Artikel

Nelayan dan Perahunya di Pantai Utara Jawa

Yogi Susatyo| 21 April 2023

Ketika membahas mengenai budaya maritim di Indonesia, suku Jawa belum tentu menjadi yang paling menonjol. Pasalnya, berbeda dengan tradisi maritim suku-suku dan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia timur, seperti Makassar, Ternate dan Tidore,  kerajaan-kerajaan Jawa tidak berorientasi banyak pada laut. Terlebih, setelah masa keemasan Majapahit memudar sejak 1400 M, disusul dengan beralihnya orientasi ekonomi dan politik dari masyarakat Jawa sejak Mataram Islam mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam pesisir pantai utara Jawa

Kemunculan armada-armada laut bangsa asing di perairan Nusantara sejak awal abad ke-16 juga mengurangi hegemoni laut yang dulunya dipegang kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara, dengan alasan yang lebih simpel: keterampilan teknologi yang lebih maju. Hal ini tidak hanya melibas kekuatan politik kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara, melainkan pula memaksa mereka untuk memaksimalkan kekuatan mereka pada sektor yang lain. Salah satu momen terbesar dari berubahnya orientasi ekonomi dan politik masyarakat Jawa adalah selesainya aneksasi pesisir utara Jawa oleh VOC dari Mataram pada 1743 M. Hilangnya pesisir utara yang sangat potensial sebagai pintu gerbang perdagangan internasional benar-benar mengisolasi Mataram dari wilayah pesisir yang landai dan potensial untuk kegiatan ekonomi. Laut Jawa menjadi kawasan yang murni dikuasai oleh Belanda sejak saat itu.  

Peran Besar Perahu Kecil

Meskipun tidak lagi “menguasai” lautan, orang Jawa di pantai utara tetap berinteraksi dengan laut. Komunitas nelayan Jawa tetap berlayar di zona-zona tangkap tradisional mereka di laut Jawa, mempertahankan metode penangkapan ikan mereka serta budaya maritim yang sudah mereka jalankan sejak dahulu di mana penggunaan kapal-kapal cadik berukuran kecil menjadi dominan sebagai moda transportasi antarpulau dan alat transportasi mencari ikan.  

Ada berbagai jenis perahu berukuran kecil di pulau Jawa. Jenis yang paling populer di kalangan nelayan, baik di Jawa dan Madura, misalnya perahu kolek, tembon, mayang, dan janggolan. Perahu-perahu jenis ini, terutama jenis mayang, merupakan alat transportasi yang desainnya tidak banyak berubah. Perahu mayang disebut telah ada sejak abad ke-18, menurut Gerrit Knaap (1999). Tugas perahu-perahu kecil juga tergolong sederhana: mayang biasanya digunakan untuk menangkap ikan, sementara di Madura, jenis perahu janggolan sering digunakan untuk mengangkut kayu di mana para pelaut Madura masih menggunakan jenis perahu ini dalam kegiatan perdagangan kayu lintas laut Jawa (Stenross, 2007). 

Eksistensi perahu tradisional Jawa yang merentang selama ratusan tahun berakar dari keberhasilan desain perahu tersebut dalam menjawab tantangan geografis, dalam kasus ini laut Jawa. A.B. Lapian menjelaskan bahwa kunci dari bertahannya perahu mayang dalam kegiatan maritim suku Jawa disebabkan oleh desainnya yang cocok dengan laut Jawa yang dikuasai oleh pola angin setempat (Purnawibawa, 2021). Popularitas desain kapal ini juga disebabkan pula oleh bergesernya desain kapal-kapal besar di perairan Nusantara di mana desain kapal-kapal tradisional Nusantara digantikan desain kapal barat yang lebih mudah bermanuver. Pergeseran ini dijelaskan Horst Liebner (2002) diakibatkan oleh desain kapal tradisional yang kurang unggul mendorong para pengusaha galangan kapal untuk memproduksi desain kapal barat untuk perjalanan jarak jauh, dengan tetap mempertahankan desain-desain perahu berukuran kecil maupun sedang yang telah terbukti efisien. Kegiatan perdagangan menggunakan perahu-perahu kecil dan sedang tetap populer meskipun perdagangan jarak jauh, yang sebenarnya menandakan kedigdayaan maritim sebuah entitas politik, sudah dikuasai oleh bangsa-bangsa asing, yaitu Inggris dan Belanda. 

Kolonialisme dan Nelayan Jawa 

Meskipun bermata pencaharian nelayan, yang notabene berurusan dengan laut atau perairan, bukan berarti secara praktis nelayan pantai utara Jawa membangun konstruksi sosial mereka di atas standar-standar modal sosial yang berkaitan dengan laut. Sejak masa kolonial, justru pengelolaan laut di pesisir Jawa dan Madura menggunakan model pengelolaan yang didasarkan pada hak kepemilikan komunal pada tingkat distrik dan desa (Yunandar, 2006), Dengan kata lain, kepemilikan lahan tanah tetap menjadi basis penting stratifikasi sosial. Dalam kasus masyarakat nelayan di Jawa, dapat dikatakan keterikatan dengan daratan menjadi kunci yang amat penting. Pada satu sisi, meskipun masih mempertahankan budaya maritim, pengaruh kekuasaan Jawa di pedalaman membuat standar stratifikasi sosial mereka masih sangat agraris. Bukan laut, tetapi luas tanah yang menjadi indikator kekuasaan. Di sisi lain, komoditas utama bahan baku kapal, yakni kayu jati, tumbuh di kawasan pedalaman Jawa dan pemanfaatannya diatur sangat ketat oleh pemerintah kolonial (Peluso, 1991). Monopoli harga kayu jati oleh pemerintah kolonial mengakibatkan nelayan tradisional kesulitan untuk bersaing dengan perusahaan galangan kapal asing, suatu kondisi yang mempersulit keadaan ekonomi mereka. 

Disertasi Doktor Pujo Semedi Hargo Yuwono (2001) mengenai sebuah komunitas nelayan di Pekalongan memberikan gambaran yang baik dan mendalam mengenai dinamika sebuah masyarakat nelayan di pantai utara Jawa pada masa kolonial. Masuknya modal asing, perusahaan asing, dan kapitalisme modern mendorong munculnya pranata ekonomi baru di kalangan masyarakat nelayan. Salah satu biang masalah adalah para pemungut cukai yang telah meraup keuntungan lewat cukai ikut merangkap menjadi rentenir, menyediakan uang pinjaman yang diputar di kalangan masyarakat nelayan, sekaligus memonopoli perdagangan garam (Semedi & Schneider, 2020). Problem ini semakin diperparah ketika secara bertahan populasi ikan di laut Jawa mulai menurun secara bertahap, pada 1865 diestimasikan tangkapan ikan di pantai utara Jawa sekitar 258.502 ton, tetapi pada 1904 hanya berkisar 77 ribu ton saja (Semedi, 2005). Penurunan tangkapan ikan, tekanan tengkulak, dan penguasaan komoditas untuk kegiatan ekonomi membuat masyarakat nelayan Jawa pada masa kolonial praktis tidak dapat berkembang menjadi suatu masyarakat yang lebih makmur. Posisi nelayan yang serba buntung semacam ini dapat kita lihat jejaknya hingga hari ini. 

Nelayan dan Identitas Maritim

Sering kali, pemahaman akan identitas kemaritiman menempatkan posisi budaya-budaya besar masyarakat maritim sebagai role model dari pembangunan identitas Indonesia. Namun, perlu untuk melihat unit-unit terkecil dari masyarakat maritim yang begitu besar dalam rangka merajut identitas maritim Indonesia sendiri. Nelayan, pencari kerang mutiara, pedagang kayu, pedagang teripang, dan pekerjaan-pekerjaan maritim lain ikut merajut jejaring perekonomian antarpulau-pulau Indonesia. Hal ini juga dapat menjadi basis dari identitas maritim. Perdagangan internasional di Nusantara pada masa kurun niaga tidak hanya berjalan di atas rempah-rempah semata, melainkan pula garam, kayu-kayuan, hewan ternak, gading, teripang, beras dan komoditas-komoditas lain yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan perekonomian regional. Pun halnya ketika masa kolonial, di mana dapat dikatakan kekuasaan maritim negara-negara tradisional di Nusantara disapu bersih oleh kekuatan teknologi bangsa barat. Kegiatan maritim masih berlanjut dalam bentuk pelayaran antarpulau, mengisi ceruk-ceruk kosong kegiatan ekonomi yang tidak dapat diisi oleh armada-armada besar kapal-kapal asing. Berkat mereka, identitas maritim tetap hidup dalam masyarakat-masyarakat tertentu, imaji atas kejayaan mereka di laut hanya dapat disaksikan dalam catatan-catatan sejarah. 

 

_________

Sumber Referensi

Knaap, G. (1999). Shipping and Trade in Jawa, c.1775: A Quantitative Analysis. Modern Asian Studies, 411.

Liebner, H. (2002). Perahu-perahu Tradisional Nusantara. Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai UNHAS.

Peluso, N. L. (1991). The History of State Forest Management in Colonial Java. Forest & Conservation History.

Pujo Semedi & Katharina Schneider. (2020). Fisher's responses to the Danish seiner ban and the history of fisheries governance on the Java north coast. Maritime Studies, 46.

Purnawibawa, A. G. (2021). Perahu Tradisional dalam Dinamika Sejarah Maritim Rembang Setelah Abad ke-10. Jurnal Widya Citra, 49.

Semedi, P. (2005). The Depletion of Java Sea's Fish Stocks, 1860's-1990's. Humaniora.

Stenross, K. (2007). The Seafarers and Maritime Entrepreneurs of Madura: History, culture, and their role in the Java sea timber trade. Murdoch University.

Yunandar. (2006). Budaya Bahari dan Tradisi Nelayan di Indonesia. Sabda, 27.

Yuwono, P. S. (2001). Close to the Stone, Far From the Throne: The Story of a Javanese Fishing Community, 1820-1990s. University of Amsterdam.

_________

Ditulis oleh Yogi Susatyo, yogisusatryo@gmail.com

Editor: Dian Andika Windah & Tiya S.

Sumber gambar: Thomas Daniell and William Daniell. Published by Longman (National Maritime Museum, Greenwich, London) / Wikimedia Commons

Konten ini dibuat oleh kontributor website Jalur Rempah.
Laman Kontributor merupakan platform dari website Jalur Rempah yang digagas khusus untuk masyarakat luas untuk mengirimkan konten (berupa tulisan, foto, dan video) dan membagikan pengalamannya tentang Jalur Rempah. Setiap konten dari kontributor adalah tanggung jawab kontributor sepenuhnya.

Bagikan:

Artikel Populer

Jejak Historis Pelabuhan Semarang dan Peran Penting dalam Lintasan Jalur Rempah

23 Juli 2021

Ketika Rempah, Sayur, dan Padi Bersatu: Refleksi Keberagaman dan Keberlangsungan Semangkuk Tinutuan (Bubur Manado)

24 Maret 2023

Base Genep: Mencecap Sepiring Filosofi Rempah di Bali

29 Juli 2021

Artikel Terbaru

Telusuri Kekayaan Historis dan Budaya Kepulauan Selayar, Muhibah Budaya Jalur Rempah Kembali Digelar

24 November 2023

Ajak Nelayan Jaga Keberlangsungan Laut, Kemendikbudristek Gelar Lomba Perahu Layar Tradisional

24 September 2023

Antusias 140 Nelayan Adu Cepat dalam Lomba Perahu Layar Tradisional dan Upaya Regenerasi ke Anak Cucu

24 September 2023

Artikel Terkait

...

Base Genep: Mencecap Sepiring Filosofi Rempah di Bali

admin

29 Juli 2021

...

Aksara Lontara & Hukum Amanna Gappa: Jejak Jalur Rempah Makassar

admin

15 Oktober 2020

...

Peran Rempah-Rempah bagi Gastrodiplomasi Indonesia

admin

18 Februari 2021