Cita rasa hanyalah salah satu dari sekian banyak daya tarik rempah-rempah, yang menyajikan jauh lebih banyak nuansa eksotis ke atas meja makan daripada yang pernah kita bayangkan (Jack Turner, Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme).
Rempah menjadi komoditas dagang yang diperdagangkan antarbangsa sejak masa silam. Rempah memang tidak menjadi komoditas tunggal dalam aktivitas perdagangan tersebut. Ada sejumlah komoditas lain yang turut serta menjadi bagian perdagangan. Tidak hanya memperjualbelikan rempah, perdagangan ini turut memunculkan adanya pertukaran budaya dari para pedagang.
Catatan mengenai rempah cukup banyak dijumpai dalam naskah dari bangsa Eropa. Rempah digunakan sebagai penambah cita rasa, kelengkapan upacara, pengawet makanan, dan obat penambah vitalitas. Keragaman fungsi tersebut menjadikan rempah begitu diminati.
Penambah cita rasa adalah fungsi rempah yang berhubungan dengan kuliner. Rempah kerap digunakan untuk menambah kelezatan dari masakan. Lada, misalnya, merupakan rempah yang menjadi penyedap rasa. Penggunaan rempah sebagai penyedap banyak dilakukan oleh bangsawan.
Selain itu, rempah juga menjadi bagian sesajen yang digunakan untuk memuja dewa. Fungsi ini sejatinya lebih dahulu ada jauh sebelum fungsi rempah sebagai penambah cita rasa. Pada masa kekaisaran Romawi, sejumlah pemuja dewa di kuil membakar rempah-rempah dalam dupa atau melemparkannya ke dalam api di perapian kuil sebelum melaksanakan ritual keagamaan.
Jack Turner dalam Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme menuliskan ada alternatif penggunaan rempah dalam upacara keagamaan. Rempah menjadi bahan dalam wewangian dan salep yang dioleskan kepada patung pemujaan atau pemuja itu sendiri. Penggunaan salep oles kepada patung atau arca tersebut bertahan hingga ratusan tahun kemudian dan tersebar ke berbagai wilayah. Catatan J.F.G. Brumund dalam Indiana: Verzameling van stukken van onderscheiden aard, over Landen, Volken, Oudheden en Geschiedenis van den Indischen Archipel I (1853) menyebutkan bahwa tradisi mengoleskan salep atau boreh ini dilakukan oleh orang Jawa pada sejumlah arca dewa yang berada di Candi Prambanan. Orang-orang tersebut juga menaruh bunga dan dupa secara rutin sebagai sajen di dekat kaki arca tersebut.
Fungsi rempah sebagai pengawet makanan salah satunya dilakukan di Eropa. Jack Turner menyebut Tresor de Evonime yang terbit tahun 1555 Masehi mengandung resep sebuah bahan yang terbuat dari pala bubuk, cengkeh, kayu manis, dan jahe. Resep ini digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan semua makanan.
Sementara fungsi rempah sebagai obat kuat atau penambah vitalitas seksual sudah sering disebut dalam sejumlah sumber tertulis yang berasal dari berbagai masa. Pada abad pertengahan, salah satu olahan yang lazim dikonsumsi dalam pesta pernikahan adalah anggur berempah. Anggur dengan campuran rempah ini menjadi salah satu contoh dari penggunaan rempah sebagai penambah vitalitas.
Dampak Perdagangan Rempah
Penjelajahan dan pelayaran yang dilakukan pelaut Eropa sejatinya bukan sesuatu yang baru bagi bangsa lain, seperti Cina, Arab, maupun India. Interaksi antara pedagang di Nusantara dengan bangsa-bangsa tersebut telah berlangsung ribuan tahun lalu.
Perdagangan rempah-rempah telah menyebabkan kedatangan orang-orang India, Arab, dan Eropa ke Nusantara. Kedatangan berbagai bangsa tersebut dibuktikan dengan adanya sejumlah temuan di situs-situs sejarah. Temuan tersebut menunjukkan asalnya dari India, Cina, dan Mesir. Temuan ini menunjukkan kemungkinan berupa komoditas perdagangan/pertukaran antarberbagai bangsa yang tinggalnya berjauhan.
Sumber Referensi
Brumund, JFG. 1853. Indiana. Verzameling van stukken van onderscheiden aard, over Landen, Volken, Oudheden en Geschiedenis van den Indischen Archipel I. Amsterdam: P.N. van Kampen.
Turner, Jack. 2019. Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme. Cetakan kedua. Jakarta: Komunitas Bambu.
_________
Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A., prasastishinta@gmail.com
Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.
Sumber gambar: arnabacharyyaaa / Freepik