Tujuannya adalah untuk membuat bandar perdagangan di daerah tersebut semakin maju sebab dengan semakin ringan pajak akan semakin banyak para syahbandar yang berlabuh. Dengan demikian, transaksi perdagangan akan semakin besar dan komoditas lokal banyak yang terjual. Imbasnya adalah rakyat di daerah tersebut semakin makmur sehingga upeti yang diserahkan rakyat setempat kepada kerajaan juga meningkat. Analogi tersebut sangat dipahami betul oleh penguasa pada masa Hindu-Buddha di Nusantara, khususnya di Pulau Bali. 

Prasasti Bantiran I - contoh prasasti dari masa Bali Kuno (sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Melalui kemiri pula, kita dapat mengetahui bahwa orang Bali juga termasuk pedagang dan pelaut ulung yang mengarungi lautan hingga pulau seberang. Hal ini juga memberikan pandangan baru bahwa Bali tidaklah pasif dalam menerima pengaruh budaya Jawa Kuno, melainkan juga aktif “menjemput bola”. Melalui peran para pedagang, kontak budaya antara pedagang Bali dan Jawa Kuno tercipta sehingga bentuk-bentuk akulturasi budaya yang mungkin tidak disadari para pedagang Bali tercipta. Hal itulah yang kemudian membuat kita memandang budaya Jawa dan Bali bagaikan adik-kakak. Semua itu belum tentu hanya peran dari para penguasa Jawa yang menduduki Bali, melainkan faktor kontak budaya antarpedagang juga sangat mungkin berpengaruh.

 

_________ 

Sumber Referensi

BPS Provinsi Bali. (2021). Provinsi Bali Dalam Angka 2021. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Goris, Roelof. (1954). Prasasti Bali I. Kerja Sama Lembaga Bahasa dan Budaja Universitet Indonesia dengan NV. Masa Baru.

Setiawan, I Ketut. (1997). “Sekilas tentang Perdagangan Pada Masa Bali Kuna: Data Prasasti” dalam Dinamika Kebudayaan Bali (hlm. 109–118). Denpasar: PT Upada Sastra.

_________

Ditulis oleh Muhamad Satok Yusuf (denjatayu2@gmail.com)

Editor: Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Wibowo Djatmiko/WIkipedia

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Telusuri Peninggalan Majapahit di Mojokerto, Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022 Resmi Ditutup

2 Juli 2022

Menara Syahbandar Sleko: Menara Pengawas Jalur Perdagangan di Semarang

21 Maret 2023

Benteng Somba Opu Makassar: Enterpot di Nusantara Bagian Timur

25 November 2020

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Benteng Somba Opu Makassar: Enterpot di Nusantara Bagian Timur

admin

25 November 2020

...

Kembalinya Rempah-Rempah Tradisional pada Kehidupan Masyarakat di Masa Pandemi

admin

5 April 2022

...

Sastra untuk Rempah dan Nusantara

admin

17 Januari 2022